Oleh Muhammad Fauzi Fadilah
BERLADANG dan bertani adalah sumber kehidupan orang Dayak Meratus, dari dulu hingga 75 tahun Indonesia merdeka.
Bagi mereka, sejatinya alam adalah hajat hidup masyarakat di sana. Mulai air, hutan, juga tanah.
Sama halnya kebanyakan masyarakat adat Dayak di Pegunungan Meratus lainnya, di Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin, mereka masih menjalankan tradisi nenek moyangnya.
Tradisi yang mencolok dilakukan adalah saat musim tanam tiba. Masyarakat adat masing masing kampung melakukan gotong royong menanam padi dan tanaman lainnya di satu lahan yang sama.
Lahan itu diberi nama "Pataungan", serentak mulai dari membersihkan lahan sampai menyemai padi ke tanah, lengkap dengan ritual, penyampaian doa dan harapan.
Panen tiba, masyarakat kembali mengerjakannya bersama sama.
Meskipun Tapin dikenal sebagai kota pertambangan, masyarakat tetap menjadikan hasil padi sebagi bentuk syukur untuk hasil bumi, bukan batu bara.
Butiran padi dan tanaman di lahan Pataungan itu diniatkan untuk melaksanakan Aruh.
Aruh, adalah sikap orang dayak untuk mensyukuri nikmat yang diberikan apabila panen berhasil.
“Satu kampung rapat dan memperhitungkan hasil panen,” ujar Ketua Dewan Adat Dayak Tapin, Kharliansyah saat bincang ringan dengan bakabar.com, belum lama tadi.
Ada tiga pilihan saat rapat itu, Aruh Halus, Aruh Ganal atau tidak dilaksanakan. Jadi, tergantung hasil panen di ladang Pataungan.
Tak ada perbedaan yang terlalu signifikan antara Aruh Halus dan Ganal, hanya prosesi aruh dan porsi undangan yang berbeda. Intinya tetap bersyukur.
Selalu ramai, suasana Aruh yang di sana, sedikitnya ada 7 Balai di Kecamatan Piani itu. Biasanya, tak hanya warga sekitar kampung yang diundang, ada suatu keharusan, bagi mereka mengundang pejabat penting di pemerintahan setempat, mulai dari lurah sampai bupati, begitu pun kapolres atau komandan Kodim setempat.
Tak menutup kemungkinan, masyarakat umum lainnya juga diperbolehkan melihat prosesi Aruh itu. Sama, di waktu yang khusus.
Digelar antara 7 sampai 12 hari, khusus undangan akan dibukakan pintu selama 1 hari untuk melihat prosesi itu.
Memasuki balai adat, mata pengunjung akan disuguhi ornamen janur kuning dengan bentuk yang unik.
Tak ada kursi, semua tamu duduk melantai sambil berkerumun menyaksikan Balian dan Panjulang (tokoh adat) melakukan ritual puja, puji, syukur dan harapan.
Usai aruh, masyarakat adat kembali melakukan aktivitasnya yang mayoritasnya bertani dan berkebun, dan menyimpan hasil panen sampai panen berikutnya.
Editor: Fariz Fadhillah