bakabar.com, MARABAHAN - Sulit membayangkan betapa sedih dan perih hati Misbah (43), ketika sang suami tewas di tangan seorang residivis dalam sebuah kejadian di Jalan Trans Kalimantan, Kecamatan Alalak, Senin (29/5) lalu.
Suami Misbah yang bernama Arbain (AR), tewas dengan 26 luka tusukan belati dari pelaku berinisial JM alias Jumai (33).
Tak hanya menghilangkan nyawa orang lain, residivis kasus pembunuhan itu juga melukai seorang anggota Polsek Alalak.
Tak pelak kejadian tersebut benar-benar meruntuhkan fisik maupun mental istri dan keempat putri Arbain. Apalagi almarhum yang meninggal dalam usia 45 tahun ini merupakan tulang punggung keluarga.
"Makanya saya menginginkan agar pelaku dihukum setimpal, juga harus membiayai sekolah anak kami," seru Misbah ketika ditemui bakabar.com, Selasa (30/5).
"Setelah suami saya meninggal, kami kehilangan satu-satunya tulang punggung keluarga. Sementara saya hanya ibu rumah tangga dan tak memiliki pekerjaan," sambungnya sembari menahan air mata.
Semasa hidup Arbain bekerja serabutan untuk menghidupi keluarga. Mulai dari menjadi buruh bangunan atau mencari kayu galam untuk dijual.
"Kami tidak memiliki lahan pertanian. Kami juga tidak mungkin menyewa lahan milik orang lain, karena tak memiliki ongkos," papar Misbah.
Pun sebelum meninggal, Arbain sedang bekerja sebagai buruh bangunan di Kelurahan Teluk Dalam, Banjarmasin Tengah.
"Saya ingat sehari sebelum kejadian, suami saya berpesan sebelum berangkat kerja. 'Esok aku tulak betukangan, bisa kada bulik lagi' (Besok saya berangkat kerja, mungkin tidak pulang lagi)," kenang Misbah.
Baca Juga: Mengamuk Pakai Sajam di Alalak Batola, Residivis Bunuh Warga dan Lukai Polisi
Baca Juga: Usai Ditusuk Residivis, Kondisi Bhabin Polsek Alalak Batola Berangsur Membaik
Dengan penghasilan yang jauh dari kata cukup, rumah Arbain di Desa Anjir Serapat Lama, Kecamatan Anjir Muara, juga terbilang memprihatinkan.
Rumah itu hanya berukuran sekitar 2,5 x 4,5 meter, beratap daun, serta berdinding dan berlantai kayu. Bahkan beberapa dinding dan lantai juga telah patah termakan usia.
Ironisnya selama sekitar 25 tahun ditempati, rumah tersebut belum terjamah program bedah rumah dari pemerintah.
"Sebenarnya kami sangat ingin mendapat program bedah rumah. Namun kami terkendala lahan, karena rumah berdiri di pinggir sungai atau jalur hijau," lirih Misbah.
Sekarang setelah Arbain tiada, Misbah belum menemukan solusi untuk menyambung hidup. Mereka pun tampaknya harus bergantung kepada bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH).
Namun demikian, besaran bantuan sosial yang diterima tidak seberapa, "Kami menerima Rp450 ribu per tiga bulan. Ini pun diperuntukkan dua anak kembar kami yang masih SD," jelas Misbah.
Tidak hanya keluarga, warga setempat juga kaget dengan kabar pembunuhan Arbain. Terlebih pria yang memelihara rambut ikal sebahu itu nyaris tidak pernah terdengar berkelahi.
"Saya cukup lama bekerja bersama almarhum. Sepanjang ingatan saya, Amang Ain (panggilan Arbain) tidak pernah terlibat cekcok," papar Syahid, salah seorang warga.
"Beliau juga rajin, sehingga banyak yang sering mengajak bekerja. Makanya kami terkejut, ketika dikabari kalau Amang Ain meninggal akibat dibunuh," pungkasnya.