News

Hakim MK Pertanyakan Legal Standing LPRI di Sidang Sengketa PSU Banjarbaru

Persidangan pendahuluan sengketa Pemungutan Suara Ulang (PSU) Banjarbaru yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (15/5) menyita perhatian publik.

Featured-Image
Sidang sengketa PSU Banjarbaru. Foto: YouTube MK

bakabar.com, BANJARBARU – Sidang pendahuluan sengketa Pemungutan Suara Ulang (PSU) Banjarbaru yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (15/5) menyita perhatian publik.

Dalam sidang tersebut, para pemohon melalui Denny Indrayana selaku kuasa hukum banyak menghadirkan bukti berupa tangkapan layar dari media sosial dan percakapan grup WhatsApp.

Tangkapan layar yang ditampilkan meliputi komentar warganet di Instagram, obrolan grup WhatsApp RT/RW, hingga percakapan Ketua LPRI Kalsel, Syarifah Hayana, ketika meminta wartawan menghapus berita real count PSU Banjarbaru yang dirilis oleh LPRI sendiri.

Dalam sidang yang dipimpin hakim konstitusi Arief Hidayat, MK turut mempertanyakan status hukum LPRI sebagai pemantau pemilu yang telah dicabut KPU.

Hakim juga meminta penjelasan dari KPU terkait alasan pencabutan akreditasi, mengingat sebelumnya lembaga tersebut telah mendapat sertifikasi resmi.

Sidang tersebut merupakan tindak lanjut dari dua gugatan yang diajukan warga Banjarbaru, Udiansyah, dan LPRI Kalsel. Gugatan teregistrasi dengan nomor perkara 318/PHPU.WAKO-XXIII/2025 dan 319/PHPU.WAKO-XXIII/2025.

Dalam keterangan di persidangan, Syarifah mengaku mendapatkan tekanan dan intimidasi setelah mengajukan permohonan ke MK.

Syarifah juga menyebut pencabutan akreditasi LPRI dan status sebagai tersangka sebagai bentuk upaya menghalangi proses hukum, "Saya merasa ini bagian dari upaya menghalangi proses hukum," paparnya.

Kendati mendapatkan tekanan, Syarifah menegaskan tetap berkomitmen melanjutkan perjuangan konstitusional.

Adapun kuasa hukum pemohon lainnya, Muhamad Pazri, menuding telah terjadi pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dalam PSU Banjarbaru.

Pazri menyebut praktik politik uang, intimidasi terhadap pemilih dan pemantau, serta ketidaknetralan aparatur negara sebagai bukti kecurangan.

"Dalam PSU Banjarbaru terjadi DUIToktasi atau demokrasi yang dibajak lewat politik uang dan intimidasi," tegas Pazri.

Pazri lantas menyinggung nama Ghimoyo yang kini menjabat sebagai salah satu direktur utama BUMN, sekaligus Presiden Relawan Dozer, sebagai pihak diduga terlibat dalam mendukung pasangan calon tunggal Hj Erna Lisa Halaby dan Wartono.

Editor


Komentar
Banner
Banner