Penganiayaan Remaja

Ramai Soal Fenomena Pamer Harta Kekayaan, Ini Kata Pengamat Sosial

Mario Dandy Satriyo anak eks pejabat pajak yang diduga terlibat aksi penganiayaan hingga kini masih menjadi sorotan publik.

Kendaraan Mario Dandy Satrio mulai dari Harley Davidson hingga Jeep Rubicon. (Foto: dok. Kilat)

apahabar.com, JAKARTA - Mario Dandy Satriyo anak eks pejabat pajak yang diduga terlibat aksi penganiayaan terhadap David anak petinggi GP Ansor, hingga kini masih menjadi sorotan publik.

Diketahui Mario kerap memamerkan kekayaannya yang dia bagikan di media sosialnya menuai banyak komentar dari sejumlah warganet hingga berujung pada pencopotan jabatan ayahnya, Rafael Alun Trisambodo.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Sosial dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Tantan Hermansyah menilai fenomena banyak orang yang memamerkan harta kekayaan terutama di media sosial dikarenakan adanya beberapa faktor.

"Pertama, syahwat orang pamer memang sudah ada sejak dulu hanya saja hari ini kita mendapati ruang yang sangat bebas, terbuka, dan liberal untuk memamerkan apa yang mereka miliki," kata Tantan kepada apahabar.com, Minggu (26/2).

Baca Juga: Dengar Kepala David Diinjak Mario Dandy, Menkeu: Hati Saya Remuk

Peneliti UIN Jakarta ini mengatakan, pada dasarnya hasrat pamer tidak hanya melekat pada orang yang memiliki kekayaan berlebih atau berkecukupan. Akan tetapi, hampir mendera kepada semua orang bahkan hingga melakukan segala cara hanya untuk bisa terlihat kaya.

"Hasrat pamer bisa datang kepada orang miskin atau biasa saja, dan orang-orang yang baru mendapatkan sesuatu. Bahkan ada orang yang ingin memamerkan sesuatu tapi sesuatu itu tidak dia miliki maka dia akan membuatnya dengan cara mengedit," ungkapnya.

Lebih lanjut, Tantan menegaskan sikap pamer merupakan bagian dari hasrat manusia yang melekat pada setiap orang. Sehingga agama kemudian hadir untuk mengatur segala permasalahan yang terjadi di kehidupan manusia.

"Makanya agama mengendalikannya dengan nilai-nilai yang mengatakan bahwa budaya pamer adalah budaya yang bertentangan dengan kehendak Sang Pencipta," terangnya.

Baca Juga: Jenguk Korban Penganiayaan Dandy, Kemenkeu: Kondisi David Lebih Baik

Selain itu, menurut Tantan agama juga hadir untuk mengajarkan atau meminta manusia menjadi pribadi yang tawaduk, rendah hati, tidak berlebihan serta hasrat ingin dipuji.

"Beberapa orang memamerkan kekayaan mungkin karena riya atau karena ingin mendokumentasikan apa yang dimiliki. Akan tetapi, mungkin juga dia ingin menginspirasi. Nah semua berbalik kepada orang yang melakukannya," ungkapnya.

Tantan juga menyebut beberapa orang yang melakukan pamer kekayaan terutama di media sosial ini tidak lain bertujuan untuk menggaet followers. Sebab dengan meningkatnya jumlah followers, maka dia bisa menambang keuntungan.

"Menambang keuntungan lain seperti datangnya endorse, menjadi influencer atau apapun yang menghasilkan cuan bagi kehidupannya," ujarnya.

Tantan menambahkan di tengah masyarakat fenomena pamer ini bisa dimaknai sebagai riya ataupun inspirasi untuk melakukan perubahan dan transformasi positif, namun hal itu tergantung bagaimana masyarakat melihatnya.

"Bagi kita sebagai masyarakat melihat mereka yang pamer kekayaan itu tergantung, apakah kita kemudian memaknainya sebagai riya atau inspirasi untuk melakukan perubahan dan transformasi positif, semua tergantung kita yang membacanya," tuturnya.

Sementara itu, Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati menerangkan fenomena pamer kekayaan ini sudah terjadi jauh sebelum era digitalisasi muncul.

Baca Juga: Pakar Hukum: Mario Dandy Lakukan Penganiayaan Berencana

Devie mengatakan ada beberapa hal yang perlu diamati terkait mengapa kemudian orang-orang kaya suka memamerkan kekayaannya terutama di media sosial, serta bagaimana keadaan orang tua saat anaknya memposting sesuatu di sosial media.

"Berdasarkan hasil riset terdahulu menunjukan orang tua biasanya tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa yang diposting, atau informasi apa yang disebarkan oleh anaknya di media sosial," kata Devie kepada apahabar.com.

