bakabar.com, BANJARMASIN - Terkadang, beratnya permasalahan hidup membuat seorang manusia merasa putus asa. Namun, Islam melarang umatnya berputus asa. Alasan mengapa kita tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah adalah karena putus asa sama dengan mengingkari nikmat Allah.
Putus asa adalah sikap menyerah dan hilang harapan. Orang yang beriman pasti paham bahwa harapan itu pasti ada, jika manusia mau mengusahakannya. Sebab, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah SWT. Apapun yang dikehendaki-Nya bisa terjadi.
Dalam surat Yusuf ayat 87, Allah SWT menceritakan perihal Nabi Ya'qub AS yang memerintahkan anak-anaknya untuk mencari keberadaan putranya, Yusuf dan Bunyamin.
“Wahai anak-anakku, pergilah kamu, carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya. Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87)
Ayat ini menunjukkan bahwa berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala adalah di antara ciri khas orang-orang kafir.
Allah Ta’ala berfirman,
”Dan Dialah yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dia-lah yang Maha Melindungi lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy-Syuura: 28)
Berangan-angan cepat mati ketika mendapatkan musibah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Janganlah salah seorang dari kalian meninggal kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Muslim)
Hadits di atas menunjukkan bahwa seseorang yang sedang mendapatkan musibah dilarang untuk memiliki angan-angan agar cepat mati karena dia merasa tidak sanggup lagi menanggung dan menjalani musibah tersebut.
Jika ada yang memiliki angan-angan tersebut, pada hakikatnya merupakan suatu kebodohan menurut logika (akal sehat) dan merupakan suatu kesesatan menurut ajaran agama yang mulia ini.
Mengapa disebut sebagai sebuah kebodohan menurut logika (akal sehat)?
Hal ini karena jika dia tetap hidup, dia bisa menambah lagi kebaikan-kebaikannya, jika dia selama ini memang orang yang terbiasa berbuat baik.
Sebaliknya, jika dia selama ini termasuk orang yang sering dan gemar berbuat maksiat, maka dia bisa meperbanyak taubat kepada Allah Ta’ala selama masih diberikan kehidupan. Jika setelah bertaubat dari maksiat dan keburukannya tersebut, dia mati, maka hal itu merupakan satu akhir kehidupan yang sangat baik.
Lalu, mengapa disebut sebagai kesesatan menurut ajaran agama? Hal ini karena orang tersebut telah menerjang larangan Rasulullah s.a.w yang disebutkan dalam hadis di atas, “Janganlah kalian berharap untuk mati.”
Kalimat larangan pada hadis ini menunjukkan hukum haram. Di sisi lain, orang yang memiliki angan-angan dan harapan agar cepat mati menunjukkan bahwa dirinya tidak sabar dengan takdir Allah Ta’ala. Padahal, bersabar ketika mendapatkan dan menghadapi musibah merupakan salah satu kewajiban seorang mukmin.
Keutamaan Sabar dalam Menghadapi Ujian dan Musibah
Mengutip dari muslim.or.id, jika seseorang bisa bersikap sabar ketika menghadapi kesulitan, dia akan mendapatkan dua pahala dan kebaikan.
Pertama, dosa-dosanya yang telah berlalu akan dihapus oleh Allah Ta’ala. Sekecil apapun setiap musibah yang menimpa manusia, semua itu akan menjadi sebab terhapusnya dosa.
Dari ibunda ‘Aisyah r.a., Rasulullah s.a.w bersabda,
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu keletihan dan penyakit (yang terus menimpa), kekhawatiran, dan kesedihan, tidak juga gangguan dan kesusahan, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya.” (HR. Bukhari)
Kedua, jika seseorang diberi taufik dan hidayah untuk bersabar dan berharap pahala, dia akan mendapatkan pahala sabar. Padahal, pahala sabar adalah pahala yang tidak ternilai dan tanpa batas. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
Ayat ini merupakan dalil bahwa sabar itu tidak berbatas, sebagaimana pahala yang didapatkan oleh orang yang bersabar juga tidak ada batasnya. Hal ini sesuai dengan kaidah al–jaza’ min jinsil ‘amal, bahwa balasan (pahala) itu senilai dengan amal perbuatan yang dilakukan.
Ketika balasan pahala sabar itu tanpa ada batas, maka hal ini adalah isyarat bahwa sabar itu juga tidak mempunyai batas. Sehingga ungkapan sebagian orang, “Sabarku ada batasnya”, itu adalah ungkapan yang kurang tepat.
Oleh karena itu, sikap yang benar dari seorang muslim ketika sedang ditimpa ujian dan musibah adalah bersabar dan mengharap pahala. Hal ini karena sesungguhnya setelah adanya kesulitan, pasti akan datang berbagai macam kemudahan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al–Insyirah: 5 – 6)