Pembatalan PLTU Batu Bara, IESR: Cara Hemat Biaya Pangkas Emisi Global

IESR merilis sebuah analisis mengenai pengurangan pembangunan PLTU batubara, didukung oleh The Rockefeller Foundation.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menjelaskan mencegah pembangunan 9 pembangkit listrik tenaga batu bara yang direncanakan di Indonesiaakan membendung hampir 300 juta ton emisi dengan harga kurang dari 80 sen per ton CO2. Foto: IESR

apahabar.com, JAKARTA - Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank di bidang energi dan lingkungan yang berbasis di Jakarta, merilis sebuah analisis mengenai pengurangan pembangunan PLTU batu bara.

Laporan IESR bertajuk Delivering Indonesia’s Power Sector Transition didukung The Rockefeller Foundation menemukan bahwa sembilan PLTU batu bara di Indonesia dapat dibatalkan dengan dampak yang minimal terhadap stabilitas dan keterjangkauan pasokan dan jaringan listrik, serta dapat menghindari sekitar 295 juta ton emisi CO2.

Studi itu merekomendasikan pengurangan pembangunan PLTU batu bara melalui pembatalan pembangkit listrik yang telah direncanakan, yang telah disepakati atau kesepakatan awal sebagai salah satu pendekatan yang paling hemat biaya dan berdampak positif terhadap lingkungan untuk mempercepat transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.

"Kami mengembangkan pendekatan yang baru untuk melakukan analisis ini. Kami melihat satu demi satu dari setiap PLTU batu bara yang direncanakan di Indonesia," ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam keterangannya, dikutip Sabtu (3/6).

Baca Juga: Subsidi Motor Listrik Untungkan Menteri Jokowi, IESR: Tudingan Itu Tidak Tepat

Berdasarkan sistem penilaian multi-kriteria, IESR mengidentifikasi pembangkit listrik yang dapat dibatalkan, dan kemudian menilai implikasi hukum, keuangan, ketahanan sistem, keamanan energi, dan emisi karbon dari intervensi ini.

Secara mendetail, analisis yang dilakukan IESR menggambarkan bahwa dalam banyak kasus, terdapat pilihan yang lebih baik yang tersedia bagi para pembuat kebijakan, perusahaan utilitas, regulator, dan perencana sistem yang dapat mempercepat transisi dari bahan bakar fosil.

"Analisis ini juga dapat direplikasi di negara-negara lain yang memiliki jaringan pipa batu bara yang besar."

Jika dibangun, kesembilan PLTU batu bara, yang sebagian besar masih dalam tahap pembiayaan, kata Fabby, akan menyumbang hampir 3.000 megawatt (MW) kapasitas batu bara, atau sekitar 20% dari total penambahan yang direncanakan di Indonesia.

Baca Juga: Pengelolaan Dana Transisi Energi, Sekretariat JETP Harus Terbuka

Analisis sistem tenaga listrik dilakukan dengan menggunakan tujuh model terpisah, yang mewakili tiap bagian dari jaringan listrik yang tersedia di Indonesia, untuk memeriksa keandalan sistem ketenagalistrikan dan keekonomian apabila pembatalan dilakukan.

Menurut Fabby, analisis IESR menemukan data bahwa pembatalan sembilan pembangkit listrik akan mencegah 295 juta ton emisi CO2.

"Dengan USD 238 juta yang telah diinvestasikan hingga saat ini untuk sembilan pembangkit listrik tersebut, diperkirakan harga pengurangan karbon akan kurang dari 80 sen per ton emisi CO2 yang dapat dihindari," terangnya.

Hal lainnya, tidak mengorbankan stabilitas sistem, dan sebagian besar daya akan digantikan oleh pembangkit listrik yang sudah ada yang beroperasi dengan kapasitas yang lebih besar.

Baca Juga: PLN Bangun Pembangkit 10,6 GW hingga 2025, IESR: PLTS Harus Diperbanyak

"Namun, skenario ini kemungkinan akan berpotensi munculnya biaya tambahan dari operasi sistem tenaga listrik sebesar USD 2,5 miliar per tahun hingga tahun 2050," kata Fabby.

Sebagai catatan, analisis IESR tidak memasukkan penambahan energi terbarukan ke dalam bauran energi, yang akan membantu mengurangi biaya pembangkitan rata-rata lebih lanjut.

Berikutnya, ungkap Fabby, perlu memasukkan risiko hukum yang terkait dengan pembatalan sepihak dari setiap proyek Indonesia dan PLN sebagai perusahaan listrik Indonesia, yang telah diidentifikasi dalam studi ini.

Produsen Listrik Swasta (Independent Power Producer, IPP) selama ini menikmati kontrak pembelian listrik jangka panjang dengan PLN dengan persyaratan yang menguntungkan. Untuk itu, Fabby mengusulkan negosiasi dalam setiap kasus untuk memastikan bahwa pembatalan tidak menyalahi perjanjian yang sudah ada.

Baca Juga: Akselerasi Transisi Energi, IESR: Bangun Kolaborasi Antar CSO di ASEAN

"Dalam beberapa kasus, menawarkan pengembang proyek opsi untuk
mengganti tenaga listrik dengan energi terbarukan menjadi opsi yang dapat dipertimbangkan," ucapnya.

Selain itu, tidak akan cukup untuk memenuhi target Indonesia’s Just Energy Transition Partnership (JETP). Melalui JETP, Indonesia menargetkan untuk mencapai puncak emisi dari sektor energi sebesar 295 juta metrik ton CO2 per tahun pada tahun 2030 dan mencapai net zero emission di sektor energi pada tahun 2050.

"Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia dan International Partnership Group (IPG) menandatangani kesepakatan JETP pada tahun 2022," ujarnya.

Lalu pada Maret 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menandatangani Nota Kesepahaman dengan Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP) yang didanai oleh The Rockefeller Foundation, IKEA Foundation, dan Bezos Earth Fund.

Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi, IESR: Regulasi Setara Antara EBT dan Energi Fosil

Sebagai informasi, lebih dari dua pertiga listrik Indonesia saat ini berasal dari pembakaran batu bara, dan dengan prediksi PLN akan adanya tambahan kapasitas sebesar 13.822 MW PLTU batu bara pada tahun 2030. Indonesia menjadi negara dengan perencanaan pembangunan PLTU batu bara terbesar ketiga di dunia, setelah Cina dan India.

Senada, Managing Director for Power and Climate Rockefeller Foundation Joseph Curtin mengungkapkan, terdapat 950 PLTU batubara yang direncanakan atau sedang dalam tahap pembangunan di seluruh dunia.

"Yang jika dibangun, diprediksi akan menghasilkan emisi sekitar 78 miliar ton CO2 ke atmosfer selama siklus hidupnya," ungkapnya.