Polemik Al-Zaytun

Tanggapan Menag Soal Panji Gumilang: Penodaan Agama Belum Tentu Penyesatan

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas buka suara soal kasus Panji Gumilang. Perlu ada pembuktian lebih lanjut.

Pemerintah melalui Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) telah menetapkan awal Ramadhan 1443 Hijriah jatuh pada Kamis, 23 Maret 2022. FOTO/Kemenag

apahabar.com, JAKARTA - Menteri Agama  (Menag) Yaqut Cholil Qoumas buka suara soal kasus yang menyeret pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun Panji Gumilang yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama.

Menurutnya, label sesat itu belum tentu benar, karena banyak penafsiran yang bisa dipakai untuk menanggapi hal yang berkaitan dengan penistaan agama.

"Itu statement siapa (Al-Zaytun) sesat itu? Yang melakukan stigma sesat itu siapa?" kata Yaqut di Jakarta, Sabtu (5/8).

Baca Juga: Mahfud Minta Kemenag dan Kepolisian Dampingi Proses Belajar di Ponpes Al-Zaytun

Ia mengaku bahwa pihak Bareskrim telah menaham dan memproses Panji Gumilang atas dugaan kasus penistaan agama namum semuanya butuh pengkajian dan pembuktian lebih lanjut.

Kita tunggu. Itu kan sedang dalam penanganan kepolisian. Itu pasti terkait apa yang disangkakan kepada dia Panji Gumilang terkait penodaan agama. Kita lihat hasilnya," tutur Yaqut.

"Penodaan agama kan belum tentu penyesatan," imbuhnya.

Selain itu, Yaqut menjelaskan pihaknya telah berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md, Kementerian Dalam Negeri, dan Menkumham Yasonna H Laoly untuk penanganan Ponpes Al-Zaytun.

Dalam perbaikan kurikulum pendidikan yang dianggap menyesatkan akan ditangami oleh pihak Kementerin agama.

"Semua tenaga pendidik di sana akan dilakukan asesmen oleh Kemenag. Kemudian, dilakukan pendampingan dalam proses pengajarannya. Itu yang ditugaskan dalam Kementerian Agama," kata Yaqut.

Sebelumnya Bareskrim Polri telah menahan Panji Gumilang. Dia sudah ditahan kepolisian usai ditetapkan sebagai tersangama. Panji dijerat Pasal 14 ayat 1, UU Nomor 1 Tahun 1946 dan atau Pasal 45a ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 UU ITE dan/atau Pasal 156a KUHP dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara.