Kalsel

Intip Kekerasan G30S/PKI di Kalsel, Apa Peran Nahdlatul Ulama?

apahabar.com, BANJARMASIN – Hari ini, tepat 54 tahun pembantaian sadis G30S/ PKI. Peristiwa nahas itu menjadi catatan…

Featured-Image
Penolakan G30S/PKI. Foto-Istimewa

bakabar.com, BANJARMASIN – Hari ini,tepat 54 tahun pembantaian sadis G30S/ PKI. Peristiwa nahas itu menjadi catatan kelam perpolitikan bangsa ini.

Rupanya gejolak G30S/PKI kala itu, bukan hanya terjadi di Jakarta. Melainkan, juga di Banjarmasin.

Namun, tahukah Anda Nahdlatul Ulama berperan penting untuk meredam kekerasan G30S/PKI 1965 di Kalsel kala itu?

NU dinilai berperan penting atas terhindarnya Kalsel dari kekerasan antarmasyarakat sipil. Terlebih, pasca pecahnya peristiwa politik pada 1965.

Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Mansyur mengatakan, dalam sebuah buku berjudul Berlayar di Tengah Badai: Misbach Tamrin dalam Gemuruh Politik-Seni.

Substansinya membahas kehidupan perupa Misbach Tamrin, kelahiran Amuntai, Kalimantan Selatan, pada 1941 silam.

Pada masa Orde Baru, Misbach Tamrin sendiri pernah mendekam di penjara selama 13 tahun. Lantaran dituduh sebagai komunis.

“Terungkap, di Kalsel relatif tak terjadi kekerasan antar masyarakat sipil pada tahun peralihan politik tersebut,” katanya.

Memang ada penangkapan dan penahanan tanpa pengadilan, seperti dialami Misbach Tamrin dan Toga Tambunan. Akan tetapi, berbeda dengan daerah Jawa, Bali, dan Kalimantan Tengah.

Di Kalsel tak ada perburuan, penyerangan, penangkapan, dan pembantaian masyarakat sipil terhadap masyarakat sipil lainnya.

“Dalam hal ini para aktivis PKI dan atau yang dianggap terkait dengannya. Tidak ada yang namanya 'dibon' seperti di Jawa,” terangnya.

Semua itu dikarenakan faktor kehadiran Pangdam Lambung Mangkurat Kalsel kala itu, Jenderal Amir Machmud yang merupakan pengagum Soekarno.

“Namun hal tersebut masih meragukan,” bebernya.

Menurutnya, ada tiga faktor penyebab masyarakat setempat tak ikut serta mengejar atau menumpas orang yang dianggap PKI.

Pertama, di kalangan masyarakat Banjar saat itu sangat kuat ikatan kekeluargaan.

Mereka mengenal istilah ‘Bubuhan’, artinya anggota keluarga besar.

Beberapa orang Banjar sendiri banyak yang aktif di PKI atau pun organisasi yang dekat dengannya. Jadi, kekerabatan ini mampu mencegah kekerasan.

Selain itu, orientasi keagamaan orang Banjar sangat moderat. Kebanyakan mereka orang NU.

Jadi, NU dan juga peran seorang tuan guru di Martapura sangat dihormati masyarakat setempat.

“Mempunyai pengaruh besar tidak terjadinya kekerasan,” tegasnya.

Menurut Toga, sebelum dirinya tertangkap, ia sempat bersembunyi dari satu daerah ke daerah lain di pelosok Kalsel. Ia pun bertemu dengan banyak orang.

Akan tetapi, mereka seperti tak peduli. Bahkan, sebagian ada yang membantu.

Memang, Kalsel tercatat sebagai basis Partai NU di luar Jawa saat itu. Bahkan, hingga kini.

Ketua Umum NU saat itu, yakni KH. Idham Chalid yang berasal dari Kalsel. Tak heran kalau NU di Kalsel merupakan partai terbesar pada 1965.

“Apa yang dikemukakan Toga bisa disebut sebagai kesaksian. Toga bercerita datang ke Banjarmasin pada 1962 sebagai pegawai kesehatan yang dikirim pemerintah pusat untuk ikut menangani penyakit malaria yang menyebar di kawasan tersebut,” terangnya.

Karena senang menulis dan berkesenian, ujar Mansyur, Toga kemudian turut mengelola LEKRA Kalsel bersama Misbach Tamrin.

Hal tersebut yang menyeretnya ke tahanan selama 14 tahun, meskipun ia mengaku bukanlah anggota PKI.

“Beliau sebenarnya anggota Partindo (Partai Indonesia, red) sebelum ke Banjarmasin. Beliau adalah redaktur kebudayaan Bintang Timur, milik Partindo,” pungkasnya.

Baca Juga: Menyelisik Sejarah; Tumbuh Kembang PKI di Kalsel yang Berujung Hukuman Mati

Baca Juga: Gerakan Mahasiswa di DPRD Kalsel, Bawa Nisan, Tanda KPK 'Mati'

Baca Juga: Terjunkan Ratusan Personel, Polisi Pastikan Demo Depan DPRD Kalsel Kondusif

Reporter: Muhammad Robby

Editor: Syarif



Komentar
Banner
Banner