bakabar.com, JAKARTA - “Kematian perwira tinggi Inggris nanti pasti akan dibalas tentara kerajaan Inggris dari darat, laut, maupun udara.” Demikian ‘sumpah’ Kapten R.C.Smith kala mendengar kabar kematian Brigadir Mallaby.
Sore itu, 30 Oktober 1945, Kapten Smith melihat sendiri betapa mengenaskannya senja terakhir bagi sang pemimpin Brigade Infanteri India 49. Peristiwa berdarah ini bermula ketika emosi pemuda Indonesia berkecamuk, sebab tak terima Mallaby dan pasukannya membebaskan orang-orang Belanda.
Ditambah lagi, Inggris telah lebih dulu menyebarkan pamflet yang berisi ultimatum agar rakyat Indonesia menyerahkan senjata. “Seluruh rakyat Surabaya harus mengembalikan senjata hasil rampasan dari tentara Jepang. Mereka yang menyimpan senjata akan langsung ditembak di tempat,” demikian bunyi ultimatum tersebut.
Peringatan yang demikian disiarkan tanpa sepengetahuan Mallaby – yang sudah terlanjur membangun kesepakatan dengan warga Surabaya. “Pamflet ini adalah tamparan yang amat memalukan bagiku sebagai perwira tinggi,” tulis Mallaby dalam suratnya yang ditujukan pada sang istri.
Mallaby dilanda dilema. Dia merasa tidak bisa memungkiri janjinya kepada rakyat Surabaya, namun di sisi lain, dia juga tak mampu mengekang perintah atasan. Akhirnya, sang jenderal menuruti kemauan atasan; dia mulai menyita kendaraan, juga merampas senjata milik orang Indonesia.
Senja Berdarah 30 Oktober 1945
Situasi kian memanas, lantas pecahlah bentrokan dengan tentara Inggris pada 28 Oktober 1945. Bentrokan ini terus berlanjut sampai tiga hari ke depan – yang bahkan disebut sebagai ‘neraka.’
Situasi tak kunjung mereda, hingga pemimpin militer Inggris pun turun tangan. Mayor Jenderal Howthorn mengajak pimpinan Indonesia di Jakarta untuk berunding, dengan harapan, wibawa Presiden Soekarno bisa membuat amarah pemuda Surabaya mereda.
Amarah arek-arek Suroboyo tak lantas mereda begitu saja, meski pengampu negeri sudah membentuk biro khusus. Tembakan demi tembakan terus bersahutan. Kala amukan massa dirasa tak lagi bisa dibendung,Mallaby bersama sederet perwira tinggi lain ‘bersembunyi’ di dalam mobil.
Saat letusan senjata api mereda, sang pemimpin tentara Sekutu itu mengintip untuk memantau situasi. Beberapa pemuda tak dikenal mendekat. Naas, salah seorang di antaranya menembak Mallaby dari jarak cukup dekat.
Serangan Balas Dendam
Serdadu Inggris tentu tak terima dengan kematian perwira tingginya. Mereka pun melancarkan serangan ‘balas dendam’ pada 10 November 1945, sekira pukul 06.00 pagi. Gempuran datang dari berbagai penjuru: darat, laut, udara.
Serangan pertama yang demikian tentu memakan korban dalam jumlah besar, utamanya dari kalangan rakyat biasa. Sontak, gempuran ini menuai respons dari segala lapisan masyarakat. Tokoh terkemuka dari berbagai kalangan pun turut menggelorakan semangat.
Salah satunya, Bung Tomo yang mengobarkan semangat tempur dengan bersenjatakan mikrofon. Lebih tepatnya, dia menyiarkan pidato nan membara lewat pancaran Radio Pemberontakan milik Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI).
Perang Surabaya, begitu sebutannya, melibatkan sedikitnya 20 ribu tentara Indonesia dan 100 ribu warga sipil. Perwira TNI sekaligus pelaku sejarah dalam pertempuran 10 November 1945, Hario Kecik, bahkan menyatakan bahwa peristiwa itu sebagai perang antara rakyat Surabaya dengan militer Inggris.
Sementara di pihak sebelah, serdadu Inggris-India yang jumlahnya mencapai 30 ribu orang sangat terlatih, juga dilengkapi persenjataan lengkap. Kondisi ini tentu jauh berbeda dengan pasukan Indonesia, yang hanya mengikuti buku-buku petunjuk militer Jepang.
Perlawanan Indonesia pun berlangsung dalam dua tahap. “Pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman,” tulis David Wehl dalam Birth of Indonesia (1949) seperti dikutip Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda.
Fanatisme Buta Arek-Arek Suroboyo
Dalam Palagan Surabaya, banyak Sherman dan awaknya malah jadi bulan-bulanan para pejuang Indonesia. Tak sedikit pasukan yang nekat menggunakan granat di tangan untuk meluluhlantakkan tank besar milik Inggris itu.
Menjelang tengah malam, pasukan ‘bunuh diri’ yang beranggotakan anak-anak muda nan fanatik melakukan penyergapan massal terhadap tank-tank Inggris yang mulai keluar dari ‘sangkarnya.’
“Mereka ramai-ramai menaiki tank tersebut, membuka kanopinya dan langsung menerjunkan diri masuk ke dalam tank: meledakkan seluruh isinya, termasuk diri mereka,” demikian beber Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945.
Sementara di pihak sebelah, serdadu Inggris membakar sekaligus memborbardir sejumlah perkampungan. Ratusan jasad pun tak ubahnya bergelimpangan tanpa nyawa di jalan.
Malahan, berdasarkan penuturan Hario Kecik, dia mengaku melihat seseorang berkeliaran sembari memegangi ususnya yang menjalar ke luar tubuh. “Semula saya kira pria itu menggendong bayi, ternyata yang dipegang adalah usunya,” kata dia dalam autobiografinya.
Pertempuran Surabaya, di kemudian hari, dikenang sebagai episode paling heroik, mencekam, juga brutal dalam sejarah pasca-Perang Dunia II. Pihak Inggris kehilangan sedikitnya 1.500 serdadu, sedangkan korban dari pihak Indonesia diperkirakan mencapai 16.000 jiwa.
Sebab itulah, selang setahun usai Pertempuran Surabaya pecah, Presiden Soekarno menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Lewat Keputusan Presiden (Keppres) No. 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional, peringatan ini bertujuan menghormati para pahlawan yang gugur di medan pertempuran.