Gaya Hidup

Jelang Ramadan, Berikut Tradisi Ziarah Unik Nusantara

Lazimnya, ziarah dilengkapi dengan prosesi menebar bunga di atas makam. Namun, sejumlah daerah di Indonesia rupanya juga punya tradisi unik saat berziarah

Featured-Image
Ziarah Kubro di Palembang. Foto: Kemenparekraf via Okezone.com

bakabar.com, JAKARTA - Ziarah makam sudah menjadi tradisi di Tanah Air. Tradisi ini makin ramai dilakukan menjelang Ramadan, yang sekaligus dimaknai sebagai pengingat bagi orang yang masih hidup akan kematian.

Mujib dalam Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Jawa (2016) seperti dilansir bakabar.com Jakarta, menyebut aktivitas mengunjungi makam kerabat atau pemuka agama ternama ini sudah eksis jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara.

Namun, ziarah kubur kala itu cenderung mengarah pada permohonan kepada arwah orang yang meninggal. Seiring berjalannya waktu, ziarah diperbolehkan dengan didasarkan pada keyakinan bahwa umat Islam tidak meminta kepada ruh jenazah yang dikubur.

Makam-makam yang sering dikunjungi oleh masyarakat muslim Indonesia selain keluarga dan sanak famili, adalah pusara para wali, kiai, raja atau mereka yang dianggap memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat.

Lazimnya, ziarah dilengkapi dengan prosesi menebar bunga di atas makam. Ini sesuai dengan anjuran sejumlah ulama yang mengatakan ziarah akan lebih baik jika ada daun berwarna hijau yang diletakkan di makam.

Ajaran tersebut diasumsikan sebagai daun atau tanaman yang masih segar. Ini mengandung harapan bahwa orang yang dikubur di dalamnya bisa terlepas dari siksa kubur.

Bukan cuma itu, sejumlah daerah di Indonesia rupanya juga punya tradisi unik saat berziarah ke makam. Merangkum berbagai sumber, berikut ulasannya:

Ziarah Kubro di Palembang

Ziarah Kubro merupakan tradisi masyarakat Palembang, Sumatra Selatan dalam menyambut Ramadan.

Bukan ziarah biasa, tradisi ini cuma dikhususkan bagi para lelaki yang selanjutnya melakukan pawai menuju sejumlah titik.

Dengan mengenakan pakaian serba putih, mereka berziarah secara massal ke makam para ulama dan pendiri Kesultanan Palembang Darussalam, atau disebut juga dengan Waliyullah.

Tradisi yang berlangsung pada tiap bulan Sya'ban ini berlangsung selama 3 hari berturut-turut. Momen ini juga digunakan sebagai waktu bagi peziarah untuk melakukan silaturahmi dengan sanak saudara dan sesama umat Muslim lainnya.

Tradisi Nyadran di Jawa

Tradisi Nyadran adalah kegiatan berziarah ke makam para leluhur pada hari-hari penting dalam kalender Jawa.

Kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada bulan Sya'ban atau minggu terakhir sebelum bulan puasa. 

Bukan sekadar berdoa di makam, tradisi Nyadran terdiri dari serangkaian kegiatan. Ritus dimulai dengan melakukan besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan.

Kemudian, dilanjutkan dengan kirab, yang merupakan arak-arakan menuju ke tempat upacara adat dilangsungkan.

Sesampainya di tujuan, tradisi dilanjutkan dengan sesi penyampaian ujub atau maksud oleh pemangku adat.

Selanjutnya, pemangku adat memimpin kegiatan doa bersama yang ditujukan kepada roh leluhur yang sudah meninggal. Tradisi ditutup dengan acara makan bersama yang disebut Kembul Bujono dan Tasyukuran.

Dalam sesi Kembul Bujono, setiap keluarga yang mengikuti kenduri harus membawa makanan sendiri.

Makanan itu berupa ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, perkedel, tempe dan tahu bacem, dan sebagainya. 

Makanan itu lantas dikumpulkan untuk didoakan oleh pemuka agama setempat agar mendapat berkah.

Barulah masyarakat yang mengikuti tradisi Nyadran bisa menyantap makanan sembari bersenda gurau, bahkan saling bertukar makanan.

Ziarah ke Makam Keleang di Lombok

Masyarakat Dusun Kelambi, Lombok Tengah, memiliki kebiasaan berziarah ke makam keleang yang diyakini sebagai tempat persinggahan wali Tuhan. Sama seperti Nyadran, tradisi ini terdiri dari serangkaian acara.

Pertama-tama, masyarakat setempat bakal mempersiapkan timbung serta ketupat.

Keduanya merupakan sajian wajib dalam sesajen yang dibawa saat berziarah, bersanding dengan ayam, telur, kacang, kangkung, dan sebotol air mineral.

Sebagaimana dijelaskan Rohimi dalam Historis dan Ritualisme Tradisi Ziarah Makam Keleang di Dusun Kelambi (2019), sesajen itu dimaksudkan sebagai simbol membersihkan hati supaya peziarah menjadi lebih baik dalam urusan dunia maupun akhirat.

Selain menyediakan sesajen, tradisi ini juga dilengkapi dengan sesi penyembelihan hewan seperti ayam, kambing, atau kerbau.

Prosesi ini bisa dilakukan sehari sebelum ziarah, atau disembelih langsung di makam keleang.

Masyarakat Dusun Kelambi juga membawa air yang sudah dimasukkan tanah. Setibanya di makam keleang, mereka menggunakan air itu untuk membasuh muka, sambil memanjatkan doa dan harapan dalam hati masing-masing.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, air tersebut bernilai sakral. Sebab itulah, mereka yakin air itu harus disimpan serta digunakan untuk menyiram tanaman, bahkan dipercaya pula bisa menyembuhkan orang sakit.

Editor


Komentar
Banner
Banner