Pledoi Lengkap Kuasa Hukum MHM: Banyak Tuduhan Tidak Terbukti

Abdul Qodir selaku koordinator tim PH Mardani mengatakan bahwa banyak tuduhan yang tidak bisa dibuktikan oleh JPU secara langsung ataupun tidak langsung.

Mardani H Maming. Foto: dok.pribadi

apahabar.com, JAKARTA – Sidang Pembelaan (Pledoi) Mardani H. Maming telah usai digelar. Dalam hal ini, tim penasehat hukum mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan tersebut telah membacakan seluruh pembelaan terkait bantahan terhadap tuduhan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Terkait hal tersebut, Abdul Qodir selaku koordinator tim PH Mardani mengatakan bahwa banyak tuduhan yang tidak bisa dibuktikan oleh JPU secara langsung ataupun tidak langsung.

Menurutnya, tuduhan yang selama ini digaungkan oleh JPU sama sekali tidak memikiki dasar yang kuat, sehingga cenderung dibuat-buat.

“Tuduhan JPU dalam dakwaan dan tuntutannya tidak didasarkan fakta dan bukti yang sah dan meyakinkan. Misal: bukti elektronik tidak didukung dengan hasil uji laboratorium forensik,” ujar Abdul Qodir kepada apahabar.com, Rabu (25/1).

Selain itu tim kuasa hukum juga menemukan beberapa alat bukti berupa copy dari scan dimana footer dan font antara halaman depan dan belakang berbeda. Hal tersebut seharusnya diragukan keabsahan dan keasliannya.

“Ada bukti copy dari scan yang footer dan font antara halaman depan dan belakang berbeda, sehingga patut diragukan keabsahan/otentikasinya,” tambahnya.

Lanjutnya, tim kuasa hukum juga menyampaikan beberapa poin pembantahan kepada semua tuduhan dari JPU.

Berikut isi Pembelaan lengkap yang dibacakan tim penasehat hukum dalam sidang Pledoi Mardani H. Maming:

Pledoi lengkapnya baca di halaman selanjutnya...

Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Salam sejahtera untuk kita semua.

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala, Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana, yang telah mencurahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya kepada kita semua, dan hanyalah atas perkenan-Nya, maka seluruh rangkaian persidangan perkara ini dapat berjalan dengan lancar, tanpa suatu kendala apapun.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Penuntut Umum serta Pengunjung Sidang yang Kami Hormati,

Pertama-tama, perkenankanlah kami, selaku Penasihat Hukum Terdakwa MARDANI H. MAMING, dalam mengawali pembacaan Nota Pembelaan (Pleidooi), terlebih dahulu menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Yang Mulia Majelis Hakim, yang telah memimpin tahapan demi tahapan persidangan perkara ini sesuai aturan hukum acara, dengan memberikan ruang kebebasan dan kesempatan yang berimbang kepada para pihak, untuk mengungkap kebenaran sejati, demi menegakkan keadilan. Kami juga menyampaikan apresiasi kepada Panitera Pengganti yang rajin dan tekun mengatur administrasi dan mencatat jalannya persidangan perkara ini.

Kepada Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”), kami tetap merasa perlu menyampaikan rasa hormat, meskipun dalam pandangan kami, apa yang telah disajikan dan diuraikan oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam Surat Dakwaan maupun Surat Tuntutan tidak sepenuhnya menggambarkan fakta-fakta yang sesungguhnya terjadi. Perbedaan pandangan dan pendirian antara kami sebagai Advokat dengan rekan Jaksa Penuntut Umum, yang masing-masing mengemban tugas profesi berdasarkan Undang-undang, merupakan hal yang lazim dan lumrah dalam suatu proses persidangan, dalam ikhtiar untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil. Kami meyakini perbedaan adalah sunnatullah, yang merupakan keniscayaan dan sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, perbedaan sejatinya adalah positif, sejauh didasari oleh hasrat dan niat yang luhur, serta ditopang rasionalitas akal budi dengan berbekal ilmu pengetahuan.

