Minim Partisipasi Publik, CISDI Sebut RUU Kesehatan Belum Ideal

Center of Indonesia’s Strategic Development Initiative (Cisdi) nilai RUU Kesehatan masih belum cover banyak hal substansial.

Founder sekaligus CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih. (Foto: Dok. Diah Satyani Saminarsih)

apahabar.com, JAKARTA - Center of Indonesia’s Strategic Development Initiative (Cisdi) menilai RUU Kesehatan masih belum menyentuh banyak hal substansial mengenai persoalan kesehatan selama ini. Ini dikarenakan selama ini dalam pembahasan RUU Kesehatan minim melibatkan masyarakat sipil.

"Keterlibatan masyarakat sipil pada pembentukan naskah RUU dan keterbatasan akses pada naskah awal juga jadi sorotan," kata Founder sekaligus CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih dalam konferensi pers virtual, Senin (20/3).

Baca Juga: Pasang Surut Kesehatan Indonesia dalam Hari Perawat Nasional

Diah merinci persoalan substansial yang belum tersentuh dalam RUU Kesehatan di antaranya seperti 1) Integrasi Layanan Primer, 2) Kader Kesehatan, 3) Masyarakat Rentan, 4) Tata Kelola, 5) Pengendalian Penyakit Tidak Menular, 6) Zat Adiktif, 7) Aborsi Aman, 8) Surveilans Berbasis Masyarakat, dan 9) Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Kesehatan.

Perlindungan Masyarakat Rentan

Karena itu, Diah menegaskan pembentukan RUU Kesehatan perlu memperhatikan kebutuhan substansi masyarakat. Salah satu hal yang masih luput dalam perjalanan RUU Kesehatan ini yaitu definisi masyarakat rentan. Sebab, selama ini belum ada pembahasan mengenai perlindungan masyarakat rentan.

Cisdi melihat jika beberapa kelompok rentan seperti individu yang terasing dalam sosial berdasarkan agama/kepercayaan, disabilitas, gangguan jiwa, etnis/suku, gender/seksualitas, status HIV-AIDS, serta status kewarganegaraan, juga perlu masuk dalam perhatian.

"Daftar kelompok masyarakat rentan ini juga perlu masuk dalam RUU Kesehatan,” ujar Diah.

Baca Juga: Transformasi Tata Kelola Kesehatan Butuh Kebijakan Strategis

Ia menegaskan perlu adanya pengawalan terhadap pengesahan RUU Kesehatan, termasuk dalam kemungkinan terjadi fraud (penipuan/korupsi) yang bisa saja terjadi dalam pelayanan kesehatan.

“Karena kemungkinan fraud bisa jadi catatan. Itu yang harus diubah itu yang harus dijaga,” tuturnya. 

Diah menilai potensi ini bisa terjadi apalagi dalam kondisi masyarakat yang majemuk seperti Indonesia. Karena itu diperlukan penggantian dan akses finansial yang cukup. Termasuk di antaranya adanya interaksi bagi pemberi akses kesehatan yakni pemerintah.

“Ini mengapa tidak bisa diasumsikan fraud tidak bisa terjadi. Independensi itu yang harus dijaga,” tutupnya.