Opini

Poin Angka Kredit, Ketidakadilan Guru, dan Munculnya Penulis Bayaran

Oleh: Arif Rachman Penetapan poin angka kredit bagi guru menjadi tanda tanya besar bagi kalangan pendidik….

Ilustrasi. Freepick.com

Oleh: Arif Rachman

Penetapan poin angka kredit bagi guru menjadi tanda tanya besar bagi kalangan pendidik. Ya, bagaimana bisa poin yang diperoleh guru saat menulis buku disamakan dengan tiga karya tulis artikel di media massa?

Berdasarkan buku Pedoman Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan dan Angka Kredit yang dikenal dengan buku 4 dan buku 5 yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2019, guru yang menulis buku akan mendapatkan poin 2 sampai 4, sementara guru yang menulis artikel di media massa cetak maupun online yang kredibel atau yang sudah terverifikasi Dewan Pers mendapatkan poin 1,5.

Perlakuan berbeda terjadi pada dosen. Poin 20 akan diterima oleh dosen yang menulis buku ajar. Jika mereka membuat buku referensi, poinnya jauh lebih besar yaitu 40.

Mengapa ada jurang perbedaan yang sangat besar antara dosen dan guru? Padahal, dosen dan guru memiliki tugas yang sama. Sama-sama sebagai pengajar yang bertugas untuk mengajar. Juga sama-sama berkontribusi untuk kemajuan bidang pendidikan di negeri ini.

Aturan perolehan poin yang diterima guru saat menulis artikel jelas harus dievaluasi. Menyamakan poin satu buku dengan tiga artikel yang terbit di media massa jelas aneh dan tidak masuk akal.

Kita sama-sama tahu bahwa proses menulis buku bukan hal yang mudah. Perlu ide dan gagasan yang kuat sampai sebuah buku selesai dicetak. Kreativitas penulis juga sangat penting agar buku yang ditulis tidak menjadi pajangan di perpustakaan atau tidak sekadar menjadi syarat kenaikan pangkat. Tapi jauh dari itu, buku yang ditulis idealnya benar-benar bisa menjadi referensi bagi para pembacanya.

Itu belum ditambah dengan biaya besar yang dibutuhkan untuk mencetak buku, termasuk membayar editor dan lain sebagainya. Sebagian kecil guru—demi menghemat biaya—barangkali ada yang mencetak satu atau dua eksemplar hanya sebagai syarat mengajukan kenaikan pangkat dan agar diakui bahwa dia sudah menulis buku.

Namun, sebagian lainnya tentu memiliki kesadaran bahwa kita sebagai guru juga memiliki tanggung jawab moral kepada lingkungan sekitar. Kita memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan anak bangsa. Jadi, menulis buku itu tidak hanya untuk menunjang kenaikan pangkat, tapi karena benar-benar kita ingin berkontribusi untuk memajukan bangsa dan negara melalui bidang pendidikan.

Yang dikhawatirkan dari aturan penerapan poin yang tidak adil ini adalah para guru menjadi malas menulis buku. Bagaimana jika para guru berpikir lebih baik guru menulis tiga sampai empat artikel saja daripada susah payah menulis buku, sebab poinnya sudah setara dengan menulis satu buku.

Dampak lainnya mungkin lebih mengkhawatirkan lagi, yakni munculnya penulis bayaran. Ini memang sudah menjadi rahasia umum, di mana oknum guru yang tidak memiliki kemampuan untuk menulis malah membayar oknum lainnya untuk menuliskan artikel di media massa. Kalau satu artikel dihargai Rp 300 ribu, untuk menerbitkan empat artikel, seorang guru cukup membayar Rp 1,2 juta. Sungguh praktis, tapi tentu saja tidak mencerdaskan. Fenomena ini ada dan nyata. Kalau tak percaya, tengok saja ke Kabupaten Tanah Bumbu.

Itu belum ditambah dengan potensi kecemburuan antara guru dengan dosen dan guru dengan guru-guru lainnya.

Kami, para guru sudah sangat sering menerima kritikan dari segala penjuru. Maka tidak ada salahnya jika pemerintah juga bisa memahami posisi para guru dan kendala-kendala yang dihadapinya. Walau bagaimana pun, sebagai tenaga pendidik, guru sangat memerlukan motivasi dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah.

Tapi jika persoalan seperti ini saja dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan setiap guru akan menjadi malas untuk berkarya. Seperti yang sudah dijelaskan tadi, daripada diminta menulis satu buku, jangan-jangan mereka lebih memilih menulis empat artikel, itu pun lewat jasa penulis bayaran. Jika ini terjadi, tentu akan menjadi lonceng kematian dunia pendidikan kita.

Kita, sebagai guru sudah begitu sering mengingatkan murid-murid kita untuk tidak mencontek saat proses belajar di sekolah. Tapi, tanpa kita sadari, sebagian dari kita malah melakukan hal yang lebih parah dari perilaku yang sering kali dialamatkan kepada murid-murid kita sendiri.

Pemerintah tak boleh tutup mata dan harus segera membereskan persoalan ini. Bukankah Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa profesi pendidik harus dikembangkan sebagai profesi yang bermatabat?

Dunia pendidikan sangat membutuhkan seorang pengajar yang memiliki dedikasi yang profesional untuk menghasilkan insan yang cerdas dan kompetitif, serta dapat menciptakan sebuah karya inovasi. Apabila seorang pendidik, tidak mampu dalam menciptakan karya, ini akan bedampak buruk bagi tatanan dunia pendidikan kita ke depan.

Walau bagaimana pun, penetapan poin angka kredit ini harus segera dievaluasi kembali. Jangan sampai karena aturan seperti ini, para guru justru tidak bisa berkarya dan mengembangkan potensinya. Tentu pemerintah tidak ingin dunia pendidikan kita jalan di tempat atau bahkan mundur ke belakang.

Atau justru pemerintah menginginkan dunia pendidikan kita begini-begini saja?

*
Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Karang Bintang