Kami pun mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada aparat keamanan, rekan jurnalis, serta seluruh warga masyarakat Kota Banjarmasin dan Provinsi Kalimantan Selatan, yang atas dukungan dan kerjasamanya, turut mewujudkan situasi dan kondisi yang aman dan tertib, baik di dalam maupun di luar ruang sidang pengadilan.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Penuntut Umum serta Pengunjung Sidang yang Kami Hormati,

Melalui proses persidangan yang terbuka untuk umum, dan setelah melewati tahapan pembuktian, maka melalui nota pembelaan ini, perkenankanlah kami untuk menanggapi dakwaan Jaksa Penuntut Umum, serta sekaligus menjawab pertanyaan yang paling mendasar dalam perkara ini, yaitu, “Apakah benar Terdakwa MARDANI H. MAMING telah melakukan tindak pidana korupsi?”

Terdakwa MARDANI H. MAMING telah didakwa melanggar kewajibannya dengan cara menerbitkan Surat Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor 296 Tahun 2011 tentang Persetujuan Pelimpahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT BANGUN KARYA PRATAMA LESTARI Nomor 545/103/IUP-OP/D.PE/2010 Kepada PT PROLINDO CIPTA NUSANTARA (TB.09 DESPR 34) Tanggal 16 Mei 2011 (“SK Bupati No. 296/2011”) yang melanggar Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU No. 4/2009”). Penerbitan SK Bupati No. 296/2011 tersebut dituduhkan demi memberikan keuntungan bagi Alm. HENRY SOETIO atau PT PROLINDO CIPTA NUSANTARA (“PT PCN”).

Jaksa Penuntut Umum pun, dengan segala cara dan upaya, mencoba merekonstruksi peristiwa-peristiwa dalam perkara ini, melalui berbagai narasi yang diframing sedemikian rupa, sehingga menjadikannya semakin jauh berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan fakta-fakta kejadian yang sesungguhnya.

Bahwa Jaksa Penuntut Umum menuduh Terdakwa MARDANI H. MAMING telah memaksa Saksi RADEN DWIDJONO PUTROHADI SUTOPO untuk melanggar peraturan perundang-undangan dengan tetap melakukan proses persetujuan pelimpahan/pengalihan Izin Operasi Pertambangan Operasi Produksi (“IUP-OP”) milik PT BANGUN KARYA PRATAMA LESTARI (“PT BKPL”) kepada PT PCN, meski Saksi RADEN DWIDJONO PUTROHADI SUTOPO telah memberitahukan bahwa berdasarkan hasil konsultasi dengan Saksi FADLI IBRAHIM, Kepala Bagian Hukum Ditjen Minerba Kementerian ESDM, peralihan IUP adalah mutlak dilarang berdasarkan Pasal 93 ayat (1) UU No. 4/2009.

Atas tuduhan di atas, fakta sesungguhnya yang terbukti di persidangan ini adalah Saksi FADLI IBRAHIM justru menerangkan hal yang menjadi pengetahuannya dan sekaligus juga apa yang pernah disampaikannya kepada Saksi RADEN DWIDJONO PUTROHADI SUTOPO mengenai penafsiran Pasal 93 UU No. 4/2009, dimana terdapat pengecualian atas Pasal 93 ayat (1) UU No. 4/2009, atau pengalihan IUP menjadi diperbolehkan, jika memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 93 ayat (2) dan 93 ayat (3) UU No. 4/2009, yakni jika IUP sudah melewati tahapan eksplorasi tertentu dan peralihannya diberitahukan kepada Bupati/Walikota, Gubernur, atau Menteri sesuai kewenangannya masing-masing. Keterangan yang disampaikan Saksi FADLI IBRAHIM tersebut ternyata juga bersesuaian dengan keterangan Ahli Hukum Pertambangan Prof. Dr. Ir. ABRAR SALENG, S.H., M.H. yang secara tegas juga menerangkan Pengalihan IUP boleh dilakukan jika memenuhi persyaratan yang terdapat dalam Pasal 93 ayat (2) dan 93 ayat (3) UU No. 4/2009. Selain itu, pengecualian yang memperbolehkan pengalihan IUP tersebut pada hakikatnya adalah jalan keluar secara legal dan merupakan amanat konstitusi agar pemanfaatan sumber daya alam tetap dapat dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal tersebut juga dapat dimaknai bersesuaian dengan kebijakan pemerintahan saat ini yang mencabut perizinan yang tidak dimanfaatkan di sektor kehutanan dan tambang untuk dialihkan atau diberikan kepada pihak lain yang dapat mengelolanya.

