Hari Anti Kekerasan Perempuan

Kisah Mirabal Bersaudari, Tiga Srikandi yang Tumbangkan Tirani

Tanggal 25 November adalah Hari Anti Kekerasan Perempuan. Peringatan ini berangkat dari kisah Mirabal Bersaudari, tiga srikandi yang tumbangkan tirani Dominika

Featured-Image
Kisah tentang Mirabal Bersaudari yang mampu tumbangkan torani Dominika. Foto: dok. Berdikari.

bakabar.com, JAKARTA - Dua puluh dua tahun silam, PBB menetapkan 25 November sebagai Hari Anti Kekerasan Perempuan. Peringatan ini berangkat dari kisah tiga srikandi asal Republik Dominika, Mirabal Bersaudari, yang terbunuh secara brutal pada 1960.

Kala itu, hujan lebat mengiringi perjalanan pulang Patria, Minerva, serta Maria Mirabal. Mereka baru saja melepas rindu dengan suami masing-masing yang dipenjarakan oleh diktator Rafael Leonidas Trujillo.

Ketiganya tengah duduk manis di dalam jeep. Perjalanan pulang menuju Salcedo yang semula begitu tentram, dalam waktu sekejap, berubah menjadi peristiwa berdarah. Mirabal Bersaudari tiba-tiba disetop oleh sekelompok orang.

Para penjegal jalan itu rupanya adalah polisi rahasia. Presiden Trujillo, sang tirani korup lagi anti-kritik, itulah yang memerintahkan mereka untuk memisahkan Patria, Minerva, dan Maria dari sang sopir. 

Tanpa diberi tahu kesalahan, diadili, atau diberi kesempatan membela diri, ketiga perempuan ini dipukuli begitu saja sampai tewas. Biadabnya lagi, mayat mereka didudukkan kembali di dalam jeep, seolah-olah meregang nyawa akibat kecelakaan.

Imbas Kritik Tajam dari Bobroknya Rezim Trujillo

Kejadian mengenaskan yang demikian, ternyata, dikarenakan sang Presiden tak terima dengan kritik tajam yang dilontarkan Mirabal Bersaudari. Ketiganya memang terkenal vokal menentang rezim diktator Trujillo.

Betapa tidak, seperti tertulis dalam The Dominican Republic Since 1930 (1990), Trujillo sebagai penguasa tunggal begitu mengontrol gerak-gerik rakyatnya. Penculikan, penangkapan, sampai pembunuhan jadi konsekuensi bagi mereka yang berusaha merecoki kekuasaan. 

Di sektor ekonomi, dia memaksa realisasi monopoli industri. Banyak pabrik yang diambil paksa oleh negara. Dalihnya untuk mendukung pembangunan, namun nyatanya, itu semua hanyalah dusta belaka.

Memasuki tahun 1940-an, tindakan Presiden Trujillo makin menjadi-jadi. Melansir Political Authoritarianism in the Domonican Republic (2009), pemerintah kala itu mengedepankan budaya maskulinitas, di mana perempuan hanya dijadikan objek yang tak lebih dari urusan seksual.

Minerva Argentina Mirabal paham betul akan bobroknya rezim Trujillo. Dia mendengar sendiri bagaimana teman-temannya menceritakan kisah pilu soal kerabatnya yang ditangkap, disiksa, bahkan dibunuh oleh aparat sang diktator.

Pengalaman tersebut membuat putri kedua dari Mirabal Bersaudari itu terjun ke dunia politik. Tak main-main, dia bahkan memutuskan untuk menjadi aktivis anti-Trujillo bawah tanah, mengepalai saudara-saudaranya.

Perlawanan Mirabal Bersaudari kian bergelora usai mereka sendiri menerima perlakuan tak mengenakkan dari Presiden Trujillo.

Tamparan Pembawa Petaka

Pada 1949, Mirabal Bersaudari menerima undangan dari Presiden Trujillo untuk menghadiri pesta mewah di San Cristobal. Undangan itu menyimpan maksud tersembunyi: sang Tirani hendak melamar Minerva.

Ya, meski terkenal lantang menentang rezimnya, Presiden Trujillo teramat menyukai Minerva. Malahan, dia sudah mengincar wanita kelahiran 1927 itu sejak lama karena terpukau dengan paras cantiknya. 

Sebagaimana dituliskan dalam Women’s Political Participation in the Dominican Republic: The Case of the Mirabal Sisters (2017), ketika sedang berdansa, sang penguasa tiba-tiba meminta Minerva menjadi istri keempatnya. 

Alih-alih mengiyakan, dia justru menampar Trujillo. Sontak, sang diktator pun meradang. Dari sinilah, dia memandang Minerva dan keluarganya sebagai pengkhianat.

‘Pertempuran’ dengan Diktator Dimulai

Kejadian memalukan bagi Trujillo di pesta tersebut menandakan babak pertama ‘pertempuran’ melawan Mirabal Bersaudari. Sang diktator berupaya sedemikian rupa untuk menjegal keluarga Mirabal.

Dia melancarkan aksi pertamanya dengan mengambil paksa usaha keluarga Mirabal. Ayah mereka, Enrique Mirabal, dibui tanpa alasan jelas. Dia pun menerima berbagai serangan fisik dan mental, yang pada akhirnya merenggut nyawanya di tahun 1953.

Tak berhenti di situ. Kala Mirabal Bersaudari tengah berduka, rezim Trujillo membatasi ruang gerak Minerva, dimulai dari mempersempitnya di lingkungan kampus. Status Minerva sebagai mahasiswa dicabut.

Alih-alih patah arang, Minerva justru kian terkenal di kalangan akar rumput sebagai aktivis anti-Trujillo. Dengan bantuan saudari dan sejumlah aktivis lain, dia lantas melakukan serangan balasan terhadap Trujillo pada 1959. 

Mereka tergabung dalam Gerakan 14 Juni, yakni upaya perlawanan orang-orang buangan Republik Dominika dari luar negeri yang didukung penuh oleh Pemerintah Kuba di bawah Fidel Castro. 

Trujillo mengamuk atas perlawanan masif pertama yang hendak menggoyahkan kekuasaannya. Sebagai konsekuensinya, ratusan gerilyawan, termasuk Mirabal Bersaudari dan masing-masing suaminya ditahan, sekaligus mendapat penyiksaan tanpa henti. 

Kekejian ini membuat emosi rakyat kian mendidih. Berbagai lapisan masyarakat bersatu, tak terkecuali pihak gereja Katolik yang memalingkan badan dari Trujillo dan mendukung para aktivis.

Trujillo, perlahan-lahan, mulai kehilangan gelanggang kekuasaan. Berbagai tekanan ini akhirnya membuat rezimnya sedikit melunak. Para perempuan yang dipenjara, termasuk Mirabal Bersaudari, dibebaskan. Sedangkan yang laki-laki tetap berada di balik jeruji besi. 

Meski dikeluarkan, bukan berarti Mirabal Bersaudari mendapat kebebasan seutuhnya. Mereka tetap diintimidasi oleh pemerintah karena dianggap sebagai figur yang sangat berbahaya.

Hingga akhirnya, Mirabal Bersaudari mendapat perlakuan keji pada 25 November 1960, sebagaimana yang dituturkan di awal kisah. Perjuangan mereka tak sia-sia. Kini, dunia mengenang mereka sebagai pencetus Hari Anti Kekerasan Perempuan.

Editor
Komentar
Banner
Banner