Kalsel

Limbuhang Haliau, Wisata Gua di Bawah Tanah yang Kini Memesona

Jika gua biasanya di dapati dalam sebuah gunung, gua yang satu ini sedikit berbeda. Dia berada…

Featured-Image
Berakhir pekan bersama keluarga, Kapolres HST, AKBP Danang Widaryanto bersama 2 putranya mencoba naik perahu karet di dalam Gua Limbuhang di Desa Haliau, Batu Benawa, Sabtu (4/1). Foto-apahabar.com/HN Lazuardi

Jika gua biasanya di dapati dalam sebuah gunung, gua yang satu ini sedikit berbeda. Dia berada di bawah tanah. Uniknya, dasar gua ini dialiri air yang bisa berubah warna.

HN Lazuardi, BARABAI

M Rosyadi atau yang akrab disapa H Yadi. Pemuda ini sukses membuka sebuah wisata di Desa Haliau Kecamatan Batu Benawa, Hulu Sungai Tengah (HST).

Di atas tanah seluas 2 hektare lebih yang dibeli Yadi 2014 silam dari neneknya, ternyata terdapat sebuah gua. Letaknya tak terlalu jauh dari jalan di desa itu.

Anak ke 4 dari 6 bersaudara ini menemukan gua itu pada 4 Agustus 2018. 4 hari kemudian, 8 Agustus, dia dan kawan-kawan membukanya sebagai tempat wisata.

“Waktu pertama dibuka, yang mendominasi berkunjung ke sini (Limbuhang) pelajar, SMA dan SMP,” ujar Yadi saat dijumpaibakabar.comdi kedainya yang berada di dalam wisata itu, Sabtu (4/1) siang.

Gua itu diberi nama Limbuhang Haliau. Tak ada yang istimewa dari pemberian nama itu. Pemberian nama Limbuhang itu, kata Yadi, agar mudah diingat dan lain dari pada yang lain. Sementara Haliau diambil dari nama desanya sendiri.

Menurutnya, keistimewaan wisata Limbuhang terletak pada guanya. Gua di wisata Limbuhang ini tidak biasa. Jika kebanyakan gua berada di dataran tinggi atau di tebing-tebing pegunungan, Limbuhang justru berada di dalam tanah.

Dari atas, gua ini terlindung oleh semak belukar dan ranting-ranting pepohonan. Dinding gua di keliling bebatuan seperti gunung kapur.

Dasarnya pun bukanlah bebatuan pada umumnya seperti stalaktit dan stalagmit, melainkan air. Bukan aliran yang bersumber dari sungai hantakan melainkan sumber air dari gua itu sendiri.

Pada jam-jam tertentu, terlebih siang hari, sinar matahari menembus ranting itu dan menghantam air di dalam gua. Nampak seperti efek Rays of Light.Warna air di dalam gua itu pun bisa berubah di waktu-waktu tertentu. Misal pada pukul 11.00 hingga 14.00 Wita, air kebiru-biruan seperti air laut, hingga dasarnya pun terlihat dengan cahaya matahari. Jika cuaca teduh air berubah warna lagi menjadi kehijauan.

Untuk turun ke gua itu, pihaknya telah membuatkan tangga dari bambu. Berkisar antara 40-50 meter, wisatawan sudah mendapati dasar gua.

Jika dari atas, gua terlihat sempit. Namun ketika berada di dasar, gua itu lumayan luas dan terdapat 5 lorong yang menghubungkan aliran air masuk dan keluar.

Selain itu, akar-akaran yang bergelantungan di gua dapat dimanfaatkan untuk berayun di atas air. Dapat juga dijadikan spot foto.

Di dasar, wisatawan juga dapat menggunakan perahu karet untuk bisa berada di tengah-tengah gua dengan kedalaman air yang mencapai 20 meter ke dasarnya.

Belum diukur jelas berapa kedalamannya. Yang jelas, jika menggunakan kayu hingga ke dasar terdapat lumpur, semakin ditekan kayu tadi maka semakin dalam.

Begitu pula dengan lorong di dalam gua itu. Belum ada yang pernah menyusuri ke lima lorong itu. Namun yang pasti, salah satu lorong di dalam gua itu menuju ke luar, tempat pemandian, yang kini menjadi salah satu spot musiman, danau buatan.

Seiring berjalannya waktu, Yadi dan rekan-rekannya mulai mengembangkan wisata Limbuhang. Per Desember 2018 barulah terbentuk berbagai macam spot berfoto, kedai, danau yang natural dari alam hingga menyediakan makan atau snack bagi wisatawan.

