Kalsel

IWD 2021: Mahasiswi Kalsel Jadi Objek Kekerasan Seksual Berbasis Siber

apahabar.com, BANJARMASIN – Ancaman kekerasan seksual rupanya masih mengintai kalangan perempuan di Kalimantan Selatan, khususnya mahasiswi….

Featured-Image
Puluhan mahasiswi turun ke jalan menyerukan pengesahan RUU penghapusan kekerasan seksual memeringati Hari Perempuan Internasional, Senin (8/3). apahabar.com/Bahaudin Qusairi

bakabar.com, BANJARMASIN – Ancaman kekerasan seksual rupanya masih mengintai kalangan perempuan di Kalimantan Selatan, khususnya mahasiswi.

"Banyak di kampus tapi mereka tidak mau melaporkan. Kalau lapor pasti sifatnya curhat ke teman, bukan ke lembaga pelayanan instansi terkait," ujar Koordinator lapangan aksi Hari Perempuan Internasional di Banjarmasin, Rizki Anggarini, Senin (8/3).

Pagi tadi, Rizki bersama puluhan mahasiswi lainnya melakukan aksi di Bundaran Hotel A, Kota Banjarmasin.

Mereka menyerukan aksi perlindungan bagi kaum perempuan yang rentan menjadi objek kekerasan seksual.

Di sela aksi, Rizki membeberkan hasil riset di sembilan perguruan tinggi negeri di Indonesia. Dua di antaranya di Banjarmasin. Yaitu Universitas Lambung Mangkurat dan Universitas Islam Negeri Antasari.

Hasil riset, masih terdapat korban kekerasan seksual yang enggan melaporkan kasusnya. Mereka kuatir hal tersebut justru menjadi aib baginya, dan keluarga.

Sementara modus terbanyak melalui pesan singkat aplikasi online. Isinya, pesan menawarkan tarif kencan.

“Ya ngajak tidur dan sebagainya dengan iming-iming uang,” ujarnya.

Selain ajakan tak senonoh, kiriman konten berbau pornografi jadi ancaman lainnya.

"Sifatnya cerita ke aku. Baru saja dua hari yang lalu bilang, kak ini aku dapat chat meresahkan harus bagaimana," cerita Rizki.

Sementara, kekerasan seksual terbanyak lainnya adalah pemerkosaan. Umumnya, dari orang dekat atau pacar, hingga mantan pacar.

"Tapi mereka tidak bisa melaporkan dan jika ingin melaporkan ke siapa," ucap perwakilan dari Narasi Perempuan itu.

Meminjam data BPS, jumlah kasus perkosaan mencapai 1.288 kasus sejak 2018. Sedangkan, pencabulan tercatat 3.970 kasus dan kekerasan seksual tercatat 5.247 kasus.

Selain takut menjadi aib, ada alasan lain yang cukup menarik. Para mahasiswi yang menjadi korban enggan melapor lantaran kuatir justru terjerat UU Informasi, dan Transaksi Elektronik (ITE).

“Pertimbangannya karena ada kekuatiran mereka dianggap ikut memproduksi konten pornografi,” ujarnya.

Oleh karenanya, kebanyakan dari mereka yang menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus itu, hanya bisa pasrah.

Dirinya meminta DPR dan pemerintah memprioritaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ( RUU PKS).

RUU PKS dinilai memiliki semangat melindungi korban kekerasan seksual, yang selama ini sulit memperoleh perlindungan dari aspek penanganan kasus dan pemulihan.

“Perempuan ini tidak punya payung hukum yang jelas dan UU kekerasan seksual belum disahkan oleh pemerintah.

Rizki turut mengkritik pelayanan kasus kekerasan seksual oleh pihak kampus yang dinilainya masih minim.

IWD 2021: Seruan Tolak Kekerasan Seksual di Banjarmasin Bergaung!



Komentar
Banner
Banner