bakabar.com, MARTAPURA - Terkait isu ajaran sesat di Kecamatan Parasaman, Kabupaten Banjar, Kalsel, MUI Banjar menilai hanya terjadi penyimpangan terhadap syariat Islam yang Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja).
Dugaan adanya ajaran menyimpang di Dusun Danau Huling Desa Paramasan Bawah pada awalnya dilaporkan oleh MUI Kecamatan Paramasan pada Juni lalu.
Pembawa ajarannya ada dua orang yang merupakan pendatang dari Hulu Sungai, yakni berinisial GR (40) dan AD (41). Mereka sudah punya pengikut sekitar 20 orang.
"Menurut hemat saya, di sana yang nampak sekali penyimpangan keagamaan, bukan aliran sesat. Jadi masalah mereka (hanya) koler (malas) ke masjid saja. Mereka berguru kemudian tidak ke masjid lagi," ujar Ketua MUI Banjar, KH Muhammad Husien kepada bakabar.com.
Selain itu, Guru Muhammad Husien -akrab disapa, juga mengakui ada beberapa ibadah yang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan ajaran Aswaja.
Ia menjelaskan, tim Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Keagamaan dalam Masyarakat (PAKEM) Kabupaten Banjar Sabtu tadi sudah melakukan investigasi langsung ke Dusun Danau Huling Desa Paramasan Bawah.
Tim PAKEM yang terdiri dari MUI Banjar, TNI-Polri, Kejaksaan Negeri, BIN, Kemenag, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Kesbangpol Banjar langsung mendatangi guru dan murid di Desa Paramasan Bawah.
"Pengikutnya hanya lima keluarga, sekitar 20 orang. Dan kemarin sudah rapat bersama tim PAKEM, mereka menyampaikan hasil penelitian di sana," tutur Tuan Guru yang juga sebagai Ketua Yayasan Darussalam Martapura ini.
Hasilnya, lanjut Guru Muhammad Husien, beberapa dari laporan bertolak belakang dengan hasil investigasi di lapangan. Fakta lainnya, objek yang menjadi narasumber dalam laporan MUI Paramasan pada umumnya mereka yang tidak mengikuti ajaran tersebut, dan di antaranya seorang muallaf berusia 12 tahun.
"Salah satu item laporannya adalah boleh menggabung salat Magrib dan Isya dengan cara melipat sajadah. Setelah mereka (tim PAKEM) cecar beberapa pertanyaan, katanya: kami ini kan santai duduk menunggu isya seperti biasa. Kan kami duduk lalu melipat sajadah, tapi kalau sudah sampai isya kami buka kembali," papar Guru Muhammad Husin menjelaskan hasil investigasi Tim PAKEM.
Namun, ada beberapa item dari laporan MUI Kecamatan Paramasan yang sesuai hasil ivestigasi, seperti tidak salat Jumat ke masjid, namun melaksanakan di rumah masing-masing tanpa khutbah, termasuk melaksanakan salat Hari Raya pada malam hari di rumah.
Fakta lainnya, pelaksanaan berwudhu hingga salat mereka tidak seperti yang diajarkan pada umumnya.
"Contohnya, mereka kalau wudhu, mereka mengiktikadkan bahwa anggota wudhu mereka itu seperti huruf hijaiyah. Muka (wajah) itu seperti alif, dan seterusnya ba-ta-tsa. Makanya wudhu mereka itu agak lama," papar ulama yang juga menjabat Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Banjar itu.
"Setelah itu, mereka juga melaksanakan salat, namun ada keyakinan-keyakinan tidak biasanya. Mereka harus mengingat lima rasul dalam tiap salat. Misalnya dalam salat Subuh, mulai Nabi Adam, Idris, Nuh, Hud, Saleh. Kemudian 5 Nabi lagi di salat wajib selanjutnya," sambung Guru Muhammad Husin.
Diakui Guru Husin, ajaran demikian belum pernah ia temukan dalam kitab mana pun yang pernah dipelajarinya. "Selama belajar kitab kuning, tidak pernah menemui ilmu seperti itu," kata anak Tuan Guru Husin Ali itu.
Lebih jauh, guru yang mengajarkan ilmu tersebut meyakinkan muridnya, bahwa jika tidak mengikuti cara tersebut, maka tidak sah ibadahnya.
"Padahal pekerjaan wudhunya juga sama dengan kita, cuma iktikad-iktikad ketuhanan yang mereka pakai itu tidak sesuai dengan Ahlussunnah Wal Jamaah. Kita kan yang Aswaja harus ada kitabnya yang diperpegangi," jelas Guru Muhammad Husin.
Di sisi lain, Ketua MUI Banjar ini juga memaklumi kondisi mereka yang jauh dan minim ulama berdakwah, ditambah lagi kondisi sosial mereka yang kesehariannya sibuk mendulang.
"Memang mereka pada umumnya yang ikut ajaran tersebut para pendulang. Dari investigasi mereka hanya terdiri dari lima keluarga. Ketika selesai mendulang, santai malam-malam bicara soal ketuhanan. Itu biasa terjadi orang-orang di tengah hutan, dan mereka tidak membuka majelis. Makanya mungkin MUI Paramasan khawatir ajaran itu kemudian berkembang," tutur Guru Husein.
Guru Muhammad Husin menambahkan, tim PAKEM meminta MUI Banjar mengeluarkan fatwa perihal masalah ini. Namun, pihaknya tidak dapat mengeluarkan fatwa, sebab fatwa hanya boleh dikeluarkan MUI pusat, kecuali dalam keadaan mendesak, itu pun harus berkonsultasi dulu dengan MUI pusat.
"Kesimpulannya kita dari MUI Banjar hanya memberikan pendapat, bukan mengeluarkan fatwa. Konsepnya masih digodok. Insya Allah keluar beberapa hari ke depan. Ini supaya nantinya pihak PAKEM dan para aparat di sana bisa membimbing mereka kembali ke ajaran Aswaja," tutup Guru Muhammad Husin.