“Pernah ada pejabat berkunjung mengatakan wisata ini cukup komplit, lima ikon satu wisata katanya,” cerita pemuda kelahiran September 1987 silam ini.

Ya, jika kita masuk ke wisata ini, tepat berada di hutan dengan bunyi-bunyian alam seperti kicauan burung, seluas wisatanya. Di dalamnya terdapat danau, aliran sungai, gua. Untuk menuju gua, wisatawan disuguhi jalan menanjak layaknya naik ke pegunungan.

“Semuanya alami khas hutan dan pegunungan, tak dibuat-buat. Kecuali danau, yang kita bendung,” tutur pemuda ini yang pernah 10 tahun menjadi TKI di Mekkah.

Saat penulis berbincang akrab dengan Yadi, pemilik lahan sekaligus pengelola wisata Limbuhang Haliau ini, melintaslah Kapolres HST, AKBP Danang Widaryanto yang membawa keluarganya didampingi salah satu perwiranya.

Kapolres yang baru menjabat di HST di penghujung Desember 2019 lalu ini membawa istri dan 3 anaknya berakhir pekan.

“Menyenangkan, petualangan yang baru buat keluarga,” kata Kapolres sedikit tersengal usai menelusuri wisata gua dengan perahu karet bantuan pemerintah bersama dua putranya.

Namun rupanya, Kapolres belum puas dengan gua itu. Sebab air yang ditemuinya di dalam gua itu belum sesuai ekspektasinya seperti foto-foto yang ditampilkan Yadi melalui gawainya.

Dia pun meminta Yadi untuk menghubunginya kembali jika air di gua itu jernih dan berwarna biru. Walau demikian ia mengaku terpuaskan dan menilai wisata itu bagus.

“Insya Allah kita nanti ke sini lagi. Tempatnya bagus, keamanannya juga bagus. Cocok buat liburan keluarga dan rekan-rekan nantinya,” kata Kapolres.

Cukup lama Kapolres berada di wisata itu dengan keluarga sembari menyantap hidangan yang dipesannya melalui Yadi.

Selain Kapolres, masih banyak rombongan yang lain berwisata di Limbuhang Haliau, seperti pegawai RSUD Damanhuri Barabai dari Rekam Medik. Ada juga rombongan dari luar kota, sepertu pelajar dari kabupaten Banjar yang didampingi para gurunya mengisi akhir pekan di awal 2020.

Sarana di wisata itu pun cukup memadai, mulai dari pemandian, toilet, mushalla dan tempat istirahat tersedia di wisata itu.

Sekitar 5000 lebih, wisata itu dikunjungi wisatawan sejak akhir pekan Desember 2019 hingga akhir pekan awal 2020 ini. Baik dari luar maupun dalam Kabupaten HST.

Ketenaran wisata Limbuhang Haliau ini sudah sampai ke Provinsi tetangga, Kalimantan Timur.

Tidak lama tadi, seorang model sekaligus penyanyi asal Kaltim menyambangi wisata itu. Bahkan beberapa kali melakukan pemotretan di wisata itu.

Sangat mudah untuk mengakses atau berwisata ke Limbuhang Haliau ini. Bisa menggunakan roda dua maupun roda empat.

Sekitar 10 kilometer dari pusat kota HST, Barabai, wisatawan sudah menemukan tempat itu.

Tak jauh dari tempat parkir, dari gerbang masuk wisata, berjalan kaki sekitar 500 meter, wisatawan sudah dapat menjumpai gua tersebut.

Di perjalanan menuju gua, wisatawan juga dapat berpose untuk berswafoto. Sebab sepanjang jalan menuju gua, pengelola menyediakan spot berfoto yang menarik dan unik.

Cerita di Balik Wisata Limbuhang Haliau

img

Pemilik sekaligus pengelola Wisata Limbuhang Haliau, H Yadi menunjukkan foto-foto gua hasil tangkapan gawainya kepada Kapolres HST, AKBP Danang Widaryanto usai memasuki gua bersama dua putranya. Foto-bakabar.com/HN Lazuardi

Kesuksesan Yadi hingga saat ini membangun wisata itu, tentunya tidak instan. Penuh perjuangan yang gigih dalam menghadapi rintangan yang ditemuinya selama proses membukanya. Bahkan pada awalnya, wisata yang baru dibukanya pernah diganggu oleh tangan tak bertanggung jawab dan ocehan-ocehan yang menjatuhkan wisatanya.

Namun, semangatnya justru terbakar untuk mengenalkan objek wisata dan desanya itu ke khalayak ramai. Bahkan dia harus merelakan sebagian asetnya untuk membuka dan mengembangkan wisata itu.

