bakabar.com, BANJARBARU – Pemerintah Kalimantan Selatan tengah menyusun kajian dalam upaya penanganan dan pencegahan bencana banjir. Sebagai langkah cepat, di antaranya mengidentifikasi kerusakan lingkungan akibat dampak dari bencana ekologis tersebut.
“Langkah pertama yang bisa kita ambil setelah pasca-banjir ini adalah melihat langsung ke lapangan. Berapa luas dan lama genangan yang berpengaruh pada kinerja lingkungan hidup,” ungkap Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalsel, Hanifah Dwi Nirwana ditemui bakabar.com, belum lama tadi.
Pemetaan tersebut akan melibatkan tim DLH dari masing-masing kabupaten/kota. Kajian dilakukan secara komprehensif dari jangka pendek, menengah hingga panjang. Akan dikonsep langkah-langkah strategis untuk merealisasikan kajian tersebut.
“Tentunya seluruh kajian ini ada kontribusi ketersediaan data, juga anggaran. Kita coba membangun komitmen antara pemerintah pusat, provinsi hingga daerah, upaya maksimal apa yang bisa dilakukan,” lanjut Hanifah.
Sebelumnya, Pemprov Kalsel melakukan rapat koordinasi bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai komitmen dalam pemulihan lingkungan hidup. Kemudian, beraudiensi dengan Badan Restorasi Gambut(BRG) untuk melakukan kajian berkenaan kondisi lahan gambut di Kalsel.
“Minggu ini kita fokus pada kerangka kajian yang bisa dilakukan sesuai dengan timeline waktu dan anggaran yang tersedia. Misalnya dari sisi lingkungan tentunya kerusakan-kerusakan yang ada menjadi perhatian penting pemerintah provinsi,” ujarnya
Secara umum, kata dia, penyebab banjir diakibatkan oleh dua faktor. Pertama kondisi alam. Kedua, aktivitas manusia. Faktor alam dipengaruhi oleh curah hujan, posisi pasang surut air, kondisi tanah, dan topografi.
Sedangkan sisi antropogenik yang bisa dipengaruhi manusia seperti kondisi tutupan lahan, pemanfaatan areal Daerah Aliran Sungai (DAS) hingga tata ruang.
“Kita menyadari harus melakukan evaluasi besar-besaran kembali. Bagaimana bangunan pengendali banjir yang sudah ada perlu ditingkatkan kinerjanya,” imbuh dia.
Digambarkan Hanifah, pemetaan akan dilakukan pada daerah tangkapan air (DTA). Selanjutnya dievaluasi, misalnya terjadi perubahan luas tutupan lahan, aktivitas pertambangan, lahan yang terbangun, infrastruktur pengendali banjir, penurunan kerapatan vegetasi, hingga data replanting per 10 tahun.
“Akan kita bandingkan data sebelum, saat dan pasca-kejadian banjir. Dari sini, dapat dipetakan seberapa besar kontribusi dari hal yang disebutkan tadi,” imbuhnya.
Data tadi selanjutnya akan dianalisis dan dibuat permodelan. Misalnya membuat model limpasan air, sehingga diketahui bagaimana kemampuannya dalam mengikat air dan pada lahan mana saja yang harus secara masif dilakukan.
“Misalnya kepadatan pohonnya atau sisi regulasinya. Kontribusi dari semua pihak. Kalau yang menjadi sorotan dari pertambangan dan perkebunan, tentu tidak bisa diabaikan juga dari sisi pertanian atau lainnya,” tegasnya
Evaluasi lainnya seperti pada kawasan DAS Barito. Kata Hanifah, harus dilihat bagaimana menjaga buffer zone atau zona penyangga yang bersinggungan dengan Hak Guna Obyek (HGO).
“Dalam intervensi pemulihan lingkungan, tidak menunggu kajian ini selesai secara paralel. Kita mengkaji secara komprehensif, tetapi melakukan pemulihan secara parsial. Sesuai kebutuhan dan potensi yang kita miliki,” jelasnya
Karena itu, proses kajian akan memakan waktu yang tak sedikit. Dalam jangka panjang, butuh waktu hingga bertahun-tahun untuk menyelesaikan masalah ini, khususnya mengenai infrastruktur pembangunan pengendalian banjir.
“Masih ada penyusunan DED, lahan, model task, lain-lain. Tetapi ada kerja jangka pendek dan menengah yang bisa kita lakukan yaitu misalnya menanam,” sebutnya.
Pemprov Kalsel, sambungnya, juga akan melakukan evaluasi terhadap kinerja badan usaha yang bersinggungan langsung dengan lingkungan. Bagaimana mereka melakukan pengelolaan dan perlindungan terhadap alam sekitarnya.
“Misalnya sampah. Kita juga berharap peran yang lain. Seperti komunitas dan masyarakat. Karena banjir ini, beberapa material yang terbawa bukan sampah pada umumnya. Karenanya semua harus bahu membahu mengatasi persoalan pasca banjir ini,” tukasnya
Pemetaan Banjir
Meminjam data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) provinsi Kalsel, Pemprov Kalsel menerima limpahan wewenang dari kabupaten sebanyak 924 Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada Oktober 2016.
676 IUP telah dicabut perizinannya yang terdiri dari 423 IUP komoditas batu bara, 821 IUP mineral logam, serta 172 IUP mineral non logam dan batuan. Pencabutan ini dilakukan dalam 8 tahapan.
Luas konsesi tambang di Kalsel secara rinci yaitu 312.651,26 hektare (ha) untuk IUP PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri), 19.792,78 Ha untuk IUP PMA (Penanaman Modal Asing), 253.380,60 Ha untuk IUP PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) dan 22.476,00 Ha untuk KK (Kontrak Karya).
Lalu, ESDM Kalsel mencatat ada 278 lubang bekas tambang (Void) yang terdiri dari 168 void untuk 40 IUP, serta 110 void untuk 10 PKP2B.
Mengenai luas bukaan lahan, tercatat 60.317,68 ha luas lahan yang terganggu. Kemudian, 35.805,93 ha total luas reklamasi dan 17.555,66 ha total luas revegetasi.
Dilaporkan data jaminan reklamasi IUP PMDN per Desember 2020 sebesar Rp. 580.788.364.713,00 dan US$ 1,194,062.00. Kemudian data jaminan reklamasi per Oktober 2019 yaitu Rp. 1.056.152.381.764 untuk PKP2B, Rp. 665.584.600 untuk KK dan Rp. 45.747.866.863 untuk IUP PMA.
Selanjutnya, data jaminan pascatambang IUP PMDN per Desember 2020 adalah Rp. 32.011.966.810,00 dan US$ 723,157.43. Serta, data jaminan pascatambang PKP2B per September 2019 adalah Rp 1.338.502.003.291,00 untuk PKP2B
Sebagai informasi tambahan, sejumlah komoditas sudah menjadi kewenangan Kementerian ESDM yaitu 12 IUP komoditas batu bara (IUP PMA). Lalu,19 PKP2B komoditas batu bara, di mana ada 2 PKP2B yang menjadi IUPK, karena adanya perpanjangan yaitu PT Adaro Indonesia dan PT Arutmin Indonesia. Lalu, 2KK yaitu PT Galuh Cempaka (GC) dan PT Pelsart Tambang Kencana (PTK).
Sedangkan, tercatat ada 339 IUP PMDN menjadi kewenangan provinsi sebelum terbitnya UU No.3 tahun 2020.
Tak hanya pemerintah, pihak akademisi juga turut melakukan pengkajian mengenai persoalan banjir di Kalsel. Pusat Pengembangan Infrastruktur Informasi Geospasial (PPIIG) Universitas Lambung Mangkurat melakukan pemetaan estimasi area terdampak banjir melalui citra radar Sentinel-1A SAR milik Badan Antariksa Eropa.
“Peta itu gabungan antara data yang dikumpulkan Bappeda Kalsel dan petugas lapangan. Saya tambahkan hasil analisis dari citra satelit,” kata Ketua PPIIG ULM, Syam’ani, diwawancara bakabar.com secara terpisah.
