Merdeka Dalam Keberagaman

Sunyi Sembunyi Ahmadiyah di Indonesia

Sunyi yang bersembunyi. Gerak kelompok Ahmadiyah merangsek sembunyi di tengah masyarakat untuk ikut serta mengisi kemerdekaan Indonesia.

Suasana tampak depan Masjid Al-Hidayah, Jakarta Pusat yang menjadi tempat ibadah para jemaah Ahmadiyah. Foto: apahabar.com/Andy dan Diva

apahabar.com, JAKARTA - Sunyi yang bersembunyi. Gerak kelompok Ahmadiyah merangsek sembunyi di tengah masyarakat untuk ikut serta mengisi kemerdekaan Indonesia. Gaung 78 Indonesia merdeka masih menyisakan suara minor.

Terkini, residu gesekan konflik mereda. Namun diklaim masih menghimpit ruang sosial Ahmadiyah di Indonesia.

Ahmadiyah diklaim telah seabad lebih ikut serta dalam memerdekakan Indonesia. Dan kini masih berupaya untuk mengisi kemerdekaan.

Baca Juga: Dua Tahun Masjid Ahmadiyah Depok Disegel: Semeresahkan Itu?

Bahkan mereka mengeklaim tiga pahlawan nasional merupakan bagian dari penganut Ahmadiyah.

Mereka yang diyakni adalah pengarang lagu kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf Supratman; mantan Perdana Menteri, Syafrudin Prawiranegara; dan Arif Rahman Hakim.

Mubaligh Ahmadiyah DKI Jakarta, Dili Sadili Fadhal Ahmad mengaku hingga kini Ahmadiyah masih terus berjuang demi negara. Meski anggapan masyarakat umum memandang minor kelompok Ahmadiyah.

Mubaligh Ahmadiyah DKI Jakarta, Dili Sadili Fadhal Ahmad. Foto: apahabar.com/Andy dan Diva

Aktivitas gerakan donor darah yang dinamakan Gerakan Donor Darah Nasional (GDDN) dilakukan serentak di Indonesia setiap 3 bulan sekali. Kesukarelawanan mereka tetap hidup untuk berkontribusi dalam ruh sosial kemasyarakatan.

Baca Juga: Kisah Pilu Jemaah Ahmadiyah di Depok Dijerat Label Sesat

Bahkan GDDN yang diinisiasi Ahmadiyah tersebar di 443 titik rutin menghimpun darah untuk disumbangkan ke Palang Merah Indonesia (PMI).

Dili menghitung di satu titik lokasi donor darah, sedikitnya terdapat 10 penganut Ahmadiyah yang mendonorkan darah mereka. Maka secara kalkulatif, terdapat 4.430 kantung darah yang tersedia untuk disumbangkan.

"Di seluruh Indonesia 443 titik. Itu bakti kami kepada negara, salah satunya jadi darah (penganut) Ahmadiyah itu tertumpah setiap 3 bulan sekali," kata Dili saat ditemui apahabar.com di Masjid Al-Hidayah, Jalan Balikpapan I No.10, Petojo Utara, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (16/8).

Aktivitas donor darah yang digencarkan Ahmadiyah bukan kegiatan kemarin sore. Dili menggelar gerakan itu sejak puluhan tahun lalu. Meskipun ia tak menaruh harap lebih untuk negara memberi perhatian kepada kelompoknya.

Baca Juga: Cerita Diskriminasi Muslim Ahmadiyah: Warga Sekitar Dilarang Menerima Kurban Kami

Ia berupaya meyakinkan bahwa gerakan donor darah itu bukan aksi pencitraan. Namun dharma bakti Ahmadiyah untuk negara.

Meski gaung 'aliran sesat' yang disematkan kepada Ahmadiyah menjadi tantangan tersendiri. Sebab dilema merawat hak beribadah mereka relatif terganggu dengan kekhawatiran konfrontasi sejumlah pihak yang mempersoalkan keberadaan hingga substansi ajaran.

Mubaligh Ahmadiyah DKI Jakarta, Dili Sadili Fadhal Ahmad. Foto: apahabar.com/Andy dan Diva

Bara api yang menyala dan upaya represif pun menjadi memoar kelam bagi penganut Ahmadiyah.

Maka ia mempertanyakan kemerdekaan yang sejati bangsa Indonesia. Terutama bagi penganut Ahmadiyah yang belum utuh mengecap kenyamanan dalam sosial beragama.

Ahmadiyah tak pernah melawan. Dihimpit dan disatroni menjadi momok yang sempat membayangi benak mereka. Tapi Dili kembali mempertegas aksi sosial kemasyarakat takkan mati meski diadang konfrontasi konflik horizontal. Di mana membuat mereka bertatapan tajam dengan masyarakat.

Baca Juga: Miris! Dua Tahun Jemaah Ahmadiyah Depok Salat di Masjid Tersegel

"Hampir 100 tahun Ahmadiyah Indonesia. Enggan melakukan sebuah pemberontakan terhadap Negara Republik Indonesia yang saya cintai," kata Dili dengan getir dan pilu.

