Kalsel

Kontrak Arutmin Resmi Diperpanjang: Jatam Kehabisan Kata, Walhi Ikut Menyayangkan

apahabar.com, BANJARMASIN – Presiden Joko Widodo akhirnya merestui perpanjangan kontrak tambang batu bara PT Arutmin Indonesia….

luas wilayah tambang PT Arutmin menyusut 22.900 hektare atau 40,1% setelah PKP2B beralih ke IUPK. Foto ilustrasi: Istimewa

apahabar.com,BANJARMASIN – Presiden Joko Widodo akhirnya merestui perpanjangan kontrak tambang batu bara PT Arutmin Indonesia.

Perpanjangan kontrak, dari perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) berlaku hingga 20 tahun ke depan. Sejatinya kontrak Arutmin berakhir 1 November kemarin.

Diprotes Walhi-Jatam, Arutmin Akhirnya Buka Suara soal IUPK Baru

Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin, seperti dilansir Kontan, mengatakan bahwa surat keputusan (SK) perpanjangan izin dan peralihan izin Arutmin dari PKP2B menjadi IUPK diterbitkan pemerintah pada Senin (2/11) kemarin.

“SK sudah dikeluarkan, 2 November 2020. Betul (memberi perpanjangan Arutmin menjadi IUPK),” kata Ridwan, Selasa (3/11).

Jangka waktu beroperasi 20 tahun dengan berbagai pertimbangan upaya peningkatan penerimaan negara.

Merujuk pada Pasal 169 A Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020, Arutmin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 tahun.

Sejatinya kontrak perusahaan tambang raksasa milik Grup Bakrie di bawah naungan PT Bumi Resouces (BUMI) ini berakhir 1 November kemarin.

Arutmin telah mengajukan perpanjangan operasional sesuai Surat Presiden Direktur PT Arutmin Indonesia Nomor 1036/AI/X/2019 pada 24 Oktober 2019.

Luas tambang Arutmin mencapai 57.107 hektare. Luasan itu mencakup tiga kabupaten di Kalsel, yakni Tapin, Tanah Laut, hingga Tanah Bumbu.

Sejumlah organisasi lingkungan hidup menolak rencana pembaharuan kontrak PT Arutmin Indonesia karena dinilai merugikan kelestarian alam, dan hak masyarakat lingkar tambang yang masih dipertanyakan.

“Seharunya kembali ke negara, dievaluasi atau audit, kalau layak diperpanjang baru dilelang,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyo kepada apahabar.com, Selasa (3/11) siang.

“Material sumber daya alam ada di daerah. Daerah juga harus dilibatkan,” ujarnya lagi.

Kisworo juga mempertanyakan verifikasi Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM yang dilakukan September lalu.

“Ini juga tidak ada kabarnya,” ujarnya.

Senada, Kepala Kampanye Nasional dari Jaringan Advokasi Pertambangan (Jatam) Melky Nahar mengatakan pihaknya sudah kehabisan kata-kata.

“Sebab, berbagai kritikan dan penolakan yang dilancarkan selama ini tak digubris oleh Presiden Jokowi,” ujarnya dihubungi terpisah.

Alasan penolakan

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menolak tegas perpanjangan kontrak PT Arutmin Indonesia yang telah habis per November 2020 ini.

Perusahaan tambang raksasa milik Grup Bakrie di bawah naungan PT Bumi Resources (BUMI) ini dinilai membawa dampak merugikan bagi alam dan masyarakat.

“Sebelum memberikan perpanjangan izin, perusahaan tambang itu harus dievaluasi dulu kinerjanya. Kita ketahui bersama, tidak sedikit kerusakan yang terjadi dengan hadirnya perusahaan tersebut,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono kepada apahabar.com, tadi malam.

Walhi yang juga menjadi bagian dari Koalisi Bersihkan Indonesia telah lama melayangkan desakan kepada Kementerian ESDM untuk transparansi dokumen Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Salah satu di antaranya yang paling disoroti adalah PT Arutmin Indonesia, anak usaha PT Bumi Resources Tbk (BUMI).

“UU Keterbukaan Informasi Publik itu mempermudah kontrol terhadap data-data yang dapat diakses masyarakat luas,” kata Kis, sapaan akrabnya.

Data tersebut akan menjadi instrumen untuk pemerintah dalam melakukan evaluasi sebelum memperbaharui izin kontrak.

Masyarakat pun dapat ikut menilai rekam jejak perusahaan yang terbentang di tiga kabupaten Kalsel, yaitu Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru.

“Dievaluasi dan diaudit dulu oleh tim yang independen serta melibatkan masyarakat. Lalu hasilnya harus di-share agar publik mengetahui hasilnya,” sebut dia

Menurutnya, penolakan ini sebagai upaya menyuarakan aspirasi masyarakat sipil. Khususnya masyarakat lingkar tambang yang paling merasakan dampak aktivitas perusahaan tersebut.

Dia menekankan pentingnya evaluasi sebagai parameter kelayakan pemerintah untuk memberikan izin kembali.

“Harus melalui tahapan untuk dapat diperpanjang. Kita lihat bagaimana selama beroperasi, apakah kewajiban perusahaan berjalan atau tidak. Seperti bagaimana soal reklamasi, lubang tambang, pajak, konflik agraria dan lainnya,” tutupnya.

Kontrak tambang batu bara atau dikenal dengan nama Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) Arutmin berakhir kemarin. Arutmin telah mengajukan perpanjangan operasional tertuang dalam Surat Presiden Direktur PT Arutmin Indonesia no.1036/AI/X/2019 tertanggal 24 Oktober 2019. Adapun luas tambang Arutmin dilaporkan mencapai 57.107 Ha.

