Pengembangan Industri Smelter

Prospek Industri Nikel di 2023, Peluang dan Tantangannya

Industri pengolahan nikel di 2023 memiliki peluang dan tantangan yang besar

Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey. Foto: Nikel.co.id/Syafia.

apahabar.com, JAKARTA- Industri pengolahan nikel di 2023 memiliki peluang dan tantangan yang besar.

Hal itu disampaikan Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey.

Meidy menyampaikan beberapa poin penting di antaranya terkait jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebelum ada SK Pencabutan 2.078 IUP, jumlahnya ada 338 IUP.

Sesudahnya ada SK Pencabutan 2.078 IU, tersisa 286 IUP. Sebaran IUP ada di Kalsel 2 IUP, Sulteng 98 IUP, Sulsel 5 IUP dan Sultra 122 IUP. Selain itu Maluku Utara 42 IUP, Maluku 2 IUP, Papua Barat 4 IUP dan Papua 1 IUP.

Menurut Meidy Jumlah IUP ini mungkin akan bertambah, karena beberapa perusahaan pertambangan yang IUP-nya dicabut sedang melakukan proses keberatan.

"Di antaranya melalui proses hukum ke PTUN,” kata Meidy dikutip dari Nikel.co.id.

Meidy mengkhawatirkan jumlah IUP Nikel yang tidak sebanding dengan jumlah industri hilir pengolahan nikel akan mengganggu supply chain bahan baku nikel ke smelter.

Ia juga menanggapi terkait gugatan Uni Eropa di sidang panel WTO. Dituturkan, Pemerintah Indonesia sudah beberapa kali menerapkan kebijakan larangan ekspor raw material bijih nikel.

Sempat diberlakukan di 2017 kemudian dibuka ekspor kembali, lalu diberlakukan larangan ekspor kembali di akhir 2019.

Ketika pemberlakuan larangan ekspor berjalan di 2020, belum berdiri pabrik hidrometalurgi berteknologi HPAL yang mengolah bijih nikel kadar rendah atau limonit.

Meidy menjelaskan untuk bijih nikel kadar rendah belum memiliki permintaan di dalam negeri. Di satu sisi, ia menyayangkan bila bijih nikel kadar rendah akan terus terbuang.

"Di sisi lain, kita sudah tidak mendapat kesempatan untuk mendapatkan benefit, karena adanya kebijakan larangan ekspor raw material nikel,” tutur Meidy.

Seiring berjalannya waktu, sejak 2020 sampai sekarang sudah berdiri 43 pabrik pirometalurgi yang mengolah bijih nikel kadar tinggi atau saprolit dan empat pabrik hidrometalurgi yang mengolah limonit.

Pabrik pirometalurgi menghasilkan produk turunan nikel seperti nikel pig iron dan feronikel. Sedangkan pabrik hidrometalurgi menghasilkan HMP yang diolah kembali menjadi nikel sulfat sebagai bahan baku prekursor untuk komponen baterai kendaraan listrik.

Menurut perhitungannya, dari 4 pabrik hidrometalurgi yang sudah berdiri di tahun ini, di tahun depan akan mengkonsumsi limonit 23 juta ton per tahun.

Ia menyatakan akan berdiri lagi 6 pabrik hidrometalurgi, sehingga jumlahnya 10 pabrik hidrometalurgi.

"Jadi, demand limonit sudah ada untuk pabrik. Kebutuhan limonit sekitar 50 juta ton per tahun,” tutur Meidy.

Tak hanya itu, berdasarkan data APNI dari jumlah pabrik yang sudah beroperasi, tahap konstruksi, dan perencanaan jumlahnya 136 pabrik. Jika semua pabrik itu sudah beroperasi diperkirakan akan mengkonsumsi lebih dari 400 juta ton bijih nikel.

Melihat begitu masifnya pabrik pirometalurgi, pemerintah kabarnya memberi kesempatan kepada para investor untuk membangun pabrik hidrometalurgi untuk mendukung program baterai kendaraan listrik.

Meidy pun menanggapi kekalahan Indonesia di sidang panel WTO, apakah raw material nikel akan ekspor kembali setelah itu.

"Mungkin saja kembali dilakukan ekspor. Mengapa? Lihat saja perbedaan harga nikel internasional dibandingkan harga nikel lokal,” papar Meidy.

Dirinya mengutarakan, selama ini dalam penentuan Harga Mineral Acuan (HMA) sebagai dasar perhitungan Harga Patokan Mineral (HPM) Nikel di dalam negeri, pemerintah masih mengacu kepada salah satu bursa di Eropa.

Penentuan harga dihitung berdasarkan rata-rata tren harga nikel di bursa itu selama dua bulan ke belakang. Ketika pemerintah menetapkan HPM Nikel di dalam negeri yang  mengacu kepada bursa di negara itu potongannya sampai 45%.

“Artinya, harga nikel internasional jauh lebih tinggi dibandingkan harga nikel lokal,” ungkap Meidy.

Meidy juga menyatakan APNI mendukung kebijakan Pemerintah Indonesia, termasuk dalam pengembangan industri hilir pengolahan nikel. Karena, semakin banyak industri hilir, maka peluang penyerapan bijih nikel dari para penambang pun semakin besar.

Menurutnya, suksesnya industri hilir harus diimbangi dengan kondisi di hulu. Mulai dari pembenahan tata kelola pertambangan, tata niaga nikel, dan persoalan lain yang masih dihadapi di hulu.

Meidy juga menyampaikan usulan kepada pemerintah untuk membuat ketentuan HPM Limonit dan kandungan lain yang menyertainya, seperti kobalt. Karena, limonit dan unsur kobalt sudah ada demand dari pabrik hidrometalurgi sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.