Pledoi lengkapnya baca di halaman selanjutnya...

Bahwa peralihan IUP-OP PT BKPL kepada PT PCN sebagaimana dimaksud dalam perkara ini ternyata juga berhasil dibuktikan telah memenuhi memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 93 ayat (2) dan 93 ayat (3) UU No. 4/2009, karena IUP-OP PT BKPL jelas sudah memenuhi seluruh tahapan eksplorasi dan terbukti telah adanya pemberitahuan dan permohonan persetujuan terkait rencana peralihan IUP-OP PT BKPL kepada PT PCN, baik yang disampaikan oleh PT BKPL selaku pemilik IUP-OP, maupun oleh PT PCN selaku calon penerima pengalihan IUP-OP tersebut. Dengan demikian, yang sesungguhnya terbukti justru SK Bupati No. 296/2011 tidak melanggar atau sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 93 UU No. 4/2009.

Selain itu, terkait tuduhan adanya ancaman, Saksi RADEN DWIDJONO PUTROHADI SUTOPO dalam keterangannya di persidangan malah secara tegas menyatakan tidak pernah dipaksa, diancam, dan diiming-imingi atau diberi imbalan oleh Terdakwa Mardani H. Maming. Terlebih lagi, pada perkara pidana dimana Saksi RADEN DWIDJONO PUTROHADI SUTOPO didudukkan sebagai Terdakwa, pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 06/Pid.Sus-TPK/2022/PN.Bjm tanggal 22 Juni 2022 dengan Majelis Hakim yang di antaranya terdiri dari Yang Mulia AHMAD GAWI S.H., M.H. dan Yang Mulia ARIF WINARNO, S.H., yang juga menjadi Anggota Majelis dalam perkara aquo, menyatakan bahwa pada pokoknya dalih adanya paksaan dari Terdakwa MARDANI H. MAMING terkait penerbitan IUP-OP PT BKPL kepada PT PCN tidak sesuai fakta hukum alias tidak terbukti. Bahwa isi pertimbangan hukum dalam putusan tingkat pertama yang dijatuhkan terhadap Saksi RADEN DWIDJONO PUTROHADI SUTOPO tersebut kemudian juga diperkuat dan diambil alih dalam Putusan Banding Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Banjarmasin Nomor 8/PID.SUS-TPK/2022/PT BJM tanggal 27 Juli 2022.

Bahwa Jaksa Penuntut Umum juga menuduh Terdakwa Mardani H. Maming telah memanggil dan mengumpulkan Saksi H. MUKHLIS selaku Kabag Hukum Setda Kabupaten Tanah Bumbu dan Alm. GUSTI HIDAYAT selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Tanah Bumbu ke kediaman Terdakwa untuk secara khusus memaraf Draf SK Persetujuan Pelimpahan IUP-OP PT BKPL kepada PT PCN.

