Banjarmasin Hits

2 Tahun Ibnu-Ariffin: Banjarmasin Kehilangan Gelar Ibu Kota!

Pengamat Tata Kota, Subhan Syarief menyoroti kinerja Ibnu Sina dan Ariffin Noor selama 2 tahun memimpin Kota Banjarmasin.

Featured-Image
Banjarmasin kehilangan gelar sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Foto-dok

bakabar.com, BANJARMASIN - Pengamat Tata Kota, Subhan Syarief menyoroti kinerja Ibnu Sina dan Ariffin Noor selama 2 tahun memimpin Kota Banjarmasin. 

Subhan melihat sebuah kemalangan di era Ibnu-Ariffin.

Di mana, Banjarmasin kehilangan gelar sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).  

Menurut Subhan, kondisi tersebut membuat daya tarik Banjarmasin tidak kuat seperti masa lalu. 

"Apabila tak bisa menangani dengan tepat, maka bisa saja kota ini dalam kurun 5 sampai 10 tahun ke depan akan terpuruk, bahkan menjadi kota yg 'bangkrut'," ucap Subhan Syarief dalam 'Refleksi 2 Tahun Kepemimpinan Ibnu Sina dan Ariffin Noor' di Kampung Ketupat, Jalan Sungai Baru, Banjarmasin, Jumat (23/6).

Semestinya, kata dia, strategi Ibu Sina membangun kota pada periode pertama dan kedua tak usah muluk-muluk.

Cukup dua hal saja. Pertama, menjadikan Banjarmasin sebagai sentral perdagangan jasa di Kalsel bahkan Kalimantan sebagaimana visi periode 2016-2021.

Kedua, menjadikan sungai di Banjarmasin sebagai pusat wisata yang unik dan menarik.

“Apabila target ini berhasil dicapai, maka secara otomatis Banjarmasin bisa bertahan bahkan semakin kuat, sehingga menarik pendapatan kota dan meningkatkan ekonomi warga,” katanya. 

Sayangnya, sambung dia, program pembenahan pusat perdagangan jasa kawasan terpenting di Banjarmasin tak pernah tersentuh. 

Sebut saja Pasar Sudimampir, Pasar Ujung Murung, Pasar Lima, Pasar Harum Manis hingga Pasar Niaga.

“Tak pernah berhasil disentuh atau tak pernah serius diperhatikan, dioptimalkan, ditata dan dibangun,” tegasnya.

Selain itu, ia meminta Ibnu-Ariffin harus bisa memprediksi dan memetakan ancaman besar yang terjadi di Banjarmasin. Misalnya seperti kenaikan permukaan air laut dan kerusakan alam di wilayah hulu. 

“Karena ini sudah sejak lama tak bisa diatasi, buktinya banyak daerah pinggiran atau bantaran sungai yang semakin terancam," bebernya.

Hal itu terjadi saat banjir besar yang melanda Banjarmasin pada awal 2021 lalu.  

Langkah penanganan yang dilakukan dari dahulu sampai sekarang hanya bersifat parsial.

“Bila model seperti ini yang terus dilakukan, maka masalah tak akan tuntas bahkan bisa semakin besar,” ujarnya.

Baca Juga: 2 Tahun Masa Kepemimpinan Ibnu-Ariffin, Sederet PR Masih Menanti!

Terkait tata kelola limpahan air, jelas dia, sejatinya Banjarmasin tak memiliki blueprint atau roadmap kota sungai yang tepat guna.

“Kondisi sungai di Banjarmasin yang dulunya berfungsi sebagai 'jalan air' dan 'rumah air' bagi sistem tata kelola air kawasan Banjarmasin ketika terjadi pasang surut ataupun ketika mendapat limpahan air buangan hujan dan dari limpahan daerah atas, sudah tak lagi bisa berfungsi dan memproteksi dengan baik,” jelasnya. 

Kedua, lanjut dia, semua model pembangunan di Banjarmasin dari dulu sampai sekarang masih belum sejalan dengan karakteristik sebagai kota air.

Kondisi itu dominasi kawasan rawa dan posisi daratan berada di bawah permukaan air laut.

“Pembangunan yang mestinya meminimalisir, bahkan menghindari sistem pengurugan malahan yang terjadi adalah pembangunan didominasi oleh sistem urugan,” katanya.

Dari situ, ia menyebutkan dampaknya daerah resapan air termasuk sungai-sungai tergerus dan hilang.

Tak hanya itu, akibatnya lagi sirkulasi tata kelola air limpahan yang biasanya bisa ditampung dan dikelola oleh area resapan dan sungai menjadi tak mampu lagi berfungsi dengan baik, bahkan air kesulitan untuk menuju sungai dan daerah resapan yang tersisa.

“Jadi secara tak sadar saat ini sebenarnya Banjarmasin kondisi geografisnya telah berubah jauh dibandingkan kondisi alamiah dahulunya, dulu rawa sekarang berubah menjadi daratan,” katanya.

Ia mengatakan sudah banyaknya area rawanya diuruk atau rawa jadi daratan, sehingga membuat sumber awal masalah.

Tumpulnya itu menjadikan berbagai program normalisasi, revitalisasi dan optimalisasi tak serius dan berkesinambungan dilakukan.

“Program tersebut hanya terfokus ke arah bantaran sungai berikut penataan dari segi etelasinya saja agar terlihat cantik,” tuturnya.

Selain itu, ia melihat program tak banyak dan masif menyentuh kepada area sungainya yang sudah menyempit, dangkal, tak terkoneksi dan juga mati.

Termasuk tak punya program untuk memperbaiki dan memperbanyak atau mengganti daerah-daerah resapan yang hilang.

“Ya, Ibnu Sina dan Arifin mestinya bisa lebih fokus untuk buat program mengatasi dua hal tersebut. Benahi kawasan pusat perdagangan jasa dan atasi ancaman limpahan air,” pungkasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner