bakabar.com, JAKARTA - Kembali beroperasinya PETI di Desa Bunati, Angsana, Tanah Bumbu, seolah membuktikan polisi tidak serius memberantas aksi pertambangan tanpa izin.
Kritik terhadap kepolisian tersebut diutarakan Herdiansyah Hamzah alias Castro, peneliti Pusat Studi Antikorupsi (Saksi) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.
"APH [aparat penegak hukum] kalah oleh penambang ilegal, itu kan paradoks, APH seharusnya memberi rasa aman untuk warga, tapi justru kalah oleh pelaku kejahatan tambang ilegal dan para preman-premannya," ujar Castro saat dihubungi bakabar.com, Rabu malam (12/4).
Awal April 2023 pukul 02.00, sekelompok penambang ilegal kembali muncul di area konsesi tambang PT Anzawara di Desa Bunati. Informasi warga setempat, ada tiga penambang ilegal yang beroperasi.
Masing-masing penambang lengkap dengan operator membawa 3 eskavator, 5 unit truk untuk pengupas tanah, 4 truk pengangkut batu bara berkapasitas 25 ton, dan 1 dozer.
Baca Juga: Dear Pak Mahfud! Garong Tambang Beraksi Lagi di Bunati TKP Pembunuhan Jurkani
Baca Juga: Pak Mahfud! Garong Tambang Beraksi Lagi di Bunati TKP Pembunuhan Jurkani
Aksi penggarongan batu bara di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) Anzawara tak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, tetapi juga menyulut konflik sosial.
Seorang pengacara asal Tanah Bumbu bernama Jurkani, yang kala itu bekerja sebagai kuasa hukum Anzawara untuk mengusir penambang liar, tewas dibacok, Oktober 2021. Lokasi kejadiannya tak jauh dari Pantai Bunati.
Aktivitas pertambangan yang dilakukan secara ilegal jelas adalah sebuah kejahatan yang memiliki konsekuensi pidana. Namun demikian hal tersebut kerap terabaikan.
"APH cenderung melakukan pembiaran terhadap tambang ilegal. Berkaca kasus Ismail Bolong, kemungkinan keterlibatan APH di tambang ilegal itu sangat terbuka di tempat lain," pungkas Castro.