DENGAN suara bergetar, seorang perempuan yang telah dirasuki oleh arwah leluhur tiba-tiba berteriak lantang, "Aku handak (ingin) ketemu cucu-cucuku,".
Sontak momen itu membuat nuansa di sekitar panggung pertunjukan pagelaran tari manopeng di Banyiur Luar, Kelurahan Basirih, Banjarmasin Barat, Minggu (13/8), kian terasa magis.
Beberapa penonton yang semula duduk lantaran lelah berdiri, lantas kembali bangkit akibat terbawa rasa penasaran.
Sebelumnya seorang pria tua yang memakai topeng berwarna merah lantas menari seusai membakar kemenyan. Diiringi musik gamelan, gerakannya tampak tak beraturan. Sesekali ia juga memercikan air (tapung tawar) dari atas panggung.
Di belakang pria tua itu, berdiri beberapa orang berbaju putih. Sejurus kemudian sang kakek berhenti menari, setelah seorang lelaki dan tujuh perempuan berbaju kuning, menaiki panggung untuk menari.
Juga mengenakan topeng, pria dan wanita tersebut dianalogikan sebagai Jaka Tarub dan 7 bidadari.
Namun seiring waktu, gerakan mereka makin tak menentu. Semacam dirasuki. Sesekali kaki mereka menghentak, sehingga membuat panggung berbahan kayu itu berderak.
Mereka yang berdiri di atas panggung pun memasang sikap siaga. Berjaga-jaga kalau tiba-tiba si penari terjatuh.
Tak berapa lama, kondisi penari di atas panggung kian tak terkendali. Salah seorang penari tampak limbung, kemudian tak sadarkan diri.
Orang-orang yang bersiaga pun sigap menangkap dan merebahkan si penari ke sisi panggung. Kemudian seorang pemuda berpeci hitam yang diketahui bertugas sebagai penghulu manopeng, bergegar menghampiri.
Penghulu kemudian melepas topeng dari wajah si penari. Sembari merapal doa dan memercikan air, ia membuat penari yang pingsan kembali sadar.
Sementara penari lain masih terus berlenggak-lenggok, insiden lain terjadi. Di antara ratusan penonton yang menyemut, seorang wanita tiba-tiba tak sadarkan diri.
Wanita itu kemudian dijemput oleh orang-orang yang berjaga di atas panggung, lalu dibopong ke atas dan dipakaikan topeng. Seusai dipasangkan selendang warna hijau, wanita ini pun lantas menari.
Sepanjang pertunjukan tersebut, kondisi semacam itu terus terjadi. Tak sedikit penari yang limbung, tak sedikit pula hadir penari pengganti. Tidak hanya wanita., tetapi juga pria.
Di antara mereka, terdapat pula penari yang tidak bisa tenang. Oleh karena semakin mengamuk, si penari pun langsung ditenangkan. Sembari mendapat percikan air di kepala, topeng penari ini pun dilepaskan.
Tradisi Lama
Masyarakat di Banyiur Luar dan sekitarnya sudah sangat akrab dengan tradisi tersebut, lantara sudah turun-temurun dilakukan. Salah satunya juga karena dianggap sebagai sebuah hiburan.
Jika pertunjukan dihelat, sudah bisa dipastikan ratusan pasang mata akan tersita. Ruas jalan pun bakal ditutup.
Namun demikian, tradisi itu hanya dilakukan oleh keturunan Datuk Mahbud di Banyiur Luar. Datuk Mahbud dipercaya sebagai orang yang pertama membuka kampung di Banyiur luar.
Seandainya ditemukan penonton yang ikut kerasukan, sudah hampir dipastikan punya garis keturunan Datuh Mahbud.
Adapun tradisi manopeng digelar sekali dalam setahun. Biasanya malam Senin di bulan Muharam. Tujuan utamanya adalah untuk mempererat tali silaturahmi antar zuriah sang datuk.
Salah seorang penari, Ria Anggara (30) membenarkan hal itu. Perempuan berkulit putih ini percaya bahwa yang merasuki para penari adalah roh leluhur.
"Tak seorang pun penari yang sadar dengan tarian yang dibawakan. Bahkan ketika si penari sadar dan hendak melepas topeng sendiri, juga tidak akan bisa," ungkapnya.
Maka tarian hanya bisa diselesaikan, ketika si penari sudah kelelahan atau disadarkan oleh penghulu tradisi manopeng di Banyiur Luar.
"Tarian yang dibawakan juga sesuai dengan karakter topeng yang dikenakan. Topeng perempuan, tarian mungkin akan terlihat lembut," tutur Ria.
