bakabar.com, MAGELANG - Ribuan masyarakat dari berbagai daerah melakukan ziarah ke makam Gunungpring untuk mendoakan arwah leluhur sebelum memasuki bulan Ramadan.
Sesuai namanya, Dusun Gunungpring yang terletak di Muntilan, Kabupaten Magelang merupakan suatu pegunungan yang ditumbuhi oleh rumpun-rumpun bambu dan kemudian dibuka oleh Kyai Raden Santri untuk mengajarkan agama Islam, sampai kemudian menjadi sebuah pesanggrahan dan lama-lama menjadi sebuah desa.
Sebelum dilakukan syiar agama Islam oleh Kyai Raden Santri, masyarakat di wilayah tersebut masih menganut agama Hindu, Budha dan Paganis yang jauh dari peradaban Islam.
Namun setelahnya, Kyai Raden Santri mengajari salat kepada masyarakat.
Cerita tersebut dituturkan oleh salah seorang juru kunci makam, Fauzan yang ditemui bakabar.com, Minggu (19/3).
Baca Juga: Menyusuri Tradisi Nyadran di Lereng Damalung
"Menjelang bulan Ramadan, jumlah pengunjung biasanya naik dua kali lipat, bisa lebih dari 3.000 orang dalam sehari," katanya.
Menurut dia, pengunjung biasanya ramai berdatangan selepas isya, sekitar pukul 19.00 hingga subuh jam 04.00 WIB.
Pengunjung yang datang ke Makam Gunungpring tidak dikenakan biaya masuk, alias gratis. Namun, bagi yang mengendarai kendaraan pribadi, wajib membayar biaya parkir sesuai armada yang dibawa.
Untuk sampai ke kompleks pemakaman Gunungpring, pengunjung harus berjalan kaki menaiki anak tangga kurang lebih 500 meter.
Selama perjalanan menuju puncak kompleks pemakaman, pengunjung bisa melihat-lihat maupun berbelanja pada para pedagang yang menjual aneka makanan ringan hingga sovenir di sepanjang jalan.
Adapun makam yang terdapat di Gunungpring yakni kijing makam Kyai Raden Santri (Pangeran Singasari) yang telah diberi cungkup, kijing dari keturunan Kyai Raden Santri (Pangeran Singasari) antara lain Kyai Krapyak III, Kyai Harun, Kyai Gus Djoko Rekso yang dibatasi dengan Adib Abbiya Qowiyyudin dikelilingi oleh pagar besi dan berada pada sebelah barat kijing makam Kyai Raden Santri.
Selanjutnya, juga terdapat kijing makam Ki Kertonjani dan Nyai Kertonjani berada di sebelah timur, Kijing makam Mbah Dahlar dan Mbah Abdurrahman berada dalam ruangan tersendiri.
Para pengunjung yang datang biasanya duduk di sekitar makam-makam tersebut dan membaca dzikir serta Surah Yasin berulang-ulang.
Sementara itu, seorang pengunjung dari Banjarnegara, Reza (45) mengatakan, dirinya bersama rombongan satu dusun datang khusus ke Makam Gunungpring untuk berziarah.
"Sudah tradisi, sebelum Ramadan melakukan ziarah, untuk menghormati leluhur dan mengirim doa, bonusnya jalan-jalan," ujarnya.
Kepada bakabar.com, pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani kentang itu bahkan rela menempuh 3 jam lebih perjalanan untuk ziarah ke makan Gunungpring.
Baca Juga: Sambut Ramadan, Warga Cungking Banyuwangi Gelar 'Resik Lawon'
"Ini pertama kalinya, tahun lalu (2022) dusun kami ziarahnya ke Kudus, jadi kalau yang di Magelang baru hari ini," katanya.
Reza mengatakan kesan yang ia dapat saat ziarah ke makam tersebut adalah suasana syahdu meski sekitar tempatnya berdoa ramai.
"Wajar, karena kalau ruwah pengunjungnya memang membeludak," katanya.
Mengenal Raden Santri
Fauzan menuturkan, Kyai Raden Santri alias Pangeran Singosari adalah putra dari Ki Ageng Pemanahan dengan garwo ampil atau selir.
"Maka, dengan kata lain, Raden Santri adalah saudara tiri Panembahan Senopati, raja Mataram Islam pertama di Jawa," ujarnya.
Meskipun lahir dari istri selir, sambung Fauzan, Kyai Raden Santri mempunyai peranan yang cukup besar di kerajaan maupun di masyarakat.
Pasalnya, Kyai Raden Santri akrab dengan Sutawijaya atau Panembahan Senopati di awal perkembangannya dan melakukan perluasan wilayah dan Kyai Raden Santri sebagai panglima perang Kerajaan Mataram.
"Namun, secara perlahan Kyai Raden Santri bosan di kerajaan dan pamit kepada Sutawijaya untuk mengembara," katanya kepada bakabar.com.
Hingga pada 1660 M Kyai Raden Santri sampai di Dusun Santren, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah dan tinggal dan menetap.
Di sana dia lebih akrab dengan panggilan Kyai daripada Pangeran Singosari, karena kedatangannya untuk berdakwah, banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa ia adalah pangeran dari Kerajaan Mataram Islam. Sisa umur hidupnya ia gunakan untuk berdakwah dan mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu setelah Raden Santri meninggal (1810 M), makamnya yang berada di Gunungpring masih kerap diziarahi.
Peninggalan Nama Daerah
Selain syiar agama Islam, Kyai Raden Santri juga berperan dalam bidang sosial budaya, dia memberi nama-nama daerah yang ada di Magelang, khususnya daerah-daerah yang berada di Gunungpring.
Bahkan, nama-nama yang diberikan Raden Santri di daerah tersebut masih banyak yang dipakai sampai sekarang.
Adapun nama yang masih dipakai yakni Dusun Santren, Dusun Ngawen, Dusun Nepen, Dusun Karaharjan, Dusun Padukuhan, dan Dusun Ngasem. Adapun pemberian nama-nama daerah berdasarkan kondisi sosial budaya pada saat itu.
Pemberian nama Dusun Santren karena di daerah tersebut paling banyak santri dibandingkan dengan dusun lainnya. Dusun Ngawen berdasarkan pada dusun tersebut menjadi tempat dilasanakannya kegiatan budaya.
Baca Juga: 6 Tradisi Unik Nusantara dalam Perayaan Isra Mikraj di Indonesia
Dusun Karaharjan berdasarkan pada melimpahnya sumber daya alam sehingga masyarakat dusun tersebut makmur. Sedangkan Dusun Padukuhan berdasarkan dijadikannya tempat untuk berkumpul. Tak ketinggalan, juga ada Dusun Ngasem berdasarkan pada banyaknya pohon asem di daerah tersebut
Tak hanya di bidang agama, Kyai Raden Santri juga mengajarkan gugur gunung atau gotong royong pada masyarakat.
Keberadaan Kyai Raden Santri di Magelang bersamaan dengan kolonial, pendeta banyak di wilayah Magelang untuk melakukan Kristenisasi.
Guna menghalau hal tersebut, Kyai Raden Santri membuat strategi untuk membendung penjajahan Belanda dengan dakwahnya yaitu menganggap bahwa orang-orang Belanda kafir, maka tidak boleh mengikuti gaya hidup mereka.