Atas tuduhan tersebut di atas, fakta sesungguhnya yang terbukti di persidangan mengenai penandatangan dan pemarafan yang dilakukan di rumah kediaman Terdakwa MARDANI H. MAMING nyatanya tidak hanya dilakukan secara khusus terhadap Draf Keputusan persetujuan pelimpahan IUP-OP PT BKPL kepada PT PCN saja, melainkan juga terhadap ratusan draf keputusan terkait Izin Usaha Pertambangan lainnya, karena desakan dan keterbatasan waktu menjelang proses rekonsiliasi (atau seringkali juga disebut Proses CnC) di masa transisi perizinan pertambangan pada saat itu, serta padatnya kesibukan Terdakwa MARDANI H. MAMING selaku Bupati Tanah Bumbu di jam kerjanya dalam memberikan pelayanan di berbagai bidang pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

Bahwa Jaksa Penuntut Umum selanjutnya juga menuduh adanya rekayasa pencantuman tanggal mundur SK Bupati tentang Persetujuan Pelimpahan IUP-OP PT BKPL kepada PT PCN (SK backdated). Tuduhan SK Backdated itu juga dikaitkan dengan Terdakwa.

Atas tuduhan SK backdated tersebut di atas, Jaksa Penuntut Umum ternyata tidak bisa membuktikan dengan alat bukti yang sah dan meyakinkan. Jaksa Penuntut Umum mendasarkan tuduhan tersebut hanya dengan mengandalkan alat bukti flashdisk yang diserahkan oleh Saksi BUYUNG RAWANDO DANI, dengan merujuk salah satu informasi dalam “file attributes”, yaitu “date modified”, yang dapat dilihat atau merupakan suatu fitur dalam aplikasi “Windows File Explorer”. Informasi semacam itu sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahannya, karena dalam praktiknya mudah sekali untuk diubah dan direkayasa, apalagi informasi dari alat bukti tersebut bukanlah berasal dari kesimpulan yang didapatkan setelah melalui pemeriksaan forensik. Ketiadaan pemeriksaan forensik terhadap flashdisk yang menjadi alat bukti tersebut dapat diketahui karena dalam dokumen yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, baik yang terlampir dalam bundel Berkas Perkara maupun yang secara khusus diajukan di muka persidangan, sama sekali tidak didapati adanya Laporan Hasil Pemeriksaan Barang Bukti Elektronik yang dikeluarkan oleh Laboratorium Barang Bukti Elektronik (LBBE) Deputi Bidang Informasi dan Data KPK.

Selain itu, Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini ternyata juga tidak pernah melakukan penyitaan atas buku catatan pengeluaran nomor dan tanggal atas seluruh Surat Keputusan Bupati Tanah Bumbu yang berada dan disimpan di Bagian Hukum Kabupaten Tanah Bumbu, yang semestinya bisa menunjukkan benar atau tidaknya tuduhan pemberian tanggal mundur atas SK Bupati No. 296/2011. Selanjutnya, yang lebih mengherankan lagi, bukti SK backdated yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum ternyata hanya berupa copy atas scan yang tidak utuh, berbeda format footer dan jenis huruf antara halaman satu dengan lainnya, sehingga validitas dan keabsahannya sangat diragukan, bahkan patut diduga telah terjadi rekayasa alat bukti (tampering with evidence), dan oleh karena itu sudah sepatutnya ditolak atau dikesampingkan sebagai alat bukti yang sah.

Bahwa seandainya pun benar terdapat pencantuman tanggal mundur pada SK Bupati No. 296/2011, dalam persidangan perkara ini sama sekali tidak ada satu alat bukti pun, termasuk keterangan saksi, yang menunjukkan atau mengatakan bahwa ada perintah atau permintaan Terdakwa MARDANI H. MAMING untuk mencantumkan tanggal mundur pada SK Bupati No. 296/2011.

