debat cawapres

WALHI Sesalkan Debat Cawapres Tak Singgung 3 Konflik Agraria Jatim

WALHI Jatim menilai bahwa debat cawapres tidak menjawab isu substansial. Utamanya soal 3 konflik agraria di Jatim.

Perjuangan warga Pakel dalam menuntut reformasi agraria untuk hak atas tanahnya. Foto: dok Wahyu Eka Setyawan

apahabar.com, SURABAYA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur menilai bahwa debat cawapres tidak menjawab isu substansial. Utamanya soal 3 konflik agraria di Jatim.

“Isu Food Estate berkali-kali disinggung. Namun, Reformasi agraria belum jadi jalan untuk menyelesaikan konflik lingkungan,” kata Ketua WALHI Jatim, Wahyu Eka Setyawan, Selasa (23/1).

Menurut Wahyu, ada sejumlah konflik lingkungan di Jatim yang belum tuntas. Contohnya Wongsorejo, Pakel, dan Pasuruan.

Wahyu mengatakan bahwa pejuang agraria di kawasan tersebut masih belum menemui kepastian. Mereka masih sering menyambangi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk meminta dilakukan reforma agraria.

“Jadi debat kemarin itu enggak substansial untuk menjawab persoalan masyarakat di ranah lingkungan,” ucap Wahyu.

Baca Juga: Walhi Sentil Gibran Tak Paham Persoalan Tambang Ilegal

Lebih disayangkan, 2 cawapres berasal dari Jawa Timur. Yakni Cak Imin dan Mahfud MD.

Wahyu juga menyesalkan dalam Debat Cawapres tidak menyinggung soal dampak UU Cipta Kerja kepada pelestarian lingkungan. Terlebih, UU Cipta Kerja mensyaratkan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).

Menurut Wahyu, kini AMDAL bukan menjadi perhatian utama. Sebab, publik tidak memiliki wewenang untuk pembuatan AMDAL.

"Akhirnya membuat banyak korporasi mengabaikan soal ini dan tidak punya komitmen soal pencegahan kerusakan lingkungan," bebernya.

Baca Juga: Aktivis Gelar Aksi Desak 3 Petani Pakel Dibebaskan: Ini Kriminalisasi!

Selanjutnya, UU Cipta Kerja juga dinilai menyebabkan keterlibatan pemda tertutup dalam perencanaan tata ruang. Sepertinya kasus pertambangan mineral logam di Trenggalek, Jawa Timur.

Menurut Wahyu, Pemda Trenggalek sudah membuat aturan tata ruang yang tidak memasukkan tambang mineral logam. Namun, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRW) provinsi dan pusat memfasilitasi hal itu.

"Maka Trenggalek dipaksa merevisi," tandas Wahyu.