Tragedi Kanjuruhan

Sesatnya Klaim soal Tragedi Kanjuruhan Bukan Pelanggaran Berat

Koalisi Masyarakat Sipil mengecam pernyataan soal tragedi Kanjuruhan bukan pelanggaran HAM berat.

Klaim Menko Polhukam mengenai Tragedi Kanjuruhan yang dinilai bukan pelanggaran HAM berat dinilai sesat. Foto Suara.com

apahabar, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil mengecam pernyataan Mahfud MD yang menyatakan Tragedi Kanjuruhan bukanlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

Koalisi menilai pernyataan yang disampaikan oleh Menko Polhukam tersebut tidaklah berdasar, dan menyesatkan. Kemenkopolhukam dinilai tak memiliki wewenang menyatakan suatu peristiwa merupakan pelanggaran HAM berat atau tidak.

Lembaga yang berwenang, menurut mereka adalah Komnas HAM. Itu berdasar UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Merujuk Pasal 18 UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komnas HAM dalam mengungkap peristiwa pelanggaran HAM berat, baik dalam bentuk kejahatan genosida maupun kejahatan kemanusiaan, dapat melakukan penyelidikan dan membentuk tim ad hoc.

Baca Juga: Tim Gabungan Aremania Minta Polri Investigasi Tragedi Kanjuruhan dengan Profesional

Baca Juga: Datangi Bareskrim, KontraS Bawa 2 Saksi Kunci Tragedi Kanjuruhan

Direktur LBH Malang Daniel Siagian menuturkan jika pernyataan yang disampaikan keliru. "Menkopolhukam menjelaskan pernyataan yang disampaikannya tersebut berdasar hasil penyelidikan Komnas HAM, menurut kami pernyataan tersebut tetaplah keliru," ungkapnya pada Selasa (3/1).

Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Pos Malang (LBH Malang), Lembaga Bantuan Hukum Surabaya (LBH Surabaya), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lokataru Foundation, dan IM57+ Institute. 

Koalisi kemudian merujuk pada keterangan pers Komnas HAM nomor 039/HM.00/XI/2022 tentang penyampaian laporan tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan Malang.

"Bahwa pelaksanaan pendalaman kasus oleh Komnas HAM menggunakan kerangka UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, bukan UU 26/2000 tentang pengadilan HAM yang dapat menyatakan suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak yang didasari pada proses penyelidikan," imbuhnya.

Justru pihaknya menilai tak menutup kemungkinan bagi Komnas HAM untuk menyelidiki kasus Kanjuruhan dalam kerangka pelanggaran HAM berat. Mengingat, Tragedi Kanjuruhan memiliki potensi untuk dapat disimpulkan sebagai pelanggaran HAM berat apabila proses penyelidikan oleh Komnas HAM dapat dilakukan.

Baca Juga: Sisa Jiwa Terluka, Cerita Vicky Penyintas Tragedi Kanjuruhan

Baca Juga: Babak Baru Korban Tragedi Kanjuruhan Menjemput Keadilan

Berkenaan dengan hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil menilai penting bagi Komnas HAM untuk menindaklanjuti kembali hasil temuan sebelumnya dengan melakukan penyelidikan dalam UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

"Terdapat berbagai fakta yang perlu untuk ditelusuri lebih lanjut," jelasnya. 

Satu di antaranya mengenai pertanggungjawaban komando atau atasan dalam pengerahan penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh institusi keamanan. Sebab, dalam tragedi ini terdapat aktor highlevel yang harus dimintai pertanggungjawabannya secara hukum.

"Kami menilai dalam situasi seperti ini Menkopolhukam lebih baik berfokus pada rekomendasi laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang diketahui hingga saat ini belum ada perkembangan yang begitu signifikan," jelasnya.

Beberapa di antaranya, sambung Daniel, meminta Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral.

Penyelidikan lanjutan pada anggota Polri dan prajurit TNI yang melakukan kekerasan tidakarus dilaksanakan tanpa terkecuali. Termasuk kepada pejabat Polri yang menandatangani surat rekomendasi izin keramaian no: Rek/000089/IX/YAN.2.1/2022/DITINTELKAM tanggal 29 September 2022 yang ditandatangani oleh Dirintelkam atas nama kapolda Jawa Timur.

Saat ini baru terdapat enam orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian dengan pasal-pasal pidana yang ancamannya tergolong ringan. 

Hal itu dinilai menimbulkan ketidakadilan baru bagi para korban dan keluarga, antara lain Pasal 359 KUHP dan/Pasal 360 KUHP dan/atau Pasal 103 ayat (1) Jo Pasal 52 U No. 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan. Di mana ancaman pidana maksimal antara lain lima tahun penjara.