Bahwa Jaksa Penuntut Umum kemudian menuduh Terdakwa MARDANI H. MAMING menerima pemberian uang dan barang sebagai hadiah atas penerbitan SK Bupati No. 296/2011 tersebut dan/atau karena mengingat jabatannya sebagai Bupati Tanah Bumbu. Penerimaan sejumlah uang dan barang itu pun dinarasikan sebagai suatu perbuatan yang sengaja disamarkan melalui PT ANGSANA TERMINAL UTAMA (“PT ATU”), yang dinyatakan oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam dakwaannya sebagai suatu perusahaan yang telah didirikan Alm. HENRY SOETIO, namun pemegang saham dan pengurusnya adalah orang yang ditunjuk Terdakwa MARDANI H. MAMING, yaitu Saksi ROIS SUNANDAR, Saksi M. BAHRUDDIN, Saksi M. ALIANSYAH dan Saksi WAWAN SURYA, lalu setelah PCN beroperasi, melalui sejumlah perjanjian, penerimaan tersebut tersebut dialihkan melalui PT TRANS SURYA PERKASA (“PT TSP”), dan selanjutnya melalui PT PERMATA ABADI RAYA (“PT PAR”). Jaksa Penuntut Umum pun kembali menuduh PT TSP dan PT PAR tidak memiliki kontribusi atau prestasi apapun kepada PT ATU maupun kegiatan usaha pelabuhan PT ATU.

Bahwa atas tuduhan Jaksa Penuntut Umum tersebut di atas, fakta sesungguhnya yang terungkap dan terbukti di persidangan justru menunjukkan Mardani H. Maming sama sekali tidak pernah menerima pemberian uang sejumlah Rp.118.754.731.752 (seratus enam belas miliar tujuh ratus lima puluh empat juta tujuh ratus tiga puluh satu ribu tujuh ratus lima puluh dua rupiah), baik secara langsung maupun tidak langsung, sebagai hadiah atas penerbitan SK Bupati No. 296/2011 tersebut dan/atau karena mengingat jabatannya sebagai Bupati Tanah Bumbu.

Pledoi lengkapnya baca di halaman selanjutnya...

Tuduhan pemberian uang tunai sebesar Rp.2.000.000.0000 (dua milyar Rupiah) oleh Saksi ROBERT BUDIMAN kepada Saksi ROIS SUNANDAR dan Saksi M. ALIANSYAH tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena hanya didasarkan semata-mata pada keterangan Saksi ROBERT BUDIMAN, yang dengan demikian kesaksiannya berdiri sendiri, dengan tanpa didukung alat bukti lainnya yang sah dan meyakinkan, sehingga patut dinyatakan ditolak atau dikesampingkan.

Selain itu, Penerimaan uang sebesar Rp.116.754.731.752 (seratus enam belas miliar tujuh ratus lima puluh empat juta tujuh ratus tiga puluh satu ribu tujuh ratus lima puluh dua rupiah) kepada PT TSP dan PT PAR, yang di dalamnya termasuk dan terhitung nilai 3 (tiga) buah jam tangan sebesar Rp.8.150.000.000 (delapan milyar seratus lima puluh juta Rupiah), juga terbukti BUKAN HADIAH, melainkan pembayaran yang menjadi hak PT TSP dan PT PAR berdasarkan hubungan keperdataan murni yang sah, yang mana perhitungannya didasarkan dari keuntungan bersih kegiatan usaha pelabuhan PT ATU (yang setelah tanggal 12 April 2016 berubah nama menjadi pelabuhan PT PCN), yang pengguna jasanya bukan hanya PT PCN saja, melainkan juga banyak perusahaan lainnya. Selain itu, baik perhitungan untuk dividen maupun perhitungan bagi hasil, tidak pernah didasarkan dari nilai penjualan hasil tambang PT PCN.

Bahwa tuduhan Jaksa Penuntut Umum dilakukan dengan cara mengaburkan, mengesampingkan, atau bahkan menghilangkan jalinan fakta yang secara historis menerangkan keterkaitan PT TSP dan PT PAR yang juga memiliki kontribusi atas kepemilikan izin pelabuhan dan perolehan lahan yang dibeli dengan uang Saksi ROIS SUNANDAR yang merupakan pendiri PT. ATU dan yang notabene juga merupakan pengendali yang sebenarnya dari PT TSP dan PT PAR.

