Pembunuhan Brigadir J

Vonis Mati Ferdy Sambo Tebus Rasa Keadilan Kematian Yosua

Pakar hukum Universitas Airlangga, Wayan Titip Sulaksana menilai vonis pidana mati yang dijatuhkan terhadap terdakwa Ferdy Sambo memenuhi rasa keadilan publik. 

Sidang lanjutan kasus Brigadir J di PN Jaksel. (Foto: apahabar.com/Bambang.S)

apahabar.com, SURABAYA - Pakar hukum Universitas Airlangga, Wayan Titip Sulaksana menilai vonis pidana mati yang dijatuhkan terhadap terdakwa Ferdy Sambo memenuhi rasa keadilan publik. 

Sebab majelis hakim diperkenankan menjatuhkan vonis lebih berat dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya menuntut pidana penjara seumur hidup. 

"Hakim juga memiliki kewenangan untuk memvonis lebih rendah dari tuntutan Jaksa, bahkan hakim juga memiliki kewenangan untuk membebaskan terdakwa," ujar Wayan di Surabaya, Senin (13/2). 

Baca Juga: Pengacara Keluarga Brigadir J Maklumi Vonis Mati Ferdy Sambo

Ia justru menilai tuntutan jaksa tak berkeadilan, sebab Ferdy Sambo tak diberikan keringanan hukuman tetapi tak dituntut hukuman maksimal sebagaimana pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. 

Terlebih Ferdy Sambo menyemat predikat jabatan mentereng sebagai Kadiv Propam Polri saat melesatkan peluru ke Brigadir J hingga tewas. 

Terutama upaya Sambo yang menutupi dan menyusun skenario palsu tembak menembak yang mengelabui penyidik dari fakta kasus pembunuhan berencana Brigadir J. 

Baca Juga: Ferdy Sambo-Putri Rentan Bunuh Diri

"Tidak ada titik terang tentang motif pembunuhan Yosua, ini kasus kejahatan nyawa harus terang benderang motif pembunuhannya, benarkah karena sakit hati? Sakit hati karena apa? Kan tidak diungkap," jelasnya. 

Hal senada juga diungkap akademisi hukum dari Universitas Surabaya, Wisnu Aryo Dewanto. Ia menilai majelis hakim memiliki kewenangan untuk menjatuhkan vonis lebih berat dari tuntutan jaksa. Terlebih hakim tak hanya menyandarkan dari fakta hukum yang berasal dari keterangan saksi dan alat bukti, tetapi dari keyakinan hakim terhadap perkara. 

Baca Juga: Kejagung Apresiasi Vonis Mati Ferdy Sambo, Ibarat Dapat Bonus

Di sisi lain, hakim juga dinilai cermat dalam menguak fakta hukum terkait unsur perencanaan yang terkait perkara kematian Yosua.

"Banyak fakta persidangan yang mengarah adanya perencanaan, dan hakim bisa membuat runtutan cerita dari fakta tersebut, hakim berhasil merangkai sebuah mozaik," ungkap Wisnu. 

Wisnu juga berpendangan bahwa pembunuhan berencana tak perlu mengungkap motif, sebab konstruksi perkara telah dibangun dari petunjuk, keterangan saksi, hingga alat bukti yang menopang perkara. 

Baca Juga: Perang Bintang di Vonis Mati Sambo, Castro: 'Iblis' Sebelah Tertawa 

"Kalau perbuatannya dilakukan dengan sengaja maka pasti hukumannya lebih berat dari tidak sengaja, karena kalau tidak sengaja maka tidak ada motif seperti menabrak orang meninggal itu kan tidak sengaja," ujarnya.

Wisnu mencontohkan kasus yang menjerat Jessica Kumala Wongso atas pembunuhan terhadap Mirna. Dalam putusan hakim tidak diungkap motif karena memang Jessica tidak mengakui hal itu. Namun hakim berani menghukum Jessica dengan pidana penjara selama 20 tahun, sebab waktu itu hakim berkesimpulan bahwa Jessica yang paling lama menguasai kopi Mirna. Selama dalam kekuasaan Jessica, kopi Mirna tersebut bisa dicampur apa saja.

Baca Juga: Vonis Mati Sambo Jadi Momentum Bersih-Bersih Institusi Polri

Untuk itu, vonis pidana mati yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo terkait pembunuhan berencana telah memenuhi rasa keadilan yang ditopang dengan konstruksi hukum. 

"Sama kayak Ferdy Sambo, dia tidak mengungkap motif sebenarnya. Dia bersikukuh karena adanya pelecehan seksual yang tidak terbukti adanya pelecehan seksual tersebut, namun hakim pintar merangkai mozaik dari rangkaian fakta persidangan tersebut," pungkasnya.