Sungai Martapura punya peranan penting bagi warga Banjarmasin dan sekitarnya. Masyarakat Suku Banjar zaman dulu memanfaatkannya sebagai sarana melakukan aktivitas ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya, sehingga sungai menjadi ruang hidup bersama.
Namun kini semua sudah berubah. Masyarakat Banjar seperti telah berpaling. Bangunan rumah yang dulunya didirikan menghadap sungai, kini sudah dibangun membelakangi.
Sungai Martapura yang awalnya adalah ruang hidup, kini seakan hanya menjadi ruang buang. Kebijakan pipanisasi sejak tahun 1937 di Banjarmasin dan sekitarnya membuat Sungai Martapura kian kehilangan marwahnya.
Hal ini lantas membuat seniman lokal, Novyandi Saputra, resah. Sebagai upaya menyadarkan masyarakat, dia berniat untuk membuat suatu karya yang berkorelasi dengan Sungai Martapura.
"Saya ingin punya satu karya visual tentang Sungai Martapura," ujar Novyandi.
Baca Juga: Rilis 'Waja Sampai Kaputing', 'Kada Kawa Kawan Ae' Jadi Jagoan di Album Kedua Primitive Monkey Noose
"Semoga karya ini nantinya bisa jadi satu pengingat bagi saya dan masyarakat luas tentang betapa pentingnya keberadaan Sungai Martapura itu," sambungnya.
Untuk itu, Novyandi melibatkan dirinya dengan residensi Modus/Air yang diinisiasi oleh komunitas Indeks (Bandung), Pertigaan Map (Surabaya), dan Borneo Urban Lab (Banjarmasin).
"Modus/Air ini adalah program untuk menciptakan suatu karya yang fokus kepada isu lingkungan, khususnya air," jelas pria yang juga pengajar di Prodi Pendidikan Seni Pertunjukan FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) itu.
Residensi ini akan dilakukan selama dua bulan lamanya, hingga Novyandi berhasil menelurkan suatu karya.
Dalam proses residensinya, Novyandi menceritakan jika dirinya sudah punya beberapa insight mengenai kisi-kisi karyanya tentang Sungai Martapura.
Imajinasi, teror, dan romantisme akan jadi tiga poin penting yang bakal ditonjolkan Novyandi dalam karyanya nanti.
"Kalau kita bicara sungai di hari ini, tiga hal ini yang muncul di kepalaku. Ketiganya saling mengikat," ungkapnya.
Imajinasi yang dia maksud adalah betapa Sungai Martapura itu diimajinasikan kembali menjadi penting seperti dulu.
Kemudian teror. Diibaratkan sebagai satu ketakutan ketika melihat kondisi Sungai Martapura di masa kini yang sudah kian ditinggalkan dan penuh dengan sampah-sampah.
Lantas, imajinasi adalah suatu bayangan tentang cerita tentang keindahan, hingga kebermanfaatan Sungai Martapura di masa lalu.
Poin-poin tersebut, kata Novyandi, nanti akan mempertebal motif-motif di karyanya.
Di samping itu, Novyandi juga akan mengumpulkan karya-karya lain, seperti musik dan puisi dari seniman lokal yang punya hubungan erat dengan Sungai Martapura, untuk memperkaya khasanah untuk menciptakan karyanya.
"Ini juga akan jadi idiom-idiom di karyaku. Aku juga pengen arsip ini tidak hanya sekadar ada di buku, tapi bisa jadi karya visual. Yang ketika ditampilkan, orang luar bisa melihat betapa orang Banjar yang diwaliki oleh seniman juga punya perspektif tentang sungai," bebernya.
***
Dalam proses riset, Novyandi juga menggelar Forum Grup Discussion (FGD) bersama pegiat lingkungan, akademisi, hingga mahasiswa.
FGD yang dilaksanakan di Rumah Alam, Jalan Sungai Andai, Banjarmasin, Rabu (30/8) itu dihadiri oleh Hamdi (pegiat lingkungan dari Masyarakat Peduli Sungai - Malingai-) dan Bambang Subiyakto (Guru Besar Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM).
Hamdi pun mengapresiasi upaya Novyandi, sebagai seorang seniman yang punya kepedulian terhadap sungai.
"Semoga kawan-kawan seniman bisa mengaktualisasikan kondisi sungai di dalam karyanya. Harapannya jadi akan lebih banyak orang tahu tentang sungai kita hari ini. Seniman bisa jadi amunisi baru untuk pemerintah agar bisa menginfluence masyarakat agar peduli sungai," ujarnya.
Baca Juga: Kualitas Udara di Kalteng; Sampit Turun, Palangka Raya Fluktuatif
Lebih jauh, Hamdi berujar, potret sungai yang memperihatinkan kini, merupakan buah dari sikap abainya pemerintah daerah.
"Pemerintah daerah, bukan hanya Pemkot Banjarmasin, tapi Pemprov Kalsel secara umum, saat ini setengah hati untuk mengembalikan fungsi sungai," tekannya.
Di samping itu, banyak kebijakan pemerintah terhadap sungai yang dinilai Hamdi salah kaprah. Salah satunya adalah langkah betonisasi anak-anak sungai.
"Ini perlu dipikirkan kembali. Oke kalau sungai yang di dalam kota dibeton, tapi juga tidak semua. Beberapa sungai mestinya dibiarkan secara alami," tuturnya.
Pemerintah, kata dia, juga punya peranan penting untuk menyadarkan masyarakat agar tidak lagi membuang sampah-sampahnya ke sungai.
Contohnya dengan mengoptimalkan kembali program bank sampah.
"Sosialisasikan itu dengan benar. Masyarakat kita, kalau sekadar diimbau tidak akan bergerak. Namun jika ada program yang bisa mengganti lelah mereka secara finansial, pasti akan berjalan. Meski tidak bisa cepat, tapi bisa perlahan," saran Hamdi.
Ditinjau dari perspektif sejarah, Bambang Subiyakto turut menyebut jika orientasi pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah di Kalsel, khususnya Banjarmasin hari ini, juga mengabaikan tentang keberadaan sungai.
"Pembangunan berorientasi darat ini memang telah dimulai sejak pemerintahan Presiden Soeharto, dan berkelajutan hingga hari ini. Hal ini yang akhirnya berimbas pembangunan ke kita," tandasnya.