Bahwa 3 (tiga) buah jam tangan merek Richard Mille (sebagaimana dimaksud dalam Surat Dakwaan dan Surat Tuntutan) juga bukan merupakan hadiah dari Alm. HENRY SOETIO dalam bentuk barang. Dalam hal ini, terbukti bahwa Terdakwa MARDANI H. MAMING membeli atau memesan sendiri kepada Saksi ZAINUDDIN, dan kemudian meminta agar dibayarkan oleh Saksi ROIS SUNANDAR. Bahwa kemudian, untuk membayar jam tangan dimaksud, Saksi ROIS SUNANDAR sendiri yang menghubungi Alm. HENRY SOETIO (tanpa sepengetahuan Terdakwa MARDANI H. MAMING) untuk menyampaikan bahwa sebagian kewajiban pembayaran kepada PT PAR agar langsung dibayarkan kepada Saksi ZAINUDIN untuk membayar harga jam tangan. Setelah itu, Alm. HENRY SOETIO menghubungi Saksi ZAINUDIN menyampaikan dirinya yang akan membayar jam tangan dan menanyakan rekening untuk mentransfer pembayaran, yang akhirnya dilakukan pembayaran transfer rekening ke rekening milik Saksi DEDY CAHYADI.

Bahwa selanjutnya, 3 (tiga) jam yang harganya senilai total Rp.8.150.000.000 (delapan milyar seratus lima puluh juta Rupiah) telah diperhitungkan dan dicatat sebagai penerimaan PT PAR pada tanggal 16 Juni 2017, 07 Mei 2018 dan 06 Juli 2018 dan merupakan bagian dari total penerimaan PT TSP dan PT PAR sebesar Rp.116.754.731.752 (seratus enam belas miliar tujuh ratus lima puluh empat juta tujuh ratus tiga puluh satu ribu tujuh ratus lima puluh dua rupiah) yang notabene terbukti BUKAN HADIAH sebagaimana dimaksud dalam uraian sebelumnya.

Bahwa dari penerimaan PT TSP dan PT PAR dengan total sebesar Rp.116.754.731.752 (seratus enam belas miliar tujuh ratus lima puluh empat juta tujuh ratus tiga puluh satu ribu tujuh ratus lima puluh dua rupiah) tersebut, sebagian di antaranya sebesar Rp.32.042.139.550 (tiga puluh dua milyar empat puluh dua juta seratus tiga puluh sembilan ribu lima ratus lima puluh ribu Rupiah), dibayarkan dalam periode antara 28 Agustus 2015 s.d. 12 Februari 2016 dan dalam periode setelah 3 Juli 2018 ketika Terdakwa MARDANI H. MAMING tidak menjadi seorang Penyelenggara Negara dengan jabatan Bupati Tanah Bumbu. Dengan demikian, pembayaran yang diterima PT TSP dan PT PAR dimaksud jelas-jelas terbukti tidak ada BUKAN ditujukan sebagai pemberian kepada Terdakwa MARDANI H. MAMING dengan mengingat jabatannya sebagai Bupati Tanah Bumbu atau jabatan Penyelenggara Negara lainnya.

Bahwa atas tuduhan-tuduhan tersebut, Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya menganggap Terdakwa MARDANI H. MAMING melakukan perbuatan pidana yang diatur dan diancam berdasarkan Pasal 12 huruf b jo. Pasal 18 atau Pasal 11 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 (“UU Tipikor”), serta dalam Surat Tuntutannya memilih untuk membuktikan dan berkesimpulan Terdakwa MARDANI H. MAMING melakukan perbuatan pidana yang diatur dan diancam berdasarkan Pasal 12 huruf b jo. Pasal 18 UU Tipikor sebagaimana sebelumnya didakwakan dalam Dakwaan Pertama.