KPK Diminta Turun Tangan

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga mendesak pemerintah menghentikan aktivitas produksi batu bara PT Arutmin Indonesia.

“Hentikan sesegera mungkin dan segera lakukan evaluasi,” ujar Dinamisator Jatam Kalimantan Timur Pradarma Rupang kepada apahabar.com.

Jatam yang juga menjadi bagian dalam Koalisi Bersihkan Indonesia mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyurati Presiden Joko Widodo.

Kasus Arutmin, kata Rupang, serupa apa yang terjadi dengan PT Tanito Harum selaku pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara atau PKP2B lainnya.

Di mana kontrak PKP2B PT Tanito Harum sempat diperpanjang Kementerian ESDM hingga akhirnya dibatalkan. Mengingat KPK bersurat kepada Presiden Joko Widodo.

“Kasus Arutmin ini serupa dengan PT Tanito Harum. PKP2B-nya telah berakhir namun sudah dilakukan perpanjangan sebelum dilakukan evaluasi tanpa pengawasan,” ujarnya.

Isi surat KPK meminta revisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba harus mengikuti UU Nomor 4/2009 tentang Minerba.

Koalisi Bersihkan Indonesia, kata Rupang, meminta KPK melakukan tindak serupa: menyurati Presiden Jokowi agar mengevaluasi kontrak PKP2B PT Arutmin Indonesia.

Diketahui UU Nomor 4/2009 sudah direvisi menjadi UU Nomor 3/2020. UU ini beleid yang belum lama tadi disahkan DPR RI, 12 Mei silam. Pengesahannya menuai polemik serta penolakan dari masyarakat sipil.

UU Minerba yang baru dianggap Rupang memberikan karpet merah ke pengusaha tambang karena ada pasal tentang perpanjangan otomatis.

“Jadi mereka berlindung di balik pasal tersebut untuk tetap produksi,” ujar Rupang. “Ini jelas bermasalah terlebih peraturan pelaksana UU Minerba yang baru belum ada,” sambungnya.

Jatam, kata Rupang, juga meminta Arutmin membuka informasi mengenai kewajiban apa saja yang sudah diberikan perusahaan ke masyarakat di lingkar tambang.

"Kami mendesak transparansi, dan keterbukaan pada publik, terutama bagi masyarakat yang mengalami dampak buruk akibat operasi perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut," ujarnya.

September lalu, Jatam telah mendesak Kementerian ESDM membuka dokumen PKP2B milik 5 perusahaan, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Berau Coal (BC), PT Kideco Jaya Agung (KJA), dan PT Multi Harapan Utama (MHU), termasuk Arutmin.

Desakan juga mencakup daftar nama tim yang melakukan evaluasi, perkembangan evaluasi hingga instrumen evaluasi yang digunakan.

“Sampai sekarang belum ada jawaban dari ESDM,” jelasnya.

Para pemegang PKP2B itu, sebut dia, terindikasi melakukan kasus pencemaran, perampasan lahan, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia.

“Termasuk persoalan reklamasi dan rehabilitasi lubang tambang yang tidak dilakukan," ujarnya.

Keterbukaan informasi penting sebagai upaya mendorong kebijakan energi Indonesia yang berorientasi bersih, pro-lingkungan hidup serta menjamin keselamatan rakyat.

1 November kemarin, kontrak PT Arutmin Indonesia pemegang PKP2B generasi pertama resmi berakhir. Sementara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalimantan Selatan tak berkutik.

ESDM Kalsel tak lagi mengantongi kewenangan terkait izin pertambangan perusahaan besar sekelas PT Arutmin.

“Bantuan fasilitas izin dari ESDM Kalsel enggak ada, pusat semua. Dia statusnya dari pusat. Jadi pusat yang menentukan,” ucap Sekretaris Dinas ESDM Provinsi Kalsel, Agus Umar saat ditemui apahabar.com di ruangannya, Senin (2/11) siang.

Sehingga jika anak usaha dari PT Bumi Resources Tbk (BUMI), itu masih beroperasi tanpa izin, pihaknya pun tak dapat memberi tindakan.

“Penindakan tidak ada dari provinsi, kita tidak punya kewenangan,” tegasnya.

Sebetulnya, awal September lalu produsen batu bara yang berbasis di Kalimantan Selatan khususnya Tanah Bumbu dan Batulicin ini sudah mengajukan perpanjangan kontrak.

Namun sampai sekarang pemerintah belum memberikan kepastian akan perubahan kontrak dari PKP2B menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

Pembahasan perpanjangan kontrak, dari PKP2B PT Arutmin Indonesia menjadi IUPK mesti melibatkan lintas kementerian.

Selain belum adanya kepastian IUPK, pemerintah hingga kini masih belum menerbitkan peraturan pelaksana tentang kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara dari UU Nomor 3/2020 tentang Minerba.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin, seperti dilansir CNBC Indonesia, mengatakan harmonisasi salah satu rancangan peraturan pemerintah yang tengah digodok jadi salah satu biangnya.

Namun begitu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dilaporkan akan segera menandatangani PP perlakuan perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di bidang pertambangan batu bara.

Draf final rancangan PP itu disebut sudah berada di kantor Kementerian Sekretariat Negara untuk kemudian ditandatangani oleh Presiden.

Menurutnya ada lebih dari PP terkait batu bara. Perpajakan berasal dari Kementerian Keuangan, sedangkan RPP Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara berasal dari Kementerian ESDM.

Izin Tambang PT Arutmin Indonesia Habis, ESDM Kalsel Tak Berkutik