Ria yang merupakan zuriah Datuk Mahbud, sudah menekuni tari manopeng seka SD. Sebelumnya tarian ini hanya digelar di dalam rumah, sebelum dipentaskan di luar rumah.
Namun pementasan itu hanya dilakukan di Banyiur Luar. Zuriah percaya apabila tidak dilaksanakan, bakal ada keluarga yang jatuh sakit.
"Dulu ada keluarga yang jatuh sakit. Ketika manopeng digelar, keluarga yang sakit dimandikan Sangkala dan akhirnya sembuh," cerita Ria.
Selain bertujuan mengobati, manopeng juga menjadi ajang silaturahmi. Faktanya ketika dilaksanakan, keluarga besar dari berbagai kawasan pun pasti datang.
Adapun tradisi manopeng berasal dari adanya kebudayaan masyarakat Banjar zaman dahulu.
"Bermuara dari Kerajaan Nagara Dipa (kerajaan kuno yang berkuasa di Kalimantan Selatan sekitar 1387-1495)," ungkap Ferdi Irawan, penghulu tradisi manopeng generasi keenam di Banyiur Luar.
Dia berujar, Manopeng dulunya adalah tradisi leluhurnya ketika hendak membuka sebuah perkampungan.
"Dengan Manopeng, leluhur kami meminta izin, bermediasi dengan penghuni kawasan yang tak kasat mata untuk bisa membuka kawasan kemudian menjadikannya perkampungan," ungkapnya.
Selain di Banyiur Luar, tradisi ini juga ada di berbagai daerah seperti di Marabahan hingga Banua Enam (Hulu Sungai).
Seiring berjalannya waktu, Manopeng secara turun temurun tetap dilaksanakan bahkan sebagai wadah silaturahmi.
Di sisi lain, Ferdi menuturkan bahwa Manopeng tak langsung digelar begitu saja. Sebelum melaksanakannya, ada rapat dahulu bersama keluarga.
Yang dibahas, mengenai tata cara pelaksanaan, apakah Manopeng bakal digelar terbuka untuk umum, atau digelar tertutup di dalam rumah.
Ketika sudah ditentukan, kegiatan dilanjutkan dengan melakukan berbagai ritual lainnya.
Seperti melabuh (melarung sesaji ke sungai). Itu dilakukan dua hari sebelum pelaksanaan manopeng atau pada malam Jumat, untuk memberi makan leluhur yang ada di sungai.
Selain itu, juga dilakukan pembersihan topeng-topeng sebelum tampil. Caranya topeng yang ada diasapi dengan kemenyan.
Kemudian, dilanjutkan dengan gotong-royong membuat penganan sebanyak 41 macam. Selanjutnya penganan itu didoakan dan disantap bersama-sama.
Bicara tentang tarian, dalam manopeng tak ada gerak tarian yang baku. Tarian hanya dipelajari secara autodidak dan dari lingkungan keluarga.
Selain itu, secara sejarahnya, gerakan tarian ini tidak terekam dengan baik.
Namun sebagai zuriah, mereka juga sering berlatih tari. Namun ketika ditampilkan, tarian yang dipelajari justru tidak bisa ditampilkan.
"Itulah penyebab manopeng tidak seperti tarian konvensional. Kami meyakini para penari itu digerakkan oleh para leluhur," tambah Ferdi.
Sederhananya menurut Ferdi, sang datuk bermediasi, hingga menunjukkan eksistensi melalui tariannya sendiri.
"Kebanyakan para penari adalah pihak keluarga. Meski ada orang lain yang naik ke atas panggung dan ikut menari, tetapi setelah dirinci, ternyata keturunan dari datuk juga," jelasnya.
Secara garis besar, tarian yang dibawakan juga punya cerita. Selain Jaka Tarub dan 7 bidadari, ada lakon tari yang dibawakan oleh si pemakai topeng pantul dan tembem. Seperti dalam kisah pewayangan, mereka diibaratkan sebagai sosok punakawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong).
Adapula tokoh Sangkala atau Batarakala yang dulunya dipercaya sebagai penjaga datuk beserta zuriah.
"Sangkala ini seperti preman. Tapi preman yang baik. Dia adalah penjaga. Dia pula yang menjadi pemimpin penari topeng yang ditampilkan," jelasnya.
Gelaran tradisi manopeng berakhir ketika penari mengenakan topeng Sangkala tampil ke hadapan penonton, lalu seperti berpesan agar para zuriah dan masyarakat sekitar bisa hidup rukun, juga saling mendoakan satu sama lain.