Bahwa dari uraian peristiwa serta pasal-pasal yang dikonstruksikan dan tertuang dalam Surat Dakwaan diketahui bahwa Terdakwa MARDANI H. MAMING dituduh melakukan perbuatan pidana atau delik suap. Bahwa delik suap sebagaimana didakwakan tersebut hakikatnya adalah Delik Berpasangan, dimana terdapat delik pemberi suap dan delik penerima suap. Terhadap satu pihak, untuk dapat disangkakan telah melakukan satu bentuk delik, maka terhadap pihak lain haruslah disangakakan pula delik yang menjadi pasangannya. Pihak pemberi akan menjadi saksi utama untuk membuktikan adanya delik penerimaan suap bagi pihak penerima, dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan dalam praktik yang sudah berjalan sekian lama, khususnya praktik penanganan perkara korupsi oleh KPK, lazimnya pihak pemberi diajukan ke muka persidangan terlebih dahulu, dan setelahnya giliran pihak penerima yang akan disidangkan.

Bahwa dalam perkara aquo, Alm. HENRY SOETIO telah didudukkan dan diberikan “peran” oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai orang yang memberikan “janji” atau “hadiah” dimaksud, namun apa hendak dikata, ternyata Alm. HENRY SOETIO tidak bisa diperiksa sama sekali, baik pada tahap penyelidikan maupun pada tahap pro justisia atau penyidikan, karena yang bersangkutan telah meninggal dunia pada tanggal 19 Juli 2021, padahal keterangannya sebagai saksi yang dianggap selaku pemberi sangat penting untuk membuktikan ada atau tidaknya penerimaan hadiah atau janji kepada Terdakwa MARDANI H. MAMING. Bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan ini dapat diketahui melakukan upaya pembuktian melalui mekanisme yang bersifat circumstantial evidence, yakni membuktikan adanya peristiwa “kunci” melalui rangkaian peristiwa yang terjadi sesudahnya. Namun demikian, rangkaian peristiwa yang terjadi sesudahnya pun ternyata disampaikan secara “tidak utuh” dan dilepaskan dari konteks yang melatarbelakanginya, sehingga kuat kesan adanya “pemaksaan” agar peristiwa-peristiwa itu terlihat seolah-olah memiliki hubungan langsung dengan adanya peristiwa “kunci” yaitu adanya pemberian hadiah atau janji kepada Terdakwa MARDANI H. MAMING.

Pledoi lengkapnya baca di halaman selanjutnya...

Majelis Hakim Yang Mulia,

Penuntut Umum serta Pengunjung Sidang yang Kami Hormati,

“Justice, Sir, is the great interest of man on earth. It is the ligament which holds civilized beings and civilized nations together.”

     (Daniel Webster)

Keadilan merupakan kepentingan besar bagi umat manusia di dunia. Keadilan adalah ikatan yang menyatukan seluruh makhluk dan bangsa yang beradab. Tanpa keadilan, keresahan tak akan terbendung dan pertikaian tak lagi terhindarkan. Hukum memastikan keadilan ditegakkan untuk semua, guna merawat jalinan kebersamaan kita, agar terwujud kedamaian, ketertiban, serta kebaikan hidup bersama.

Namun demikian, keadilan seringkali dimaknai secara artifisial, tidak secara esensial. Jaksa Penuntut Umum, dalam Bab Pendahuluan di Surat Tuntutannya, pun turut terperosok mereduksi makna keadilan, dengan menempatkan keadilan sebagai sekedar hiasan wajah hukum Indonesia. Padahal, keadilan harus menjadi ruh, nafas, gerak langkah, dan sekaligus tujuan akhir hukum dan penegakan hukum.

