Tiwul

Tiwul Lava Pak Mura, Sentuhan Tradisional Berpadu Rasa Kekinian

Dekat Candi Borobudur, tiwul kini tampil dengan wujud berbeda dan rasa yang variatif. Penganan sederhana jadi menu kekinian.

Tiwul Pak Mura Borobudur (Apahabar.com/Arimbihp)

apahabar.com, MAGELANG - Dekat Candi Borobudur, tiwul kini tampil dengan wujud berbeda dan rasa yang variatif. Penganan sederhana jadi menu kekinian.

Inovasi tak hanya berlaku dalam dunia industri. Inovasi pada kuliner juga bisa membantu satu penganan tradisional mampu bertahan di tengah gempuran zaman. 

Magelang tak hanya menawarkan keindahan alam dan budaya. Magelang juga punya banyak ragam kuliner yang khas dan ngangeni. 

Salah satu kuliner khas yang patut dicoba adalah tiwul. Sebenarnya tiwul adalah makanan khas yang biasa ditemui di banyak wilayah di Jawa Tengah.  Kudapan berbahan singkong ini memiliki tekstur yang lembut dan rasa yang manis.

Tapi tiwul yang disajukan oleh suami istri Mura Aristina dan Linda Purwaningsih ini tampil beda. Pasutri ini menawarkan inovasi dalam bentuk tiwul. Jika selama ini tiwul disajikan datar saja atau dengan bentuk persegi, tiwul yang ditawarkan Mura Aristina dan Linda berbentuk kerucut menyerupai gunung Merapi. 

Baca Juga: Gudeg Rukun, 60 Tahun Menjaga Rasa Gudeg Khas Kota Magelang

Tak hanya itu, Tiwul buatan Mura dan Linda ini juga dimasak serta diberi juruh atau kuah gula Jawa.

"Inovasinya memang terinspirasi dari Gunung Merapi saat mengeluarkan lavanya atau erupsi," ujar Mura, Minggu (6/8).

Tiwul ala Mura dan Linda ini jadi incaran baru penikmat kuliner di seputaran candi Borobudur dan sekitarnya. Lokasinya berada di di desa Bumen Desa Kembanglimus.

Bermula dari Pandemi Covid-19

Usaha besutan Mura dan Linda itu berdiri di awal pandemi Covid-19 melanda seluruh penjuru dunia.

"Gara-gara Covid-19 yang terjadi sejak 2020 lalu, menyebabkan pariwisata di Candi Borobudur menurun drastis. Hal itu memberi pengaruh yang sangat signifikan terutama dari segi ekonomi bagi para pemandu wisata," celoteh Mura. 

Pandemi Covid-19 membuat Mura dan keluarganya terdampak. Mereka harus melakukan inovasi untuk punya usaha yang tetap bisa menghasilkan. Ia dan istri memutar otak, hingga tercetus ide membuat tiwul dengan cara masak yang berbeda agar lebih menarik.

Tepung tiwul dikukus dengan cara dibentuk mengerucut tengahnya diberi kuah gula merah. Kuah itu bisa lumer ke bawah menyerupai lava.

Dalam menjalankan usahanya, Mura mengaku tidak pernah kesulitan mendapatkan bahan bakunya. Mura juga tidak merasa kesulitan saat memasak. Sebab, hanya butuh waktu 10 menit, tepung berubah menjadi tiwul. 

Baca Juga: Sop Empal Bu Haryoko, Kuliner Magelang Sejak Masa Penjajahan Jepang

"Yang bikin lumayan repot saat mengayak usai ditumbuk menjadi tepung. Karena harus telaten memisahkan tepung yang keras dan lembut. Yang keras dibuang, yang lembut dimasak," ujar Mura.

Bukan cuma bentuknya yang unik, untuk mengadopsi selera anak-anak kekinian, Mura juga menjual tiwulnya tak hanya dengan rasa  gula jawa, tapi menambahkan varian dan toping seperti rasa cokelat keju, cokelat atau keju saja. Kemudian, ada juga yang dicampur dengan pisang.

Harganya cukup terjangkau. Tiwul rasa gula Jawa seharga  Rp15.000, cokelat keju Rp17.000, cokelat Rp15.000 dan keju Rp15.000. Sedangkan yang campur cokelat keju pisang Rp20.000.

Meski demikian, menurut Mura, pembeli banyak yang suka dengan rasa original yakni rasa gula Jawa. Sedangkan konsumen anak- anak lebih suka rasa  cokelat keju, cokelat atau keju dan dicampur pisang.

Istri Mura Aristina, Linda Purwaningsih menambahkan, dalam sehari rata-rata bisa menjual 20 tiwul yang dikemas dengan kertas karton atau besek. 

Bagi yang penasaran, bisa mencicipi tiwul buatan Pak Mura di toko oleh-oleh yang ia miliki di rumah. Selain di toko, pemasaran juga dilakukan melalui media sosial seperti whatsapp dan instagram.