Mengulik Sejarah 'Flexing', Aksi Pamer Harta yang Berujung Penjara

Rafael, Eko, dan Sudarman punya satu kesamaan: sama-sama ‘dijatuhkan’ kebiasaan flexing. Akibat kasus itu, istilah ini kian marak diperbincangkan

Ilustrasi Flexing. Foto: Kumparan.

apahabar.com, JAKARTA –  Mantan Pejabat DJP Kemenkeu, Rafael Alun Trisambodo, resmi mengenakan rompi oranye. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menahannya pada Senin (3/4) karena terbukti menerima gratifikasi.

Ketidakwajaran harta dan kekayaan Rafael pertama kali terendus akibat kasus penganiayaan yang dilakukan anaknya, Mario, terhadap David. Lelaki berusia 20 tahun itu kedapatan sering flexing alias pamer mengendarai kendaraan mewah di media sosial.

Nasib serupa juga menimpa mantan Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto. Pejabat Kemenkeu ini juga lengser dari posisinya akibat kedapatan pamer berfoto dengan kendaraan mewah, serta naik helikopter pribadi.

Begitu pun dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional Jakarta Timur, Sudarman Harjasaputra, yang dikabarkan tengah diselidiki oleh KPK. Lagi-lagi, sorotan ini dia dapatkan lantaran flexing gaya hidup mewah di media sosial.

Ketiga pejabat tersebut punya satu kesamaan: sama-sama ‘dijatuhkan’ oleh kebiasaan flexing. Akibat kasus itu pula, istilah ini kian marak diperbincangkan di jagat maya. Lantas, sebenarnya dari mana sebutan ini bermula?

Bahasa Gaul dalam Budaya Kulit Hitam

Rupanya, istilah flexing bermula dari bahasa gaul masyarakat kulit hitam di era 1990-an. Adalah Ice Cube, rapper yang disinyalir mempopulerkan istilah tersebut melalui lagunya berjudul It Was a Good Day pada 1992.

Saw the police and they rolled right past me. No flexin’, didn’t even look in a n*ggas’s direction as I ran the intersection.” Begitulah sepenggal lirik yang memuat kata flexing, di mana merujuk pada makna ‘menunjukkan keberanian’ atau ‘pamer.’

Selang dua dekade berikutnya, atau pada 2014 istilah flexing kembali mencuat berkat lagu No Flex Zone karya Rae Sremmurd. Kata flex dari judul lagu tersebut diartikan sebagai area untuk orang-orang yang santai.

Istilah flexing dalam lagu Rae Sremmurd boleh dibilang punya makna lebih mendalam. Dalam liriknya, dia memaknai flexing sebagai kebiasaan bersikap seperti diri sendiri, dan tidak pamer atau pura-pura menjadi pribadi yang berbeda.

Sudah Ada sejak 1899

Meski baru terkenal pada abad ke-20, istilah flexing ternyata sudah eksis sejak 1899 dengan sebutan conspicuous consumption. Ini dikemukakan ahli ekonomi asal Amerika Serikat bernama Thorstein Veblen melalui buku The Theory of the Leisure Class.

Dalam teorinya, Veblen mengungkapkan ada 'konsumsi yang mencolok' untuk menggambarkan bagaimana benda atau barang dipamerkan guna menunjukkan status dan posisi sosial. Mereka dengan strata ekonomi “sultan” sengaja membeli barang dan jasa-jasa yang mewah. 

Veblen pun berpendapat bahwa ada hubungan langsung antara properti dan status seseorang dalam masyarakat. Kekayaan dan kemewahan seseorang mewakili kehormatan dan martabat dalam tatanan sosial.

Itulah yang membuat kepemilikan sebuah produk dimaknai melambangkan pencapaian serta kebanggaan individu. Pada masa tersebut, Veblen menyebut sendok perak dan korset adalah simbol status sosial tertinggi di masyarakat.

Dengan kata lain, conspicuous consumption mewakili persepsi seseorang dan memengaruhi perilaku konsumsinya. Segelintir orang akan memilih produk yang meningkatkan statusnya di masyarakat ketimbang memenuhi kebutuhan dasarnya.