Pemahaman Jaksa Penuntut Umum terhadap keadilan itulah yang mungkin secara langsung atau tidak langsung telah mendasari dan terwujud dalam keputusan dan tindakannya yang berpotensi merugikan Terdakwa Mardani H. Maming, di antaranya: 1) Jaksa Penuntut Umum tidak menghadirkan Saksi NOVRI OMPOSUNGGU di persidangan, padahal keterangannya dapat meluruskan mengenai asal usul dan kepemilikan lahan PT ATU; 2) Jaksa Penuntut Umum menganggap Terdakwa berbelit-belit dalam memberi keterangan di depan persidangan dan menjadikan hal tersebut sebagai dasar yang memberatkan Terdakwa. Padahal, faktanya Terdakwa selalu kooperatif dalam persidangan ini dan bahkan sebelumnhya telah menyerahkan secara sukarela seluruh data kepada Penyidik KPK, yang pada akhirnya digunakan sebagai dasar oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun dakwaannya; dan 3) Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Tuntutan, tepatnya bagian Pendahuluan, halaman 3 paragraf ke-2, tiba-tiba saja menyitir suatu konsep kesepakatan diam-diam (sukzessive mittaterscraft), dengan tanpa sama sekali menguraikan atau menjelaskan pemahaman konsep tersebut. Hal semacam ini tentu dapat dipandang sebagai suatu tindakan yang tidak bertanggungjawab dan merupakan bentuk ketidakadilan atas diri Terdakwa, karena konsep tersebut secara langsung atau tidak langsung juga telah dijadikan sebagai dasar penuntutan pidana atas diri terdakwa.

Selain itu, mengingat persidangan perkara ini telah menjadi sorotan media dan terus disimak oleh khalayak yang banyak, khususnya generasi muda yang meneladani sosok dan prestasi Terdakwa Mardani H. Maming, kami tentu tidak mengharapkan pesan yang muncul dari perkara ini malah mendemoralisasi atau membonsai tunas-tunas muda negarawan dan wirausahawan. Misi dan tugas mulia pemberantasan korupsi juga mesti dilakukan secara berkeadilan, serta tidak boleh salah sasaran.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Penuntut Umum serta Pengunjung Sidang yang Kami Hormati,

Keadilan adalah cerminan hati nurani. Dengan demikian, keadilan hanya dapat dihadirkan oleh pengadilan yang memiliki hati nurani. Pengadilan berhati nurani menerapkan kebijaksanaan dalam memaknai seperangkat aturan yang kaku, dan seringkali multi-interpretatif. Pengadilan berhati nurani senantiasa berpihak pada kebenaran dan menjadi pelindung bagi pihak yang lemah atau dilemahkan. Pengadilan berhati nurani tidak akan tunduk pada konspirasi jahat dan kuasa gelap yang zalim.

Memperhatikan jalannya persidangan perkara ini, kami sungguh meyakini objektvitas Majelis Hakim Yang Mulia dalam menilai fakta-fakta dan alat bukti yang sah sebagai dasar pertimbangan hukum. Kami berpendapat keadilan prosedural telah hadir dalam sidang pengadilan perkara ini. Namun demikian, kami masih menyandarkan harapan, seraya mengetuk pintu nurani Majelis Hakim Yang Mulia, agar keadilan substansif terlahir dari putusan perkara ini.

Demikian pendahuluan ini kami sampaikan, dan untuk lebih detilnya akan kami uraikan di bab-bab berikutnya dari Nota Pembelaan ini. Posisi dan sudut pandang kami sudah barang tentu berbeda dengan posisi dan sudut pandang Jaksa Penuntut Umum. Namun demikian, yang perlu kami garisbawahi dengan berdasarkan fakta dan bukti yang terungkap di persidangan perkara ini, bahwa dalam perkara ini tidak ada sepeserpun kerugian negara, tidak ada suap atau penerimaan hadiah kepada Terdakwa MARDANI H. MAMING karena telah menerbitkan SK Bupati No. 296/2011 maupun karena jabatannya sebagai Bupati Tanah Bumbu.

Semoga Pendahuluan atau mukadimah ini dapat memberikan gambaran awal bagi Yang Mulia Majelis Hakim untuk dapat mengikuti, mencermati, serta mempertimbangkan seluruh uraian Nota Pembelaan ini secara lengkap, guna menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.