Padahal, katanya, sebagai warga negara Indonesia seharusnya hak beragama berlaku sebagaimana mestinya. Terlebih kelompoknya itu selalu taat bayar pajak sesuai dengan aturan yang berlaku kepada WNI yang tinggal di Indonesia.

Namun hingga kini, kecaman demi kecaman masih dirasakan. Terlebih di Provinsi Jawa Barat yang dianggap sebagai zona merah bagi kelompok Ahmadiyah. Sekadar beribadah di rumah ibadah mereka sendiri pun masih kesusahan.

Salah seorang jemaah di Masjid Al-Hidayah, Jakarta Pusat. Foto: apahabar.com/Andy dan Diva

Sejumlah peristiwa pembakaran masjid hingga rumah jemaah Ahmadiyah menjadi potret yang terpatri dalam ingatan mereka.

Semisal pada 2005 di Cianjur, Jawa Barat. Rumah jemaah Ahmadiyah menyala bara api yang menghanguskan setiap jengkal tempat manusia berteduh.

"Masjid, rumah, kendaraan pribadi dihancurkan waktu itu," sebutnya.

Nanar matanya berkaca-kaca. Hak ibadah dibenturkan dengan konflik horizontal. Namun jemaah Ahmadiyah tak tersulut, meski api dendam seiring menyelubungi hangusnya rumah dan tempat ibadah mereka.

Halaman selanjutnya: Bisik Harap Jemaah Ahmadiyah

Bisik Harap Jemaah Ahmadiyah

Gegap gempita mayoritas masyarakat Indonesia disemarakkan dalam berbagai parade. Mengisi, berkontribusi, hingga merawat kemerdekaan menjadi tema tunggal saat menginjak 17 Agustus.

Indonesia merdeka. 78 tahun pun sudah berlalu. Jemaah Ahmadiyah meniti dan menanti harap yang seolah tunggal. Menuntut hak beragama yang dilindungi tanpa dihantui ketakutan konflik horizontal.

Ahmadiyah, kata Dili, akan berikhtiar untuk tetap mengisi kemerdekaan dengan kontribusi aktivitas sosial kemasyarakatan.

Jemaah Ahmadiyah memajang sejumlah informasi tentang sejarah dan kiprah gerakan Ahmadiyah. Foto: apahabar.com/Andy dan Diva

Momok api menyala dan kerusakan yang meluluhlantahkan rumah hingga tempat ibadah, ingin seolah sirna.

"Saya berharap banyak, negara semakin toleransi negara ini," ungkap Dili.

Baca Juga: Pengorbanan Nabi Ibrahim Bagi Ahmadiyah Depok

Maka ia berharap pemerintah dapat berdiri di tengah seteru pendapat yang berbeda dalam menjalani ritual keagamaan dan keyakinan masyarakat.

Meski minor dan kondisinya terhimpit, ia berharap pemerintah merendahkan telinganya untuk mendengar dan memahami jerit keluh kesah jemaah Ahmadiyah tumbuh hidup di Indonesia.

Baca Juga: Islamic Cultural Center, Sering Ditolak karena Beda

Puncak kulminasi dari harapan jemaah Ahmadiyah yang sunyi bersembunyi, yakni keadilan.

Hak beragama menjadi harapan yang mereka gantungkan kepada pemerintah. Begitu juga ikhtiar menyemai keadilan tatkala konflik horizontal merugikan mereka. Rumah dan tempat ibadah hancur, nyawa pun tak murah harganya.

Maka ia pun meminta keadilan. Mereka tak menuntut balas atas anarkisme yang dialami, namun keadilan yang mesti tegak meskipun mereka mengakui tumbuh dalam minoritas. Sunyi yang bersembunyi.

"Harusnya negara kembalikan saja kepada peraturan Undang-Undang yang sudah dibuat," ujarnya.

Halaman selanjutnya: Merdekakan Tunanetra Lewat Derma Kornea

Merdekakan Tunanetra Lewat Derma Kornea

Dalam akidah, aktivitas jemaah Ahmadiyah memang kontroversial. Tak perlu membahas itu. Fokus saja pada sosial beragama.

Lagi pula, Ahmadiyah tak menutup geliat mereka dalam bergerak pada urusan sosial untuk kerelaan mendonorkan kornea mata.

Riuh rendah seteru dan pertentangan menjadi momok yang tak lagi laten dihadapi jemaah Ahmadiyah.

Mereka tak gusar. Tetap berupaya untuk mendermakan indra penglihatan untuk memerdekakan para tunanetra.

Baca Juga: Hari Pahlawan: Puluhan Komunitas Kompak Donor Darah di Banjarmasin dan Martapura

Demi ingin mengubah masyarakat Indonesia yang tak bisa melihat untuk menatap lebih lama daripada biasanya, meskipun kornea mata mereka harus didonorkan.