Menurut dosen Fakultas Kehutanan ini, data yang disajikan citra satelit mampu menjangkau area-area yang sulit diakses petugas lapangan. Secara garis besar, titik terparah ada di Banjarmasin, Banjar, HST, HSU dan Batola.
“Karena citra radar tidak tersedia pada 13-19, maka kami hanya menyajikan data secara lengkap pada 20 Januari. Tentu saja luasan genangan akan lebih kecil dibanding saat puncak kejadian banjir di 14-15 Januari,” jelasnya
Data yang disajikan adalah kombinasi antara hasil ekstraksi dari citra dengan data koordinat lokasi banjir dari lapangan. Kombinasi antara data dari satelit dengan data lapangan akan memberikan gambaran area terdampak yang lebih luas.
Untuk diingat, Menteri Kehutanan Siti Nurbaya menuding penyebab banjir Kalsel akibat anomali cuaca ekstrem yang menimbulkan luapan pada DAS Barito. Eks menteri LH ini membandingkan curah hujan harian tahun 2021 lebih tinggi daripada tahun sebelumnya.
“Kalau penyebab secara spesifik memang perlu kajian,” kata Syam’ani.
Dipaparkan dia, banjir hanya terjadi di bagian barat pegunungan Meratus, Sementara, Kalsel berada pada sisi barat dan timurnya.
“Untuk membuktikan itu akibat anomali cuaca, dilihat apakah hujan hanya di barat saja atau seluruh Kalsel, Kalau di seluruh, tetapi banjirnya di barat saja akan menjadi pertanyaan,” imbuhnya
Dalam jangka panjang, Tim PPIIG ULM akan mengkaji kontribusi dari faktor biofisik terhadap banjir. Seperti pada luasan tutupan hutan dan lahan di setiap sub-sub DAS yang ada di Kalsel. Termasuk luas permukaan lahan tambang yang dituding sebagai faktor penyebab banjir.
Analisis Lapan
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) melaporkan banjir di Kalimantan Selatan turut disebabkan oleh menipisnya hutan di wilayah tersebut, mengacu analisis pemicu banjir Kalsel pada 12-13 Januari 2021.
Lebih jauh, diketahui ada kontribusi penyusutan hutan dalam kurun 10 tahun terakhir terhadap peningkatan risiko banjir di wilayah Kalsel.
Dari tahun 2010 sampai 2020 terjadi penyusutan luas hutan primer seluas 13.000 hektare, hutan sekunder seluas 116.000 hektare, sawah 146.000 hektare, dan semak belukar 47.000 hektare.
Sedangkan area perkebunan di wilayah itu menurut data perubahan tutupan lahan luasnya bertambah hingga 219.000 hektare.
“Perubahan penutup lahan dalam 10 tahun ini dapat memberikan gambaran kemungkinan terjadinya banjir di DAS Barito, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu masukan untuk mendukung upaya mitigasi bencana banjir di kemudian hari,” kata Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lapan, M Rokhis Khomaruddin.
Hasil analisis curah hujan berdasarkan data satelit Himawari-8 menunjukkan bahwa liputan awan penghasil hujan terjadi sejak 12 hingga 13 Januari 2021 dan masih berlangsung hingga 15 Januari 2021 di wilayah Kalimantan Selatan.
Terakhir, Lapan juga meneliti luas genangan akibat banjir pada 12 Juli 2020 sebelum banjir dan 13 Januari 2021 sesaat setelah banjir dengan menggunakan data satelit Sentinel 1A.
Hasil perhitungan, banjir menimbulkan genangan paling luas di Kabupaten Barito Kuala sekitar 60.000 ha, disusul Kabupaten Banjar sekitar 40.000 ha, Kabupaten Tanah Laut sekitar 29.000 ha, dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah sekitar 12.000 ha.
Genangan juga muncul di Kabupaten Hulu Sungai Selatan sekitar 11.000 ha, Kabupaten Tapin sekitar 11,000 ha, dan Kabupaten Tabalong sekitar 10.000 ha.
Sementara di Kabupaten Balangan, Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, Hulu Sungai Utara, Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Murung Raya luas genangannya menurut data Lapan antara 8.000 sampai 10.000 ha.