Wadas Melawan

Kasus Wadas, Akademisi: Cara Kotor Pemerintah Rampas Tanah Warga

Akademisi Peduli Wadas melaksanakan eksaminasi dan menguji AMDAL Bendungan Bener yang menyangkut rencana Penambangan Batuan Andesit.

Apa yang dikhawatirkan warga penolak tambang andesit di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, termasuk saat bersaksi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta beberapa waktu lalu bahwa tambang andesit berpotensi membawa bencana bagi warga, benar-benar terjadi. Foto: Gempadewa

apahabar.com, JAKARTA - Akademisi Peduli Wadas, telah melaksanakan upaya menguji putusan (eksaminasi) dan menguji AMDAL Bendungan Bener yang menyangkut rencana Penambangan Batuan Andesit di Wadas.

Eksaminasi dilakukan di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) pada 9 Maret 2023.

Ketua Pusat Studi Anti Korupsi FH UNMUL Herdiansyah Hamzah yang tergabung dalam Akademisi Peduli Wadas menjelaskan bahwa ancaman konsinyasi merupakan cara kotor pemerintah untuk merampas tidak hanya tanah warga Wadas, termasuk ruang hidup serta masa depan anak cucu mereka.

"Bahkan secara prinsip, metode konsinyasi tidak dikenal dalam rezim pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum," ungkap Herdiansyah dalam keterangannya dikutip Rabu (6/9).

Baca Juga: Kasus Tambang Wadas, Ahli IPB: Bukti Kelindan Relasi Kekuasaan

Menurut Herdiansya, Pasal 42 UU a quo menyebutkan bahwa konsinyasi hanya bisa dilakukan jika 'penerima yang berhak' tidak diketahui keberadaannya, atau objek tanah sedang dalam perkara di pengadilan, masih dalam sengketa kepemilikan, diletakkan sita oleh pejabat berwenang, dan/atau masih menjadi jaminan bank.

"Dengan demikian, sikap warga Desa Wadas yang menolak pertambangan batuan andesit tersebut tidaklah memenuhi klausul persyaratan konsinyasi," jelasnya.

Kedua, Pasal 10 secara eksplisit menyebutkan bahwa kegiatan pertambangan tidak termasuk dalam objek peruntukan pembangunan untuk kepentingan umum. Artinya, kegiatan pertambangan bukanlah bagian dari objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

"Berdasarkan kedua alasan tersebut, maka upaya konsinyasi yang hendak dilakukan oleh pemerintah, jelas adalah bentuk intimidasi yang bertujuan untuk merampas tanah dan ruang hidup warga Desa Wadas." tegasnya.

Baca Juga: IPL Sudah Habis, Gempadewa: Hentikan Penambangan Andesit di Desa Wadas

Mewakili para Akademisi Peduli Wadas, Herdiansyah mengingatkan pemerintah, termasuk jajaran penyelenggara di lapangan, Pemda Jateng, Pemkab Purworejo, BPN/Kantor Pertanahan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) bahwa dari sisi hukum agraria, begitu mudah dan banyak dijumpai kecacatan yang terjadi dalam proses pengadaan tanah ataupun proses formal menuju pelepasan hak.

Ini sekaligus membuktikan rezim hukum pengadaan tanah untuk kepentingan umum bisa dengan mudah menyalahgunakan hak warga negara untuk mendapatkan ruang hidup yang layak dan terhindar dari ancaman eksklusi atas dasar kepentingan umum.

Herdiansyah  juga mengingatkan betapa besar konsekuensi yang akan terjadi bila proyek strategis nasional (PSN) terus dijalankan, tanpa keberpihakan sisi kemanusiaan dan ekologis.

"Belajar dari kasus Wadas, penghancuran sosial budaya warga dan perusakan alam itu demikian nyata terjadi," ungkapnya.

Baca Juga: Klaim Ganjar: Konflik Megaproyek Bendungan Bener Wadas Selesai

Kasus di Wadas, kata Herdiansyah, merefleksikan bahwa telah terjadi kesewenang- wenangan penguasa terhadap warga negaranya, pelanggaran hak konstitusional, serta politik hukum yang kian jauh dari tujuan negara.

Karena itu, Herdiansyah dan sejumlah koleganya yang tergabung dalam Akademisi Peduli Wadas mendesak negara, terutama pemerintah, untuk mengetuk nurani kemanusiaan, mengupayakan pembatalan atas rencana penambangan yang kian hari kian jelas berdampak buruk secara kemanusiaan dan ekologis.

"Dan proyek tersebut begitu banyak menghilangkan hak hak dasar warga negara yang dijamin tegas dalam UUD NRI 1945," pungkasnya.