“Ada motivasi-lah hingga ini (wisata) benar-benar dibuka,” kata Yadi yang pernah berjualan BBM eceran ini.

Berawal dari seorang teman-teman sekampungnya yang memintanya mencarikan pekerjaan. Dari situ terbesit di benak Yadi bagaimana memberdayakan kawan-kawannya yang kesulitan dalam ekonomi.

“Masyarakat maupun pemuda di Haliau ini cukup kreatif. Harus dimaksimalkan dan alhamdulillah keperluan mereka tercukupi. Minimal tak minta duit sama orangtua lagi. Ke depannya apa yang diimpikan semoga bisa terwujud,” tutur Yadi.

Pengalaman Yadi juga dikatakan cukup mumpuni. Mulai dari memasak, mendekorasi hingga kemampuannya beradaptasi dengan mudah.

Dia mengakui, selain termotivasi dari temannya, wisata yang dikembangkannya hingga saat ini, terinspirasi dari hasil perjalanannya selama menjadi TKI.

“Pernah dulu jalan-jalan ke luar negri ke Maroko. Wah di sana wisatanya luar biasa. Dari alam untuk manusia. Jadi intinya bagaimana kita memanfaatkan alam, menjaga alam agar bisa dinikmati sampai generasi selanjutnya,” aku Yadi.

Pada Juni 2017, Yadi dan beberapa pemuda di desanya mulai mencari keberadaan gua itu. Hingga Agustus 2018 baru benar-benar ditemukan dan dibuka sebagai objek wisata.

Sebelum benar-benar dibuka, Yadi terlebih dahulu mengundang warga sekitar dan menyatakan akan membuka tempat itu sebagai wisata.

“Alhamdulillah warga menyambut baik. Ke depannya kita akan menambah tempat untuk warga berkreasi. Seperti lapak-lapak bagi yang mau menjual produk unggulannya,” terang Yadi.

Selama proses, mulai dari pencarian hingga dibukanya wisata yang berumur 1 tahun lebih itu masih saja terdengar hal miring terhadap wisata yang dikembangkannya. Terlebih kesan-kesan mistis yang negatif maupun positif.

Pernah penulis duduk santai di sekitar desa dan mendengarkan cerita-cerita dari warga yang tak jauh dari objek wisata yang dikembangkan Yadi.

Salah satu warga mulai bercerita, konon gua yang sekarang menjadi tempat wisata itu dihuni oleh seekor naga. Jarang orang berani mendekati. Kecuali mereka yang mempunyai hajat atau nazar.

Terlebih keberadaan gua itu (jauh sebelum menjadi wisata) tertutup semak belukar dan pepohonan rimba. Terlihat angker dan bernuansa mistis pada masanya.

“Dulu memang ada sebagian orang yang berani ke gua itu untuk bertapa. Baik sekedar meminta nomor (togel) dan hal lainnya yang bersifat ritual,” kata warga tadi.

Di sisi lain, warga justru bersyukur dengan dibukanya gua itu sebagai wisata. Isu-isu negatif tentang gua semakin tak lagi terdengar.

Yadi pun tak menepis dengan isu itu. Akan tetapi penghuni di gua itu pada dasarnya baik tak mengganggu.

“Penunggu di sini digambarkan sosok perempuan berparas cantik,” kata Yadi.

Pernah ketika sore hari penulis diajak Yadi memasuki gua. Saat itu hampir pukul 18.00 Wita.

Kata Yadi saat itu, penulis dan rekan harus segera meninggalkan gua. Selain wisata segera ditutup, gerbang gaib juga terbuka.

“Bergantianlah, kini saatnya ‘orang sebelah’ lagi yang menempati,” ujarnya kepada penulis dan kawan-kawan.

Baru selesai berkata demikian, bunyi seperti pohon tumbang yang amat nyaring di dinding gua dan jatuh masuk ke air seakan berada tepat di samping kami, mengagetkan kami, termasuk Yadi sendiri. Nyatanya tak ada sesuatu yang jatuh.

Kami pun bergegas naik dan bersantai di kedai yang masih di dalam lokasi wisata milik Yadi hingga larut malam saat itu.

Saudara Yadi, 2 kakak perempuan tertua serta keponakannya pun menyambut hangat kami saat itu.

Baca Juga:Nikmatnya Wisata Kuliner di Siring Laut Kotabaru

Baca Juga:Tarik Perhatian Wisatawan, PKK Kota Banjarbaru Sosialisasikan Kota Sehat

Editor: Muhammad Bulkini



Komentar
Banner
Banner