Peristiwa & Hukum

Dugaan Malapratik RSUD Ulin, Ibu Asal Gambut Meninggal Dunia Usai Biopsi

Sri dinyatakan meninggal dunia di hari kedua setelah menjalani biopsi miom di rahimnya pada 18 Maret 2024 lalu.

Featured-Image
Risma bersama tim-nya usai melayangkan gugatan ke PN Banjarmasin menunjukan foto Sri yang masih dalam kondisi sehat sebelum biopsi dilakukan pada 18 Maret 2024 lalu di RSUD Ulin. Foto: Syahbani

bakabar.com, BANJARMASIN - Kabar miring kembali menerpa Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin, belum selesai soal dugaan malapraktik persalinan, dugaan malapraktik lain kembali terjadi di rumah sakit milik Pemprov Kalsel itu.

Dugaan malapraktik ini terjadi terhadap salah seorang pasien bernama Sri Herawaty Saragih warga Gambut, Kabupaten Banjar. Sri dinyatakan meninggal dunia setelah menjalani biopsi miom di rahimnya pada 18 Maret 2024 lalu.

Atas kejadian itu pihak keluarga menaruh curiga, Sri menjadi korban malapraktik. Mereka akhirnya mengadukan kejadian itu ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) di Jakarta. 

Belum cukup, mereka juga melakukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin atas dugaan bahwa dokter yang bersangkutan dan RSUD Ulin telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Tak tanggung-tanggung, dalam gugatannya di PN Banjarmasin pihak keluarga menuntut RSUD Ulin untuk membayar kerugian materil senilai Rp851 juta dan imateril Rp100 miliar atas meninggalnya Sri.

Adapun dugaan malapraktik ini berawal dari 14 Maret 2024. Saat itu Sri didiagnosa menderita miom di rahim. Atas saran dokter kandungan yang menanganinya, Sri harus menjalani biopsi untuk memastikan apa yang ada di rahimnya.

“Sebelum biopsi dilakukan almarhum begitu sehat. Dia masih bekerja di kantornya seperti biasa,” ujar kuasa hukum keluarga korban, Risma Situmorang dari Kantor Hukum Risma Situmorang & Partners, Senin (8/7).

Setelah mendengarkan penjelasan dokter yang menyatakan hanya perlu biopsi yang mana penanganannya hanya dilakukan dengan tindakan kecil, maka Sri memutuskan untuk melakukan proses itu.

“Dokter penanggung jawabnya itu bilang ada miom tumor. Tapi tidak tahu ganas atau tidak. Sehingga dilakukan biopsi. Penangannya pun cuma tindakan kecil nggak sampai 30 menit. Nanti rasa reaksi obat itu cuma 2 sampai 3 jam hilang. Dibilang begitu,” kata advokat yang tergabung dalam Perkumpulan Konsultan Hukum Medis dan Kesehatan (PKHMK) ini.

Singkat cerita, setelah dilakukan pengecekan lebih lanjut Sri dinyatakan sehat dan tak ada halangan untuk dilakukan tindakan biopsi, hingga pada 18 Maret 2024 biopsi pun dilakukan. 

Usai proses pengangkatan miom di ruang biopsi selesai, Sri pun dibawa ke ruang rawat inap. Namun yang membuat keluarga heran, di ruang perawatan itu Sri terus mengerang kesakitan.

“Pasien (Sri,red) terus merasakan kesakitan di area atas vagina, hal ini membuat keluarga merasa curiga,” kata Risma.

Kejadian itu pun dilaporkan ke pihak rumah sakit, namun Sri terus menerus hanya diberikan obat penahan nyeri dan obat melalui infus. Akan tetapi rasa nyeri tak hilang- hilang.

Selain itu, tenaga medis juga sempat memberikan obat yang dimasukkan melalui dubur. Tapi sakit yang luar biasa tetap saja dirasakan. Bahkan setelah diberi obat tersebut Sri mengalami muntah-muntah hingga dia merasa lemas.

Parahnya lagi, sejak saat itu Sri juga tak bisa mengeluarkan air kemihnya yang begitu menyiksanya. Meski sudah dipasang kateter (pemasangan selang di saluran lubang kemih) itu tak dapat membantu. Hal ini pun semakin membuat kondisi Sri semakin lemas dan gelisah.

Sehari setelahnya, tepatnya 19 Maret 2024, doktor yang bertanggung jawab mendatangi ruangan Sri, hanya saja kata Risma, di situ doktor tersebut tak memberikan solusi dan penjelasan atas kondisi Sri.

“Malah sebaliknya memperlihatkan video tindakan biopsi, dan berjanji video tersebut akan diberikan, tetapi video tersebut hingga belum diterima oleh Keluarga hingga saat ini,” jelasnya.

Masih di hari yang sama, pasien memberanikan untuk menghubungi dokter itu kembali. Sri masih mengeluh rasa sakit yang dirasakannya. Setelah keluhan itu disampaikan Sri akhirnya diberi obat yang membuatnya lebih tenang dan bisa tidur.

Sri sempat tidur tenang salam dua jam. Akan tetapi setelah reaksi obat penenang itu hilang rasa sakit yang dirasakan Sri datang lagi. Hingga Sri kembali diberikan obat penenang.

Belakangan, jenis obat yang diberikan itu akhirnya terungkap. Setelah Sri selalu ngelantur setelah pemberian obat itu. Usut punya usut, obat itu ternyata morfin. 

Soal pemberian morfin itu terungkap setelah salah seorang perawat menyampaikan itu ke pihak keluarga. Lantaran Sri selalu bicara ngawur dan ngelantur.

“Waktu keluarga menanyakan kenapa pasien ngelantur, perawat menjawab itu pengaruh morfin. Disitulah keluarga tahu pasien dikasih morfin,” beber Risma.

Masih di 19 Maret 2024, pada pukul 18.00 WITA, Sri mengalami muntah-muntah, lemas, dan sesak di ulu hati. Dokter yang bertugas sebagai dokter jaga saat itu hanya melakukan pengukuran tensi dan melarang untuk mengkonsumsi obat.

Kemudian pada Pukul 22.00 WITA hidung dan bibir Sri mengalami perubahan warna menjadi hitam, dan perawat hanya memberitahukan itu kekurangan oksigen. 

Selaniutnya Sri kembali merasakan kesakitan, gelisah dan sesak serta susah bernafas, sehingga dokter jaga memerintahkan untuk mengambil darah agar dicek di Laboratonium. 

“Tapi perawat tidak berhasil mengambil darah dan tidak melaporkan kepada dokter jaga tersebut,” kata Risma.

Dua jam kemudian Sri merasa kesakitan yang luar biasa, tetapi perawat hanya memberikan obat Paracetamol. Kateter yang sebelumnya sempat dilepas kemudian dipasang kembali. tetapi tetap saja Sri, tidak bisa membuang air kemih.

Dini hari sekitar Pukul 00.00 WITA -  03.00 WITA pada 20 Maret 2024, Sri mengalami sesak nafas yang luar biasa dan mengerang kesakitan.

Saat itu keluarga terus mencari perawat yang tidak berada di ruangan perawat, setelah lewat pukul 03.00 WITA, Perawat datang dan hanya melakukan Tensi dan memanggil dokter jaga.

Setelah itu, Sri mulai mengalami penurunan kesadaran, sudah gagal nafas nadinya pun tak teraba dan dokter melakukan resusitasi jantung paru selama tiga kali tetapi Sri sudah kehilangan kesadaran. Dan pada pukul 04.15 WITA Sri dinyatakan meninggal dunia.

Risma pun mengatakan, apa yang dialami Sri syarat akan kejanggalan. Itu dapat dilihat dari ketika dokter tak bisa menjelaskan detail apa yang sebenarnya dialami Sri setelah biopsi dilakukan. Termasuk penyebab persis kematian Sri.

“Saat bertemu dengan keluarga almarhum, doktor tak dapat menjelaskan apa penyebab kematian. Bahkan simpang siur, dokter jaga saat itu bahkan mengatakan tinggi kadar asam, ada kanker. Belakangan setelah Patologi anatomi keluar dari biopsi tidak ditemukan kanker. Itulah yang menimbulkan kecurigaan kami kuat telah terjadi dugaan malapraktik,” beber Risma.

Apa yang dialami Sri, menurut Risma begitu tragis. Sebab saat akan dilakukan biopsi kondisinya begitu sehat. Bahkan, Risma sempat memperlihatkan foto Sri yang masih terlihat begitu sehat di ruang rawat inapnya sebelum biopsi dilakukan.

“Karena seorang ibu sehat datang nyetir sendiri ke RS, tau-tau meninggal dunia. Pasien ini datang ke rumah sakit ingin sehat. Ini malah mengantar nyawa,” kata Risma.

Sebenarnya kata Risma, pihak keluarga sudah berupaya agar permasalahan ini dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Namun, tampaknya pihak RSUD Ulin tak pernah memberikan respon.

“Akhirnya kami mengadukan dugaan malapraktik ini ke MKDKI untuk melaporkan dokter-dokter yang bekerja di RSUD Ulin. Kami mendaftarkan gugatan ke PN Banjarmasin ini karena juga sebenarnya kami sudah ada proses pertemuan dengan RS Ulin namun tak ada respon,” jelasnya.

Lantas mengapa tak mengambil langkah perdata, bukan pidana? Risma pun menjelaskan yang perlu dicatat mereka adalah advokat hukum medis dan kesehatan. Sehingga tahu langkah pertama yang harus diambil.

“Jadi kami jelaskan kami ini advokat yang sudah terdidik mengenai hukum medis dan kesehatan. Sekarang ini kalau sudah ada dugaan malapraktik dokter itu tak berani lagi mengatakan ini adalah takdir ini nasib, tidak akan berani. Karena kita sudah mengerti ini benar resiko medis atau memang malapraktik,” bebernya.

Risma juga mengatakan, tak menutup kemungkinan langkah hukum pidana pun akan diambil, apabila itu memang nantinya diperlukan.

“Kalau pidanya kita simpan dulu. Itu kami. Kami simpan dulu. Kita cek kalau dari Pemda dan rumah sakit ada itikad baik kami bisa membuka hati dan peluang untuk win win solution. Tapi kalau tak ada, tak menutup kemungkinan kami bawa ke pidana,” pungkasnya.

Sementara itu, terpisah Humas RSUD Ulin, Yan Setiawan saat dimintai tanggapan soal adanya aduan dan gugatan dugaan malapraktik ini menyatakan akan terlebih dahulu mempelajari gugatan tersebut.

“Untuk perihal tersebut kalau ada gugatannya akan kami pelajari dulu,” ujar Yan singkat.

Editor
Komentar
Banner
Banner