bakabar.com, JAKARTA - Praktik rukyatul hilal di Indonesia dimulai sejak masa awal Islam masuk ke nusantara, yakni pada abad pertama Hijriyah.
Hal tersebut merupakan kewajiban umat Islam untuk melihat hilal sebelum melaksanakan ibadah puasa Ramadan dan juga Hari Raya Idul Fitri.
Pada setiap tanggal 29 Syaban dan 29 Ramadan, umat Islam berbondong-bondong menuju tempat yang tinggi (bukit) atau lapang (pantai) yang sekiranya leluasa untuk memastikan keberadaan hilal pada ufuk barat setelah terbenamnya matahari.
Apabila hilal terlihat, maka malam tersebut merupakan tanggal pertama bulan setelahnya, akan tetapi bila hilal tidak terlihat maka malam tersebut digenapkan menjadi malam ketiga puluh bulan yang sedang berlangsung. Adapun tanggal satu bulan berikutnya jatuh pada malam berikutnya.
Metode ini mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mulai dari penggunaan mata telanjang hingga penemuan-penemuan teknologi seperti teleskop yang memudahkan pengamatan.
Pengertian Hilal
Dikutip dari buku Hisab dan Rukyat yang disusun oleh Riza Afrian Mustaqim yang dilansir dari detikHikmah, Selasa (21/3), disebutkan bahwa hilal merupakan mustaq dari wazan halla wa ahalla yang artinya tampak dan terlihat sedangkan kata hilal sendiri merupakan bentuk mashdar dari kata haalla.
Perbedaan hilal dengan hisab dalam menentukan awal bulan terletak pada cara atau metodenya. Rukyatul hilal mengarah pada pengamatan bentuk bulan yang tampak, sementara hisab lebih menitikberatkan pada penghitungan secara matematis dan astronomis dalam menentukan posisi bulan.
Secara bahasa hilal atau ahillatun artinya bulan sabit atau bulan yang terlihat pada awal bulan atau layaknya warna putih yang terdapat pada pangkal kuku. Wujud hilal yang paling muda tampak seperti lengkungan sangat tipis dari bagian cahaya bulan. Panjang busur lengkung tipis tersebut tergantung pada usia hilal. Semakin muda usia hilal maka semakin pedek lengkung busur hilalnya.
Berdasarkan buku Astrofotografi: Adopsi dan Implementasinya dalam Rukyatulhilal di Indonesia oleh Dr. Ahmad Junaidi, M.H.I., dijelaskan menurut teori yang paling tua, hilal adalah bulan sabit yang dapat dilihat pertama kali.
Dari dalil-dalil syar'i tentang penggenapan 30 hari umur bulan yang sedang berjalan jika bulan sabit tidak bisa dilihat, diperoleh unsur waktu dari terlihatnya bulan sabit tersebut, yakni tanggal 29 petang pasca terbenamnya matahari.
Jadi, ada dua unsur pokok dalam konsep hilal menurut teori ini, yakni: bulan sabit yang dapat terlihat; dan waktu terlihatnya adalah tanggal 29 waktu petang, yakni setelah terbenamnya matahari.
Proses Kemunculan Hilal Menurut Alquran
Kemunculan hilal umumnya didahului dengan terjadinya ijtimak. Dalam ilmu falak (ilmu astronomi), ijtimak menggambarkan bulan dan matahari pada kedudukan bujur ekliptika yang sama. Secara sederhana, posisi matahari, bumi, dan bulan terdapat dalam satu sisi atau garis yang sama.
Pada dasarnya tidak ada ayat Alquran yang secara eksplisit dan spesifik membahas tentang hilal, akan tetapi bukti kekuasaan Allah atas peredaran benda-benda langit tercantum dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 189,
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِىَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ ٱلْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا۟ ٱلْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنِ ٱتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا۟ ٱلْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَٰبِهَا ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
Ayat tersebut diturunkan terkait pertanyaan dua orang sahabat (Mu'az bin Jabal dan Sa'labah bin Ghanam al-Ansari) kepada Nabi SAW tentang penampakan bulan yang senantiasa berubah setiap hari, dari penampakan yang setipis benang dan bertambah setiap hari menjadi bulat penuh. Dari kondisi bulat kemudian semakin menipis dan kembali kepada bentuk semula.
Allah telah menerangkan bahwa Dia telah menetapkan garis edar dari bulan dan menetapkan manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan-Nya. Sejak dari manzilah pertama sampai manzilah terakhir memerlukan waktu antara 29 atau 30 malam, disebut sebagai satu bulan.
Dalam sebulan itu, bulan hanya dapat dilihat selama 27 atau 28 malam, sedang pada malam-malam yang lain bulan tidak dapat dilihat, sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat Yasin ayat 39,
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ حَتّٰى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ
Artinya:(Begitu juga) bulan, Kami tetapkan bagi(-nya) tempat-tempat peredaran sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir,) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua.
Alquran menjelaskan terlebih dahulu sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan bahwa bulan itu mulanya berbentuk seperti sabit, kemudian secara berangsur makin besar dan bundar sempurna pada saat purnama. Kemudian, bulan berangsur mengecil kembali hingga terlihat seperti tandan kering yang melengkung.
Berdasarkan Penetapan Kalender Qamariyah
Hj. Vivit Fitriyanti, S.H.I., M.S.I. dalam bukunya Pengantar Ilmu Falak Dalam Teori Praktek Panduan Lengkap Hisab Arah Kiblat, Hisab Waktu Solat, Hisab Awal Bulan Qomariyah dan Hisab Gerhana menjelaskan alasan utama dipilihnya kalender bulan (Qamariyah) walaupun tidak dijelaskan dalam Alquran maupun hadits adalah karena kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk fisik (fase bulan).
Hal ini berbeda dengan kalender Syamsiyah yang menekankan kepada keajegan atau konsistensi terhadap perubahan musim tanpa memperhatikan perubahan hariannya.
Muhammad Bashil at-Thaiy mempertegas dalam bukunya "'Ilm al-Falak wa al-Taqawim" yang menyatakan bahwa Kalender Hijriyah adalah kalender Qamariyah yang mulai digunakan pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin Khattab dengan mendasarkarkan pada hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah."
Berangkat dari penjelasan tersebut, umat Islam tetap berpegang pada teks hadits tentang rukyat yang dipahami sebagai perintah penggenapan bulan menjadi 30 hari. Empat ulama besar seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali menyatakan bahwa untuk penetapan awal bulan Hijriyah diwajibkan menggunakan ru'yat al-hilal bi al-fi'il.
Berdasarkan hadits dan ijtihad dari empat ulama besar tersebut beberapa organisasi Islam di dunia (termasuk Indonesia) melakukan sunnah Nabi dengan melakukan rukyat secara langsung atau diistiqmalkan (menggenapkan jumlah hari menjadi 30 hari) jika terdapat halangan visibilitas hilal saat melakukan rukyat.
Dalam buku Hisab dan Rukyat yang ditulis oleh Riza Afrian Mustaqim, dijelaskan pula bahwa penganut pemahaman ini juga melakukan hisab tetapi sebatas alat bantu dan tidak memiliki kekuatan hukum karena penglihatan secara visual dianggap sebagai sebuah syariat yang memiliki kekuatan hukum tertinggi.
Demikian penjelasan dari pengertian hilal mulai dari pengertiannya, perbedaannya dengan hisab, sejarah singkatnya, juga kemunculannya dalam kitab suci Alquran.