Kalsel

OTT KPK di Kalsel Jangan Hanya Berhenti di Maliki Cs

apahabar.com, AMUNTAI – Penangkapan Maliki, Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) menambah…

Maliki, Plt Kadis PU Kabupaten Hulu Sungai Utara mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (16/9) malam. Fee proyek diyakini adalah modus lama korupsi pengadaan barang jasa. Foto: Antara

apahabar.com, AMUNTAI – Penangkapan Maliki, Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) menambah panjang daftar pejabat di Kalimantan Selatan yang terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK).

Sebelumnya, sederet pejabat di Kalimantan Selatan juga tersandung operasi senyap lembaga antirasuah tersebut. Sebut saja, Adriansyah Eks Bupati Tanah Laut, Iwan Rusmali, Eks Ketua DPRD Banjarmasin, Eks Direktur PDAM Bandarmasih, Muslih, dan Eks Bupati Hulu Sungai Tengah, Abdul Latif.

Direktur Borneo Law Firm, Muhammad Pazri melihat OTT KPK kali ini bisa menjadi peringatan keras bagi pejabat publik, susunan organisasi tata kerja (SOTK) di Pemprov Kalsel sampai Pemkot atau Pemkab.

“Agar tidak bermain-main proyek korupsi, rangkaian tangkap tangan ini adalah kinerja paling ampuh dalam penindakan korupsi khususnya di Kalimantan Selatan,” ujarnya dihubungi apahabar.com, Jumat (17/9).

Banyaknya OTT yang dilakukan KPK sebelumnya dan baru baru tadi terhadap dua kepala daerah di Jatim, yaitu bupati Nganjuk, dan bupati Probolinggo juga belum bisa merefleksi pejabat publik khususnya di Kabupaten HSU, Kalsel.

“Mereka yang kena OTT masih belum sampai tahap aksi untuk bisa memuliakan amanat rakyat dan menjaga kehormatan etika, moral dan kedudukannya. Memang alasan membuat pejabat publik masih mudah tergoda menggunakan jabatannya untuk memperkaya materi,” jelasnya.

Proses pengadaan barang dan jasa merupakan sektor terbesar yang menjadi lahan basah tindak pidana korupsi. Data KPK, hampir 90 persen kasus yang ditangani aparat penegak hukum berasal dari sektor ini.

“Fee proyek adalah modus lama korupsi pengadaan barang jasa, tapi namanya korupsi ya harus dipertanggungjawabkan, saya berharap diusut sampai tuntas dan dilakukan pengembangan pihak-pihak terkait lainnya agar publik puas,” ujar magister Ilmu Hukum, Universitas Lambung Mangkurat ini.

Maksud lain perkataan Pazri, KPK jangan hanya fokus mengungkap perkara-perkara kecil saja. KPK harus memiliki skala prioritas. Semisal kerugian negara berkisar di bawah Rp1 miliar, cukuplah menjadi tugas kejaksaan dan kepolisian.

Publik Kalsel, menurut Pazri, tentu saja ingin KPK juga mengungkap dugaan kasus-kasus yang melibatkan ‘pemain besar’ dengan kerugian negara yang lebih mendalam.

“Maksudnya kita dukung juga supaya perkara lain yang besar-besar diproses agar ada buktinya, karena setiap pengadaan barang dan jasa yang kecil saja ada komitmen fee-nya bagi pejabat apa lagi yang besar-besar, kasihan rakyat banyak saja dugaan proyek di markup, tidak sesuai spesifikasinya,” ujarnya.

Bukan proyek pengadaan barang dan jasa, menurut Pazri, sektor terawan korupsi di Kalsel justru ada di sumber daya alam.

“Kebijakan izin-izin usaha pertambangan, dana reklamasi tambang, lingkungan yang rusak, dugaan pemanfaatan hutan kayu pada hutan tanaman, dugaan alih fungsi lahan sawit, dugaan tutupan dan lahan sawit ke hutan tanaman industri (HTI), hak penguasaan hutan (HPH), izin usaha perkebunan, hak guna usaha (HGU) serta rekomendasi tukar menukar kawasan hutan, hal-hal tersebut juga yang menjadi sebab dan akibat membuat kita Kalsel terkena bencana banjir besar di awal tahun 2021,” ujarnya.

Royalnya Marhaini, Penyuap Plt Kadis PU HSU yang Terjaring OTT KPK di Amuntai

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan proses pengadaan barang dan jasa menjadi titik paling rawan korupsi.

“Sebagaimana sudah dipetakan KPK di daerah itu sebagian besar korupsi menyangkut pengadaan barang dan jasa. Mungkin hampir 90 persen korupsi yang ditangani baik oleh KPK, kejaksaan atau kepolisian di daerah itu menyangkut pengadaan barang dan jasa,” kata Marwata saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis malam (16/9).

Alex menyampaikan hal tersebut usai mengumumkan tiga tersangka kasus dugaan suap terkait dengan pengadaan barang dan jasa di Kabupaten HSU pada tahun anggaran 2021-2022.

Lewat OTT, KPK menangkap Maliki (MK), Marhaini (MRH), dan Fachriadi (FH). Ketiganya terindikasi melakukan persengkongkolan tender pada sejumlah proyek irigasi.

“Ini masih menjadi titik rawan sekalipun proses lelangnya itu dilakukan lewat ‘e-Procurement’ ini juga tidak mengurangi kerawanan dalam proses pengadaan barang dan jasa karena persekongkolan,” ucap dia.

Persekongkolan umumnya terjadi antara penyedia barang dan jasa dengan panitia lelang atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) maupun Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

Seperti pada kasus Maliki Cs. Maliki yang berperan sebagai kepala Dinas Pekerjaan Umum, Kabupaten HSU memberi syarat fee 15 persen kepada MRH dan FH untuk menjadi pemenang proyek sebelum lelang dimulai.

“Atau juga para penyedia barang itu sendiri yang melakukan persekongkolan secara horizontal, mereka mengatur siapa nanti yang akan memenangkan proyek dan baru dimasukkan di dalam dokumen-dokumen di dalam proses e-Procurement,” tuturnya.

Menurut Marwata, secanggih apapun sistem jika ada persekongkolan tersebut pasti akan “jebol” juga.

“Jadi, e-Procurement itu memang hanya alat tetapi ketika mereka melakukannya dengan bersekongkol secanggih apapun peralatan atau sistem itu pasti akan ‘jebol’ juga. Ini yang kami selalu wanti-wanti ke panitia lelang atau ULP (Unit Layanan Pengadaan) agar lebih jeli dalam menangani perkara pengadaan barang dan jasa dan ini masih banyak kami temui di daerah-daerah,” pungkas komisioner KPK ini.