Borneo Hits

Fenomena Curi Start Pilkada Menjadi Sorotan Pengamat Politik Kalsel

Pengamat Politik Kalsel Prof. Dr. H. Ahmadi Hasan, menanggapi terkait mencuatnya isu dugaan pengerahan aparat desa

Featured-Image
Pengamat Politik Kalsel, Ahmadi Hasan menanggapi terkait fenomena curi start di Pilkada 2024. Foto : Ahmadi Hasan

bakabar.com, BANJARBARU - Pengamat politik Kalimantan Selatan, Prof H Ahmadi Hasan menanggapi isu dugaan pengerahan aparat desa oleh salah satu peserta Pilkada 2024 sebelum kontestasi dimulai.

Dosen Politik Hukum S3 Ilmu Syariah Pasca Sarjana UIN Antasari Banjarmasin itu mengatakan, secara normative yuridis, fenomena curi start dengan dalih silaturrahmi berbentuk pengerahan massa dukungan kepada salah satu pasangan, tidak terdapat cukup pasal dan ayat yang menjelaskan bahwa kegiatan tersebut termasuk kategori pelanggaran, karena dilakukan di luar masa kampanye.

Sehingga bagi penyelenggara KPU maupun Bawaslu tidak dapat menyemprit kegiatan tersebut sebagai perbuatan yang melanggar dan dilarang. Akibatnya, menyulitkan bagi penyelenggara untuk memanggil dan memberikan sanksi terhadap pelaksanaan tersebut.

“Dalam hal ini berlaku asas legalitas hukum,” papar Ahmadi, Senin (23/09).

Dengan berbagai argumen hukum KPU dan Bawaslu bisa saja berdalih bahwa kegiatan tersebut dimaknai sebagai kegiatan biasa, karena timing belum mengikat karena belum masa kampanye. Diketahui ketentuan masa kampanye dimulai 25 september 2024 nanti.

“Kecuali pengerahan massa tersebut melibatkan ASN yang menurut ketentuan pemilu dan undang-undang mereka tidak boleh terlibat dalam politik praktis. Maka dalam hal ini Bawaslu ini harus memberikan pengawasan,” jelasnya.

Selain itu, nilainya pada tataran etika berdemokrasi dan moralitas pelaksanaan pemilukada terdapat cacat moral, bahwa fenomena curi star yang dilakukan oleh pejabat publik tersebut tentu tidak sesuai dengan kepatutan dan melanggar etika berdemokrasi yang seyogianya harus dijunjung tinggi oleh setiap calon pasangan yang akan berkontestasi dalam hajatan pemilukada mendatang.

“Sebab kalau calon pasangan tidak mengindahkan norma etika berdemokrasi tentu akan menimbulkan efek negatif, disamping menimbulkan tensi politik yang memanas dan memicu stabilitas politik keamanan dan cenderung  erpengaruh secara negatif terutama bagi pasangan tersebut dalam pandangan para pemilih," jelas Ahmadi.

"Bahkan menimbulkkan kondisi keamanan yang tidak stabil. Padahal daerah kita termasuk daerah yang aman dan stabilitas politik yang aman, kondusif dan terkendali,” tambahnya.

Ahmadi menegaskan fenomena tersebut tidak selayaknya dilakukan oleh pasangan manapun dan harus dihindari.

“Kami memandang bahwa pilkada bukan peristiwa pemilihan pemimpin kepala daerah secara rutinitas belaka. Namun yang diharapkan adalah cara para pihak, termasuk penyelenggara dan calon pasangan, berkontribusi dalam pendidikan politik dalam berkontestasi yang sehat sesuai dengan etika berdemokrasi,” ucapnya.

Para pemilih seharusnya dijadikan sebagai subjek yang menentukan pemilihan pemimpin yang amanah dalam pesta demokrasi ke depan.

“Jangan mereka justru dijadikan sebagai objek transaksi demokrasi yang hasilnya tentu tidak sesuai dengan harapan,” harapnya.

Sehingga lanjutnya para pemilih juga disuguhkan teladan dari calon pemimpin yang selalu menjaga stabilitas atmosfer politik di daerah. Dan mereka merasa bahwa atmosfer perpolitikan cukup kondusif, karena melihat teladan calon-calon pemimpin yang taat etika dan moral.  

 “Apabila para pihak memperhatikan aspek etika, maka secara tidak langsung  sudah menjalankan etika berdemokrasi yang sehat,” tuntasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner