Kalsel

Catatan Sejarah (2); Erat Kaitan dengan Sultan Banjar, Strategi Tionghoa Menetap di Banjarmasin

apahabar.com, BANJARMASIN – Pakar sejarah memprediksi warga Tionghoa penganut Konghucu menetap di Banjarmasin sejak abad ke-14…

Featured-Image
Suasana ketika perayaan Cap Go Meh di Klenteng Sutji Nurani Banjarmarin. Foto-apahabar.com/Robby

bakabar.com, BANJARMASIN – Pakar sejarah memprediksi warga Tionghoa penganut Konghucu menetap di Banjarmasin sejak abad ke-14 silam.

Adapun, hubungan erat dengan Kesultanan Banjar menjadi alasan warga Tionghoa diberikan izin menetap di Banjarmasin.

“Hubungan yang cukup erat dengan sultan merupakan salah satu dasar sultan memberikan izin kepada orang Cina, yang awal mulanya hanya datang sebagai pedagang dan tinggal untuk sementara,” ucap Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM, Mansyur kepada bakabar.com, Sabtu (25/1) pagi.

“Kemudian diperbolehkan menetap dan menjadi masyarakat yang berbaur dan turuntemurun tinggal di kawasan tepi Sungai Martapura di Banjarmasin,” lanjut Mansyur.

Jumlah orang Cina yang berkumpul di daerah Kesultanan Banjar semakin hari kian bertambah.

Mereka terdiri dari dua golongan, yakni pedagang-pedagang jung dan pedagang-pedagang menetap.

Pada awal abad 18, mulai diangkat seorang warga Cina bernama Lin Bien Ko, sebagai Syahbandar yang berkedudukan di Pelabuhan Tatas.

Dari beberapa sumber, seperti buku Sejarah Banjar (2013), terbitan Balitbangsa Kalsel, dituliskan pada tahun 1736 dengan izin Sultan Hamidullah (1700-1734 M), orang-orang Cina mendirikan perkampungan untuk tempat tinggal dekat pelabuhan Tatas.

Perkampungan orang-orang Cina ini dikepalai seorang Kapiten Cina yang setiap bulan harus membayar sejumlah uang sewa kepada sultan.

“Disamping itu dalam keadaan mendesak, misalnya terjadi perang, maka kapiten wajib membantu sultan dengan meminjamkan perahu apabila diperlukan,” jelas Mansyur.

Setelah selesai berdagang, termasuk mengisi perbekalan kapal, orang Cina akan kembali berlayar ke Kanton, Amoy atau pelabuhan lain di Tiongkok.

“Baru kemudian kembali berlayar ke Banjarmasin pada musim berikutnya,” bebernya.

Sedangkan para pedagang menetap, pada mulanya seperti pedagang jung yang hanya tinggal sementara di Banjar. Namun, melihat kemungkinan untuk menjadikan Banjarmasin sebagai rumah kedua, maka mereka tinggal di sana.

“Bahkan, beberapa di antara mereka membuat toko di kota atau pelabuhan. Mereka menjadi pedagang perantara, antara pedagang jung dan pedagang Banjar,” tegasnya.

Sedikitnya, terdapat sekitar 80 keluarga di Tatas (Banjarmasin) dan Kayu Tangi (Martapura) sebelum tahun 1708.

Jumlah mereka pun terus bertambah menjadi sekitar 200 keluarga sesudah periode itu.

Secara berangsur-angsur beberapa di antara mereka dapat berkomunikasi dengan penduduk setempat dengan bahasa setempat.

“Mereka dengan mudah dapat berintegrasi, sehingga kemudian dapat bergerak bebas dimana mereka suka,” tegasnya.

Bahkan pimpinan mereka di Banjar, kapten Lim Kom Ko, sering diutus oleh para penguasa kerajaan Banjar (Sultan Suria Alam) untuk ikut mewakili dalam perundingan-perundingan dengan orang-orang Eropa pada tahun 1708.

Menurut Dana Listiana, tambah Mansyur, dalam risetnya tentang Kampung Cina di Banjarmasin, menuliskan data paling awal yang menyebut permukiman Cina secara tekstual adalah Laporan Umum tahun 1850.

Dalam laporan bertitel Algemeen Verslag tersebut dipaparkan bahwa kampung dan pemukiman Cina di Banjarmasin terdiri atas Kampung Ulu dan Kampung Ilir.

Mulai ada pencatatan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda tahun 1895, jumlah suku Tionghoa yang terdapat di Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo (Kalsel-Kalteng-Kaltim-Kaltara) seluruhnya berjumlah 4.525 jiwa (laki-laki 2.829).

Jadi, sejak dahulu jumlah populasi di ke-4 provinsi tersebut relatif sedikit dibanding dengan daerah lainnya di Borneo yaitu Kalbar, Sarawak dan Sabah yang jumlah suku Tionghoanya mencapai 40% dari populasi penduduk daerah-daerah tersebut.

Tahun 1898 diangkat Kapten Cina, sebagai pemimpin orang Cina di Banjarmasin yakni Luitenans der Chinezen (letnan-letnan China) yaitu The Sin Yoe dan Ang Lim Thay.

Baca Juga:Jika Dihapus, Honorer Batola Ingin Prioritas Saat Pengangkatan PPPK

Baca Juga:Tingkatkan Sinergitas, Dandim 1022/TNB Ngopi Bareng Jurnalis

Baca Juga: Catatan Sejarah (1); Menguak Asal Mula Warga Tionghoa Menetap di Banjarmasin

Baca Juga: Dandim Barabai Ingin Keharmonisan TNI dan Insan Pers Selalu Terjalin

Reporter: Muhammad Robby
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin



Komentar
Banner
Banner