bakabar.com, RANTAU – Ratusan petani plasma sawit dari desa Tatakan, Kecamatan Tapin Selatan, Kabupaten Tapin, menutup akses jalan sawit PT. Hasnur Citra Terpadu (HCT).
Penutupan akses jalan sawit di Desa Tatakan dilakukan sejak 13 Juni 2021 hingga hari ini.
Perwakilan Petani plasma sawit Desa Tatakan, M. Zaini, menyampaikan tiga tuntutan kepada perusahaan.
Pertama, soal pembagian hasil plasma.
Pihak perusahaan, kata dia, menjanjikan memberikan hasil plasma seluas 2 hektare per petani petani, tapi yang diberikan hanya 1,5 hektare.
“Bagi hasil ini ‘kan dari tahun tanam 2011 ke 2015. Seharusnya sudah bagi hasil. Tapi sampai tahun 2021 ini belum ada pembagian hasil. Bahkan dalih dari perusahaan merugi,” jelasnya
Padahal, lanjut dia, sejak 2015, lahan tersebut mulai dipanen. Perusahaan juga beberapa kali berjanji untuk memberikan bagi hasil, tetapi hingga kini hal itu urung dilakukan.
“Janji pertama pada tahun 2017, setelah lewat tahun 2017 dalih lagi ke tahun 2024 sampai mundur lagi ke tahun 2028. Jadi kami masyarakat tambah kecewa lagi,” ucapnya.
Tuntutan berikutnya soal tali asih. Dia menyampaikan tali asih untuk areal HGU kurang lebih 1.121 hektare.
Sementara terkait sertifikasi lahan, semestinya warga mendapatkan 2 hektare. Namun, setelah ditindaklanjuti ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tapin, luas lahannya hanya 1,5 hektar.
“Setelah dikonfirmasi ke BPN terbukalah bahwa SK 2 hektare per orang itu sebenarnya hanya 1,5 hektare. Di situ ada dugaan penggelapan lahan. Penggelapannya 0,5 hektar dikali 535 bidang,” jelasnya.
Dia berharap penutupan akses jalan bisa membuat perusahaan berubah pikiran. Tapi dalam mediasi yang digelar pada 17 Juni di Polsek Tapin Selatan, dan dihadiri pihak PT.HCT, BPN Tapin, petani plasma, dan kepala desa, masyarakat masih belum puas.
“Ternyata yang datang cuma humas dari perusahaan. Persis seperti dugaan kita. Tidak ada hasil apa-apa. Sebelum masalah HGU, plasma beres dan selama masih belum ada keputusan positif buat masyarakat, lokasi tetap kami tutup,” tegasnya.
Zaini mengaku pernah datang ke kantor utama PT.HCT yang berada di kilometer 12, Desa Pandahan, Kecamatan Tapin Tengah. Tapi di sana, dia tidak bertemu dengan pihak manajemen perusahaan.
“Mediasi sudah beberapa kali dilaksanakan. Namun yang kami sayangkan adalah tidak pernah ada hasil, karena yang hadir dari pihak perusahaan bukan pihak pengambil keputusan. Padahal ada persoalan krusial yang harus dibahas,” tutupnya.
Menanggapi hal itu, Manager Humas dan Kemitraan PT. HCT, Setiyono, mengatakan pihaknya akan mengacu kepada ranah hukum.
“Kita mengacu pada ranah hukum saja. Karena yang lebih profesional dan penyampaian alasan-alasan ada di sana. Kita akan buka data,” ungkapnya.
Setiyono mengatakan di setiap mediasi, pihaknya mengakui tidak bisa membuka data di sembarang tempat, karena data tersebut merupakan dokumen negara.
“Yang dituntut masyarakat ada sekitar 1.000 hektare. Sementara yang dianggap masyarakat sebagai penggelapan itu sisa dari sertifikat yang sudah terbit. Penggelapan itu tidak ada. Itu hanya versi mereka,” ucapnya.
Dia menyampaikan hasil plasma tidak bisa dibagikan karena ada lahan yang terbakar.
"Awal tanam punya masyarakat Desa Tatakan ada yang dari 2011 ada yang Tahun 2012. Bervariasi. Cuman pernah terjadi kebakaran pada tahun 2016. Itulah yang menyebabkan kenapa belum bisa dibagikan hasilnya," ujarnya.
Dia meminta masyarakat memahami dengan baik soal pembagian hasil plasma. Sebab, setiap daerah memiliki kebijakan yang berbeda.
“Pembagian hasil plasma juga bervariasi. Ada yang masa 7-10 tahun sudah bisa dibagi, sementara ada juga yang harus sampai 15 tahun baru bisa dibagi. Karena ada hasil jual buah dikurangi biaya panen, dikurangi biaya utang dan masih terdapat sisa. Dan sisa itulah yang akan kita bagi,” terangnya.
Untuk diketahui, total luas HGU PT. HCT di Kabupaten Tapin mencapai 8.600 hektare, mencakup wilayah administrasi di 11 desa. Sementara luas lahan plasma di Desa Tatakan ada 1,070 hektare dan memiliki 535 petani.