Geliat UMKM

Mengenal Upanat, Sandal Khusus dari Daun Pandan untuk Naik ke Candi Borobudur

Berkunjung ke Candi Borobudur wajib menjalankan sejumlah protokol peraturan. Salah satu peraturan yang wajib ditaati yakni menggunakan sandal upanat ketika peng

Basiyo pioner upanat untuk naik ke Candi Borobudur (Foto: apahabar.com/Arimbihp)

apahabar.com, MAGELANG - Berkunjung ke Candi Borobudur wajib menjalankan sejumlah protokol peraturan. Salah satu peraturan yang wajib ditaati yakni menggunakan sandal upanat ketika pengunjung naik ke Candi Borobudur.

Sebagai informasi, "upanat" diambil dari bahasa India dan Jawa Kuno dari kata upanah yang memiliki arti "alas kaki".

Seorang pioner upanat dari Desa Ngadiharjo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Basiyo (58) mengungkapkan dirinya sudah memproduksi sandal berbahan daun pandan duri sejak 2003.

Baca Juga: Kreatif! Sambut Pemilu 2024, Perajin Ubin Asal Magelang Buat Motif Logo Parpol

Sebelum membuat upanat berbahan daun pandan, ayah tiga anak tersebut pernah memproduksi sandal berbahan kain batik yang juga digunakan untuk naik ke Candi Borobudur.

Namun, kala itu, pihak pengelola Candi Borobudur belum mewajibkan semua pengunjung yang naik menggunakan alas kaki khusus, sehingga penjualannya masih landai dan produksinya belum banyak.

"Sampai kemudian ditawari dari Taman Wisata Candi (TWC) untuk melakukan uji coba sandal, untuk mencari bahan terbaik yang tidak merusak struktur relief," tuturnya.

Baca Juga: Menilik Batik Sekar Gelatik Khas Magelang yang Diekspor hingga Luar Negeri

Kemudian, dari berbagai bahan seperti kain batik, batok, karet dan yang lain, ternyata daun pandan duri lah yang ketika diuji tidak menimbulkan goresan atau perubahan bada tekstur candi.

Sejak itulah, Basiyo diminta memproduksi sandal upanat berbahan pandan duri kering untuk digunakan di Candi Borobudur.

"Waktu itu bermodal 25 juta untuk beli alat, biaya produksi dan lain-lain," tutur Basiyo.

Ia memilih daun pandan duri sebagai bahan utama upanat karena terinspirasi dari Relief Karmawibhangga panel 150 pada Candi Borobudur.

Sebagai informasi, relief Karmawibhangga panel 150 pada Candi Borobudur menceritakan tentang pembuatan sandal di masa itu yang memanfaatkan daun panjang yang dikeringkan.

"Produksi pertama untuk uji coba 50 biji, lengkap dengan goodie bag, jadi pengunjung yang ke Candi Borobudur membayar Rp 120.000 mendapat 1 goodie bag berisi upanat, tiket masuk, serta guide," jelas Basiyo.

Baca Juga: Sop Senerek Bu Atmo, Lebih Separuh Abad Menggoyang Lidah Warga Magelang

Seiring berjalannya waktu, sandal buatan Basiyo ternyata semakin diminati pengunjung baik dalam maupun luar negeri.

Oleh karena itu, ia diminta pihak pengelola Candi Borobudur untuk menambah jumlah produksi dari 50 menjadi 100 biji dalam sehari.

"Terlebih sejak konservasi 2017, sekitar 2020 produksi dan penjualannya merangkak naik," imbuhnya.

Baca Juga: Getuk Gondok Hj Sri Rahayu, Kudapan Khas Magelang yang Tercipta Sejak Masa Penjajahan Jepang

Ia memilih daun pandan duri sebagai bahan utama upanat karena terinspirasi dari Relief Karmawibhangga panel 150 pada Candi Borobudur.

Sebagai informasi, relief Karmawibhangga panel 150 pada Candi Borobudur menceritakan tentang pembuatan sandal di masa itu yang memanfaatkan daun panjang yang dikeringkan.

"Produksi pertama untuk uji coba 50 biji, lengkap dengan goodie bag, jadi pengunjung yang ke Candi Borobudur membayar Rp 120.000 mendapat 1 goodie bag berisi upanat, tiket masuk, serta guide," jelas Basiyo.

Sandal upanat untuk naik ke Candi Borobudur (Apahabar.com/Arimbihp)

Seiring berjalannya waktu, sandal buatan Basiyo ternyata semakin diminati pengunjung baik dalam maupun luar negeri.

Oleh karena itu, ia diminta pihak pengelola Candi Borobudur untuk menambah jumlah produksi dari 50 menjadi 100 biji dalam sehari.

"Terlebih sejak konservasi 2017, sekitar 2020 produksi dan penjualannya merangkak naik," imbuhnya.

Basiyo yang awalnya hanya memiliki karyawan pun kini sudah menambah jumlah personil menjadi 8 orang yang masing-masing tugasnya yakni 5 mengelem sandal, 3 memotong kain dan 1 penjahit.

Para karyawan yang dipekerjakan Basiyo seluruhnya adalah warga Kecamatan Borobudur, dengan demikian, bisa dikatakan usaha yang didirikannya membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.

Baca Juga: Jembatan Gantung Ngembik Magelang Masuk dalam Prioritas Pembangunan Nasional

Upanat buatan Basiyo dibentuk dalam berbagai ukuran mulai 36 hingga 44, mengingat pengunjung Candi Borobudur juga banyak yang berasal dari luar negeri dengan ukuran kaki 'jumbo'.

"Kalau turis asing Eropa biasanya 42-45, kami sudah menyediakan, untuk anak-anak tidak membuat karena jarang dipakai, biasanya mereka lebih pilih digendong," paparnya.

Kepada apahabar.com, Jumat (26/5), Basiyo sudah memiliki kesepakatan dengan pihak pengelola candi untuk tidak menjual upanat sendiri di rumah produksinya.

Warga Borobudur yang sedang membuat sandal upanat (Apahabar.com/Arimbihp)

Sedangkan untuk produk sandal lain yang tidak berstampel upanat, seperti batik atau batok kelapa boleh di jual mandiri di rumah.

"Kalau ingin yang ada tulisannya upanat bisa langsung membeli sendiri ke Borobudur," sambungnya.

Sementara itu, menjelang Waisak 2023 yang rencananya akan digelar di Candi Borobudur pada Minggu (4/6) mendatang, Basiyo mengaku,dirinya mengalami kenaikan jumlah pesanan.

Baca Juga: Mencicipi Magelangan di Warung AA, Kedai Unik dengan Ratusan Cermin Antik

"Naik 20 hingga 50 persen, Waisak sudah jadi agenda tahunan, meskipun jumlahnya tidak sebanyak waktu libur lebaran dan tahun baru," ujarnya.

Pasalnya, saat Waisak, biasanya justru hanya pengunjung tertentu yang boleh naik ke Candi Borobudur.

"Pejabat dan tokoh masyarakat sudah banyak juga yang mampir dan membeli produk ini, seperti Presiden Jokowi, Menteri Pariwisata Sandiaga Uno, dan masih banyak lagi," pungkasnya.