Pembunuhan Brigadir J

Soal Vonis Richard Eliezer, Ahli Hukum Pidana: Terlalu Ringan

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan akhirnya memvonis terdakwa Bharada Richard Elizer dengan hukuman pidana selama 1,5 tahun.

Terdakwa Bharada Richard Eliezer di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (Foto: apahabar.com/Hasanah Syakim).

apahabar.com, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan akhirnya memvonis terdakwa Bharada Richard Elizer atau Bharada E, dengan hukuman pidana selama 1,5 tahun, Rabu (15/2).

Guru Besar Ilmu Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir menyebut sama halnya dengan terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yoshua lainnya, jaksa dan majelis hakim juga tak memberikan kualifikasi terhadap Bharada E.

"Ini yang menjadi masalah adalah Bharada E ini perbuatannya juga tidak tergambarkan secara terang dan jelas. Dia turut serta dalam artian telah melakukan eksekusi atau eksekutor," terang Mudzakkir kepada apahabar.com, Jum'at (17/2).

Baca Juga: Janggal, Ahli Hukum Pidana Nilai Jaksa dan Hakim Tak Sepaham dalam Vonis

Lebih lanjut, Mudzakkir menyatakan terdakwa Richard Eliezer adalah orang yang melakukan perbuatan yang paling sempurna memenuhi unsur-unsur deliknya. "Oleh sebab itu, pertanyaannya mengapa hakim menjatuhkan pidana rendah sekali, 1,5 tahun," katanya.

Dengan demikian, Mudzakkir menjelaskan pada dasarnya Richard Eliezer sebagai pelaku eksekutor dalam artian, seseorang yang melakukan niat jahat orang lain, yakni Ferdy Sambo. Hal itu dilaksanakan secara sempurna serta berakibat korban Brigadir Yoshua meninggal dunia.

"Jadi ide pembunuhannya terletak pada pelaku penganjur, dan dia (Richard Eliezer) adalah pelaku eksekutor saja, atau istilah bahasa umumnya dikenal orang yang melaksanakan niat jahat orang lain," terangnya.

Faktor Keringanan Hukuman

Selanjutnya, Mudzakkir menuturkan bahwa karena Richard Eliezer melakukan niat jahat kepada orang lain, maka hal tersebut membuat Richard Eliezer mendapatkan keringanan hukuman.

"Kemudian dia juga menjadi justice collaborator atau JC, sehingga hukumannya juga diperingan karena ada kontribusi untuk mempemudah proses penyidikan," katanya.

Selain itu, kata Mudzakkir, Richard Eliezer juga telah memperoleh permaafan dari keluarga korban Brigadir Yoshua. Dengan demikian, Richard Eliezer banyak memperoleh berbagai faktor yang memperingan hukumannya. 

Baca Juga: LPSK Buka Diri untuk Pekerjakan Bharada Richard Eliezer

"Tapi muncul pertanyaan akademik, memperingan hukuman itu ringannya sampai berapa. Ringan dari tuntutan pelaku penganjur dan turut serta di dalam penganjuran," ujarnya.

"Atau dia ringan karena memang ada hal lain kalau kita baca dari LPSK. Ringan itu yaa ringan, kalau perlu tidak dipidana kan gitu. Nah itu yang menjadi masalah di dalam sistem hukum pidana," sambungnya.

JC Bukan untuk Pelaku Utama

Berkenaan dengan Justice Collaborator (JC), Mudzakkir menegaskan bahwa pada prinsipnya JC tidak diberikan statusnya kepada pelaku utama. Sebab, hal tersebut diartikan kepada pelaku yang melakukan tindak pidana.

"Siapa itu, menurut pendapat saya Eliezer sebagai pelaku utama karena perbuatannyalah Yoshua mati. Kalau dia menolak Yoshua tidak mati seperti sekarang ini," katanya.

Hal tersebut mengingat sebelumnya terdakwa Ricky Rizal menolak karena dia tidak bisa bertanggungjawab terhadap kematian langsung dari Brigadir Yoshua.

Baca Juga: Vonis Ringan Richard, LPSK: Hakim Pahami Esensi Justice Collaborator

"Dan kemudian Eliezer memang melakukannya dan itu diakui sendiri dalam sidang pengadilan, dia memang yang menambak tiga sampai empat kali hingga peluru bersarang ditubuh korban," terangnya

Mudzakkir mengatakan atas dasar tersebut maka seharusnya orang yang terlibat dalam proses pembunuhan terlebih sebagai pelaku utama, yakni eksekutor tidak dapat dikualifikasi sebagai JC.

"Tapi kalau dia mempunyai peran-peran tertentu atau disebut sebagai peran-peran pinggiran, dari proses tindak pidana itu. Baru dia diterima sebagai JC yang kemungkinan bisa dinyatakan tidak perlu diajukan ke pengadilan," katanya.

Soal Perdebatan Hukuman Ringan

Tak hanya itu, Mudzakkir turut juga menyoroti terkait hukuman ringan yang menjadi salah satu perdebatan.

"Sekarang muncul perdebatan mengenai kalau dihukum yang ringan, jumlahnya berapa, kalau menurut pendapat saya ringan itu kalau dibanding dengan pelaku utama sebagai pelaku penganjur," ungkapnya.

"Ringannya dari para pelaku penganjur, yang kedua adalah diperingan lagi. Jadi ada ringan kedua dan ketigalah. Sehingga dengan demikian angka titik temunya ya paling tidak itu 12 seperti disampaikan oleh jaksa atau di bawahnya," tuturnya.

Baca Juga: Polri Siap Libatkan Kompolnas dalam Sidang Etik Bharada E

Mudzakkir menambahkan kemungkinan hukuman tersebut bisa sampai lima tahun pidana, karena ancaman tersebut merupakan kealpaan yang menimbulkan kematian orang.

"Jadi karena dia tidak mempunyai itikad jahat dan sebagainya kemudian juga dia punya kontribusi yang baik atau positif, maksudnya ya paling tidak lima tahun itu karena parameter kealpaan," ungkapnya.

Terkait Hukuman 1,5 Tahun Bharada E

Mudzakkir menerangkan apabila hukum 1,5 tahun atas dasar JC, maka menurutnya perlu kembali diingat bahwa ia juga melakukan tindakan pidana, dan perannya utamanya besar.

"Besarnya inilah yang sepertinya tidak pernah dipertimbangkan hakim. itulah yang membuat problematik di sini atau menjadi tanda tanya kalau saya dari akademisi ya itu tanda tanya kok ringan banget begitu. RIGngan boleh, diperingan harus tapi ringan banget," tuturnya. 

Menurutnya, hukuman ringan tersebut berhubungan dengan nilai keadilan mematikan orang. Apapun alasannya, ungkap Mudzakkir, merampas nyawa seseorang karena kealpaan saja mendapatkan hukuman lima tahun.

"Masa itu sengaja melakukan atas perintah atasnya, dia membantu atasannya, dan mau melakukannya, masa hukumannya jadi satu setengah tahun," jelasnya.

Baca Juga: Divonis 1,5 Tahun Penjara, Bharada E Ucapkan Terima Kasih kepada Publik

"Jadi saya kira itu perdebatan yang sangat penting dalam hukum pidana dan sekaligus bukan hanya urusan korban setuju atau tidak setuju," katanya.

Menurutnya, hal ini berkenaan dengan perbuatan merugikan korban, keluarga korban, masyarakat, negara serta merugikan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam kehidupan manusia.

"Istilah bahasanya kemanusiaan yang adil dan beradab, bahwa membunuh bertentangan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Nah mestinya hukumannya diseimbangkan," tutupnya.