bakabar.com, JAKARTA – Gabriel Prince tengah diterpa badai spekulasi perihal orientasi seksualnya. Sebuah foto yang menampilkan sang model berciuman dengan pria lain, adalah pemicunya.
Dalam foto tersebut, Gabriel Prince terlihat duduk berdampingan dengan teman prianya. Foto pertama menunjukkan bibir mereka saling ‘bertemu’, lantas keduanya pun tersenyum setelah melakukan itu.
Prince, begitu sapaannya, sontak dituding sebagai penyuka sesama jenis. Namun, dia membantah tudingan tersebut, dengan mengatakan ciuman itu merupakan bagian dari permainan.
“Aku mau jelasin bahwa itu kita lagi main game. Itu ada kertas di antara bibir kita. [...] Kita juga cuma bercanda. So yes, I am straight,” begitu klarifikasinya lewat sebuah unggahan di TikTok, dikutip Minggu (7/5).
Memang tak bisa dipungkiri, orang Indonesia sangat sensitif manakala melihat sesama jenis melakukan kontak fisik. Mereka menilai tindakan itu tidak bermoral, lantas ‘menunjukkan jari’ kepada orang yang terlibat; menudingnya melakukan penyimpangan.
Padahal, kontak fisik seperti bergandengan tangan, berpelukan, atau berciuman merupakan hal yang lumrah dilakukan di negara-negara Asia Timur, semisal Jepang dan Korea Selatan. Orang sana menganggap itu sebagai bentuk dari komunikasi nonverbal.
Hal Lumrah di Korea yang Berangkat dari Kebiasaan Keluarga
Kontak fisik, atau sering disebut skinship, sejatinya meradalah upakan hal biasa dalam budaya Korea Selatan. Itu sebagaimana diungkapkan pasangan asal Kanada yang menetap di Negeri Ginseng sejak 2008, Simon dan Martina, dalam kanal YouTube-nya.
Mereka mengungkapkan warga Korsel malah lebih maklum melihat sesama jenis melakukan kontak fisik di depan umum, daripada pasangan lawan jenis yang melakukannya. Robertson dan Jung dalam penelitiannya (2005) juga menyampaikan hal serupa.
Skinship, kata mereka, justru dikategorikan sebagai tindakan yang menunjukkan hubungan kekeluargaan atau tanda pertemanan. “Adalah hal yang wajar untuk melihat dua lelaki atau perempuan saling bergandengan tangan di depan umum,” tulisnya.
Kontak fisik antara sesama jenis bahkan terang-terangan dilakukan idol K-pop. Orang Korea tak mempermasalahkan skinship, sebab menganggapnya sebagai bagian dari pesan nonverbal.
Sentuhan itu berkaitan dengan proxemics, atau penggunaan ruang dalam sebuah komunikasi. Littlejohn dan Foss dalam bukunya (2005) menjelaskan bahwa sentuhan merupakan lambang dari area personal seseorang.
Makin dekat jarak seseorang ketika bersentuhan dengan orang lain, itu menandakan keduanya tak lagi memberi batasan interpersonal.
Skinship antara sesama jenis juga bukan dianggap sebagai sesuatu yang aneh karena hal ini sejatinya banyak dilakukan dalam keluarga. Tahhan dalam jurnalnya (2010) menyebut bahwa skinship berangkat dari kebiasaan yang dilakukan para orang tua terhadap anaknya.
Hubungan antara orang tua dan anak banyak melibatkan kontak fisik. Seiring anak beranjak dewasa, skinship pun tak jarang dimaknai sebagai cara guna mengungkapkan kasih sayang dan memberikan ikatan emosional.
Makna skinship dalam budaya Korea yang demikian tentu saja bisa berbeda dengan negara lain. Indonesia, misalnya, yang justru menganggap hal itu sebagai hal tabu. Di negari ini pun, tak semua orang sependapat dengan hal tersebut.
Mereka yang dibesarkan di lingkungan konservatif memang cenderung menganggap skinship sebagai antara sesama jenis sebagai tindakan tidak bermoral. Namun, mereka yang besar di lingkungan lebih ‘terbuka’, kerap menganggapnya sebagai hal lumrah.
Jadi, makna skinship itu sendiri sebenarnya kembali lagi pada keyakinan masing-masing. Akan lebih baik bila kita tidak menghujat orang yang melakukan skinship, sebab tidak ada yang tahu apa intensi sebenarnya di balik kelakuan tersebut.