Kalsel

Formasi Guru Dihapus, Dosen ULM: Kualitas Pengajar di Indonesia Berpotensi Anjlok

apahabar.com, BANJARMASIN – Pada awal 2021, pemerintah pusat mengambil kebijakan untuk tidak menerima formasi guru sebagai…

Featured-Image
Ilustrasi. Foto-Istimewa

bakabar.com, BANJARMASIN – Pada awal 2021, pemerintah pusat mengambil kebijakan untuk tidak menerima formasi guru sebagai PNS, melainkan hanya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Kebijakan itu menuai pro-kontra di tengah masyarakat Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan (Kalsel).

Bahkan kebijakan ini diprediksi berimbas terhadap perguruan tinggi di Kalsel, khususnya Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).

“Jika kebijakan itu benar-benar dilaksanakan, maka jelas berimbas terhadap perguruan tinggi, khususnya Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP),” ucap Dosen Program Studi PKN FKIP ULM Banjarmasin, Reza Pahlevi, kepada bakabar.com, Sabtu (2/1) sore.

Selama ini, kata dia, motivasi calon mahasiswa masuk jurusan keguruan karena dinilai menjanjikan kesempatan kerja.

“Apalagi dalam proses rekrutmen, CPNS selalu didominasi oleh formasi guru,” katanya.

Menurutnya, alasan pemerintah menghapus formasi guru dalam seleksi CPNS sangat klasik.

“Selain alasan klasik mengenai keterbatasan ketersediaan anggaran, juga dikarenakan banyak guru yang pindah (mutasi) sebelum waktunya. Sehingga menyebabkan sistem data kepegawaian menjadi kacau. Tentu dalih ini dirasa kurang bisa dimengerti,” bebernya.

Seharusnya, sambung dia, pemerintah tetap membuka dua jalur rekrutmen untuk guru yakni melalui PPPK dan CPNS.
Dilihat dari tujuannya, PPPK dan CPNS memiliki sasaran berbeda.

“PPPK diprioritaskan untuk mereka yang berusia di atas 35 tahun, sedangkan CPNS untuk mereka berusia di bawah 35 tahun,” jelasnya.

Namun apabila belajar dari pengalaman 2015 – 2017 kemarin, pemerintah juga pernah mengambil kebijakan untuk moratorium rekrutmen CPNS, termasuk formasi guru.

“Tetapi dilihat dari jumlah mahasiswanya, jurusan keguruan tetap diminati mahasiswa kala itu,” tegasnya.

Dia meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut.

Mengingat dalam perspektif guru, kebijakan ini dinilai diskriminatif dan cenderung berpotensi melanggar Undang-undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

“Selain itu, kebijakan ini juga berpotensi membuat kualitas pengajar di masa akan datang anjlok, karena lulusan terbaik kampus tidak berminat lagi melamar posisi sebagai guru,” pungkasnya.

Komentar
Banner
Banner