Lebih lanjut, Devie menyebut ada dua jenis orang tua terutama saat kondisi anak menggunakan media sosial. Pertama, orang tua tidak mengetahui. Sedangkan kedua, orang tua yang juga suka memposting informasi di media sosial.

Baca Juga: KemenPPPA Jamin Pemulihan Korban Penganiayaan Anak Pejabat Pajak

"Menurut riset-riset paling terkini tahun 2021-2022 menunjukan orang tua yang suka melakukan post informasi di sosial media, biasanya memang mereka justru adalah orang tua yang akan sangat permisif atau terbuka," ujarnya.

Artinya, kata Devie, orang tua tersebut justru akan membiarkan anaknya melakukan apapun. Sebab mereka sebagai orang tua pun juga melakukan hal yang sama, dengan anak-anaknya.

Alasan Orang Memamerkan Kekayaannya

Selanjutnya, Devie menjelaskan mengenai alasan orang kaya kerapkali mendemonstrasikan kekayaannya. Pertama, karena di masa kapitalisme semua orang berkompetisi, untuk mendapatkan kemakmuran ekonomi, serta kejayaan hidup.

"Kalau kata Darwin di masa lalu orang berjuang untuk mendapatkan sumber daya makanan, maka di era sekarang orang tidak hanya berkompetisi mendapatkan makanan tapi kompetisi untuk bisa menempati status sosial tertentu di masyarakat," jelasnya.

Dosen Hubungan Masyarakat Vokasi UI ini menyebut, hal demikian karena masyarakat kapitalisme sangat berorientasi pada kepemilikan modal atau uang. Sehingga hal ini akan membagi lagi masyarakat dalam dua kategori.

"Kedua kategori tersebut adalah masyarakat pekerja dan masyarakat rekreasi disebut juga dengan masyarakat elite atau bisnis. Kalangan masyarakat bisnis ini cenderung akan mendemonstrasikan kekayaan atau kemakmurannya," jelas Devie.

Hal itu, imbuh Devie, untuk menunjukan bahwa memang mereka berbeda dengan kalangan pekerja industri, serta ingin memastikan bahwa mereka berada di tingkatan atau hirarki paling tinggi di masyarakat.

"Ketika mampu menunjukan bahwa mereka memiliki sumber daya yang tidak bisa dimiliki oleh kalangan pekerja, yakni hal-hal yang sifatnya tidak esensial artinya tidak semua orang butuh kapal. Semua orang mungkin membutuhkan mobil tapi tidak membutuhkan mobil yang super mewah misalnya," kata Devie.

Menurutnya, pemahaman demikian sudah ada sejak tahun 1890-an dan ketika media sosial muncul, maka itu menjadi etalase bagi kalangan-kalangan tersebut untuk menunjukan bahwa mereka berada di status sosial tertentu.

"Tapi yang menarik dalam penelitian tersebut adalah ada kelompok-kelompok industri yang kemudian terobsesi untuk bisa mengejar kelompok yang memang sudah kaya tadi, yang sudah menempati strata tertinggi dalam masyarakat," ucapnya.

Baca Juga: KPAI Minta Polisi Usut Tuntas Kasus Penganiayaan Anak Pengurus GP Ansor

Kelompok tersebut, kata Devie, kemudian dikenal dengan istilah orang kaya baru (OKB), mereka akan berusaha menunjukan bahwa dirinya sama dengan orang-orang yang sudah lama kaya atau pemilik modal.

"Nah ketika dia mempertontonkan kekayaan itu, maka tidak menjamin kalau kemudian mereka juga bisa mendapatkan penghormatan dari orang-orang yang betul-betul kaya misalnya," kata Devie.

Menurutnya, fenomena ini sudah panjang terjadi hanya saja dengan adanya medium berupa media sosial, sehingga hal tersebut menjadi lebih tertangkap.

"Ditambah peraih nobel menyampaikan tentang era digital ini sebagai attantion economy atau ekonomi perhatian. Di mana semua orang berusaha mendapatkan perhatian, salah satunya ditempuh dengan memamerkan atau mendemonstrasikan kekayaan," paparnya.

Baca Juga: LBH GP Ansor Kawal Proses Hukum Penganiayaan Terhadap D

Bahkan akibat keadaan tersebut tak jarang orang-orang melakukan berbagai aksi berbahaya, termasuk menyebarkan hoax hanya untuk mendapatkan perhatian dari publik.

"Jadi sebuah praktek konvensional di era kapitalisme bertemu dengan ekonomi perhatian di era sekarang inilah yang menghasilkan apa yang kemudian kita lihat hari ini," tutupnya.