Jemaah Ahmadiyah berikhtiar untuk mengisi dan menebus janji kemerdekaan dengan berkorban. Demi memerdekakan masyarakat yang membutuhkan pendonor mata.

Catatan raihan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) pun mereka terima. Namun hanya menjadi jawaban dari kebutuhan masyarakat.

Baca Juga: Unik, Peringatan Hari Buruh di Jakut Ada Donor Darah hingga Undian Doorprize

Nyatanya, mereka masih menyimpan pertanyaan. Bagaimana dengan kemerdekaan dirinya sendiri yang masih sunyi bersembunyi dalam aktivitas keagamaan.

Mubaligh Ahmadiyah DKI Jakarta, Sadili Fadhal Ahmad tetap teguh. Ia bertekad untuk tetap mengisi ruang kosong mendermakan kornea mata bagi masyarakat Indonesia yang membutuhkan.

Tak peduli ganjaran tentang tudingan kesesatan dialamatkan pada mereka dalam konteks ajaran. Sekalipun itu berdampak pada kehidupan sosial kemasyarakatan.

Jemaah Ahmadiyah menganggap donor mata sebagai panggilan kemanusiaan yang bertujuan memberi terang dalam gelap masyarakat yang tak bisa melihat.

Gerakan mereka lebih dikenal sebagai Donor Mata Indonesia atau DMI. Bukti kasih jemaah Ahmadiyah kepada sesama manusia.

PBNU dan Muhammadiyah mendesak aparat menindak tegas perusak masjid dan bangunan milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Sintang, Kalimantan Barat. Foto: dok. istimewa

"Ketika saya sudah tiada, kornea mata saya akan memberikan sinar baru untuk orang lain,” kata Dili saat ditemui apahabar.com di Masjid Al-Hidayah, Jalan Balikpapan I No.10, Petojo Utara, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (16/8).

Derma kornea mata telah menjadi internalisasi nilai bagi penganut Ahmadiyah. Bahkan sampai anggota keluarganya pun didorong untuk mendonorkan kornea mata kepada sesama manusia.

"Semua warga Ahmadiyah, termasuk saya," kata dia dengan rasa bangga.

"Istri, anak-anak saya, kami bersama-sama dalam gerakan ini. Ini lebih dari tanggung jawab, ini adalah pelayanan kemanusiaan," sambung dia.

Kesukarelawanan mendonorkan mata bukan pepesan kosong. Hal ini merupakan ikhtiar jemaah Ahmadiyah mengisi kemerdekaan Indonesia melalui membuka penglihatan yang semula gelap menjadi terang.

"Langkah kami dalam mendorong dan turut serta dalam donor organ adalah manifestasi dari rasa cinta kami pada Indonesia, negara yang telah merayakan 78 tahun kemerdekaannya," jelasnya.

Sunyi yang sembunyi dalam gerak sosial kemasyarakatan jemaah Ahmadiyah tetap mengharapkan kemerdekaan dalam beragama. Meski ikhtiar mereka hanya berbisik di tengah gandrungnya narasi mayoritas yang tak mampu ditandingi.

Halaman selanjutnya: Masjid yang Tersegel

Masjid yang Tersegel

Ketua Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Depok, Fadlil Ahmad, menyebut kemerdekaan merupakan bentuk kebebasan. Dari warga negara dalam menentukan pilihannya.

Di sini, ia dibuat heran. Masjid mereka disegel Pemkot Depok.

Hingga kini, masjid bernama Al-Hidayah itu segelnya belum dicabut. Fadlil merasa mereka tak melakukan hal aneh.

Baca Juga: Cerita Diskriminasi Muslim Ahmadiyah: Warga Sekitar Dilarang Menerima Kurban Kami

"Di sini kami nggak macem-macem kok. Di sini kami salat, ngaji seperti kegiatan di masjid pada umumnya," ungkapnya.

Penyegelan masjid itu justru ia anggap makin membawa pengaruh memperburuk. Kata Fadlil, meneguhkan adanya stigma negatif.

Suasana Idul Adha Jamaah Ahmadiyah di Masjid Al-Hidayah Depok. (Foto: apahabar/Leni)

Tapi apa boleh buat, Fadlil dan kelompoknya tak bisa menentang. Mereka merasa jadi minoritas.

Meski begitu, ia dan kelompoknya tetap konsisten untuk mematuhi peraturan. Sebisa mungkin mereka tak akan melawan kebijakan pemerintah.

Demi prinsip kesetaraan, Fadlil berharap Pemkot Depok bersedia memfasilitasi kebutuhan warga Ahmadiyah. Pasalnya, mereka merasa memiliki hak yang sama.

Baca Juga: Pesan Ahmadiyah untuk Polri: Polisi Tak Perlu Bimbang

Dalam memperingati kemerdekaan ini, warga Ahmadiyah merayakan HUT RI di Markas JAI. Di Jalan Raya Parung-Bogor, Kelurahan Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Bogor. Di tempat itu, sejumlah acara digelar.

"Tahun ini kita upacara sama-sama di markas Parung," tutupnya.