Politik

Melihat Sosok Calon Wakil di Pilwali Banjarmasin, Simak Kata Pengamat

apahabar.com, BANJARMASIN – Bakal Calon Petahana Ibnu Sina memastikan diri maju kembali di Pemilihan Wali (Perwali)…

Ilustrasi Pilkada serentak. Foto-apahabar.com/Zulfikar

apahabar.com, BANJARMASIN – Bakal Calon Petahana Ibnu Sina memastikan diri maju kembali di Pemilihan Wali (Perwali) Kota Banjarmasin 2020. Namun yang soal pendamping, Ibnu tidak memilih Hermansyah.

Padahal Hermansyah yang merupakan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini telah menemani Ibnu selama 5 tahun sebagai Wakil Wali Kota Banjarmasin. Di 2020, Ibnu malah mengklaim berpasangan dengan Ariffin Noor.

Di mata pengamat politik, sosok Ariffin Noor sangat berbeda. Dr Taufik Arbain menilai Ariffin adalah orang yang tidak dikenal dan tak menjual di kalangan masyarakat.

Penilaian itu disebutkannya untuk beberapa bakal calon Wakil Wali Kota yang bakalan maju. Seperti H Mussafa Zakir pasangan Hj Ananda dan Ilham Noor pendamping Haris Makkie.

"Jadi nama-nama ini justru terdongrak karena gandengan pada sang calon wali kota ya," ujar Pengamat Kebijakan Publik dari Fisip ULM Banjarmasin ini. Taufik menegaskan wajibnya pendamping ini turut meningkatkan elektabilitas calon wali kota.

Sebagaimana contoh kasus saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu, Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno sangat mendulang suara Joko Widodo dan Prabowo.

Sedangkan, katanya, kontestan Pilkada di Banjarmasin, masyarakat dihadapkan pada calon yang hadir karena faktor dorongan usungan partai dan kesanggupan finansial belaka.

"Inilah realitas pilkada hari ini, ketika publik dihadapan bukan pada pilihan ibarat makanan empat sehat lima sempurna, tetapi paket hemat betul tanpa susu," ungkapnya.

Terlebih, kata Taufik biasanya ada beberapa alasan seseorang menjadi calon wakil wali kota.

Pertama, fakta realistis saat ini, jika memilih calon wakil kepala daerah adalah figur yang tidak dikenal. Namun tiba-tiba diusung menjadi wakil kepala daerah diluar aspek sebagai dorongan partai pengusung dan atau anak tokoh atau publik figur.

Ini biasanya soal dukungan dana dalam cost politics.

Artinya sang calon kepala daerah tidak memiliki kecukupan realistis soal dana politik, sehingga mengkombinasikan antara nilai jual figur calon kepala daerah dengan nilai kecukupan dana calon wakilnya.

"Saya kira ini ada sebagian berlaku di beberapa kabupaten/kota di Kalsel yang menyelenggarakan pilkada," ucapnya.

Ia menilai tarik-menarik soal ini sebenarnya berlangsung saat melakukan komunikasi dengan partai politik untuk menentukan wakil. "Apakah pilihan orang partai atau non partai dan apa kompensasi. Dalam politik itu selalu ada istilah tidak ada makan siang gratis!" tegasnya.

Kedua, yang bersangkutan adalah figur yang harus mampu mendulang suara. Apakah faktor jaringan keorganisasian dan perkawanan yang luas. Kemudian figur yang memiliki nuansa emosional kebatinan publik semisal figur itu seorang Habib atau ketokohan religius.

Faktor ini lebih melihat pada posisi relasi emosional publik, sehingga sang calon Kepala daerah mempertimbangkan aspek ini agar memiliki double mendulang suara.

"Di Kalsel yang memilih pasangan Jokowi-Ma'ruf lebih dominan karena faktor memilih KH Ma’ruf Amin-nya. Jadi kekuatan calon kepala daerah ini sangat menentukan, dan akan mendapatkan tumpahan suara jika wakil memiliki nilai mendulang suara," imbuhnya.

Terakhir, sosok calon wakil wali kota bisa juga direpresentasikan karena dorongan partai pengusung atau bahasa lain sebagai kompensasi.

Pada aspek ini sejatinya adalah figur yang menguatkan sang kandidat Kepala daerah, bukan sekadar pasang saja.

Maka tidak heran, lanjutnya, sesuai pengalaman ketika survei Pilkada beberapa waktu lalu. "Apakah anda memilih pasangan ini karena Kepala Daerahnya, atau karena Wakilnya? atau Karena Pasangan ini pas? Cenderung pada kasus-kasus tertentu jawaban responden hampir 35-45 % karena Kepala Daerahnya, Karena faktor memilih Pasangan kisaran 25-35 %, karena wakilnya mencapai kisaran 20-25 %," ujarnya.

Meski demikian, Taufik menjelaskan kondisi ini akan bisa terselesaikan jika pada masa-masa kampanye dan gerakan pemenangan benar-benar tepat sasaran. "Dengan cara memainkan langkah-langkah strategis dan jitu," katanya.

Sisi lain, ia mengira Pilwali Banjarmasin 2020 dengan bermunculan para calon yang akan menentang petahana Ibnu Sina tidak bisa dianggap enteng.

Karena para kandidat berkompetisi di Pilkada masing-masing memiliki nilai jual yang signifikan.

Bukan figur yang sekonyong-konyong hadir di masyarakat, tetapi mereka telah melakukan investasi politik jauh-jauh hari.

"Sesuatu yang relatif sama dilakukan oleh petahana yang kebetulan diuntungkan sebagai sentral politik kekuasaan di kota Banjarmasin," ucapnya.

Editor: Syarif