magelang

Kampung Kwarasan, Kampung Sehat Karya Thomas Karsten di Magelang

Kampung tersebut memang termasuk salah satu bangunan bersejarah dan cagar budaya peninggalan Belanda di Magelang.

Groote Weg Magelang (Dok. KITLV Leiden)

apahabar.com, MAGELANG - Kampung tersebut memang termasuk salah satu bangunan bersejarah dan cagar budaya peninggalan Belanda di Magelang

Sekilas memang tak ada yang berbeda dengan deretan bangunan di pusat Kota Sejuta Bunga ini. Meski konturnya naik turun, namun struktur jalannya bagus, lalu lintasnya pun tergolong ramai lancar.

Wilayah Kwarasan, Kelurahan Cacaban, Kabupaten Magelang ini memiliki keunikan. Salah satunya adalah bentuk rumah yang masih sama sejak puluhan tahun yang lalu.

Dilihat dari bentuk fisiknya, bisa ditebak bangunan tersebut merupakan bangunan tua yang sudah lama berdiri.

Kampung tersebut memang termasuk salah satu bangunan bersejarah peninggalan Belanda dan termasuk bangunan cagar budaya yang terdaftar dengan nomer 11-71/MGA/TB/27.

Baca Juga: Sejarah Cerutu Magelang, Pernah Jaya hingga Eropa Kini Tergilas Masa

Pegiat sejarah Magelang, Gusta Wardhana menuturkan, nama Kwarasan berasal dari bahasa jawa, kewarasan (kesehatan).

Sesuai namanya, pembangunan kampung ini memang bertujuan untuk memberikan kesehatan kepada penghuninya. 

"Awalnya, Kota Magelang pada 1932 pernah mengalami krisis ekonomi besar atau Mala Ise dan  diserang wabah penyakit Pes," kata Gusta saat memandu Walking Tour bertema Standswijk Kawarasan, Sabtu (12/8).

Pes adalah penyakit yang disebarkan oleh tikus dan biasanya disebabkan karena lingkungan kotor atau kumuh. Maka pemerintah pada masa itu berinisiatif untuk membuat perumahan sehat untuk para pejabat dan masyarakat.

"Perumahan tersebut akhirnya dibangun oleh pemerintah kolonial dengan menunjuk Thomas Karsten yang juga arsitek yang membangun water torn," kata Gusta.

Kala itu, Thomas Karsten memilih kampung Kwarasan sebagai lokasi dibuatnya wilayah sehat.

Baca Juga: Sejarah Gedung Hotel Centrum Magelang yang Berusia Lebih dari 2 Abad

Kampung tersebut dibangun disebuah tanah kosong dengan luasan sekitar 2 hektar.

Selain udara disana sejuk, dari perumahan tersebut juga bisa menyaksikan secara langsung keindahan Gunung Sumbing.

“Perumahan tersebut dulunya dibangun untuk mengisolasi masyarakat dan pejabat Kolonial dari penyebaran penyakit Pes,” kata Gusta.

Gusta menceritakan, pada 1937 komplek perumahan dibangun dengan tiga tipe rumah. Bagian sebelah barat Jalan Sumbing dibangun komplek besar, sedangkan di sebelah utara Jalan Sindoro, dibangun rumah dengan ukuran sedang.

"Untuk rumah dengan ukuran paling kecil dibangun disebelah timur gang kecil," tuturnya.

Walaupun dibangun arsitek Belanda, rumah di komplek ini dibangun dengan pola rumah jawa, yaitu berbentuk limasan, lantainya menggunakan traso, dan menggunakan kayu jati. 

Namun sayang tidak ada sumber pasti yang mengatakan luasan tanah dan jumlah rumah dalam komplek tersebut. Selain penataan letak, Karsten juga membuat jarak dari satu rumah dengan rumah yang lain dibatasi dengan tanah kosong yang berfungsi sebagai sirkulasi udara.

"Selain itu, sebagai fasilitas umum juga dibangun dua tanah lapang," imbuh Gusta.

Menurut Gusta, lapangan tersebut dahulunya sering digunakan sebagai tempat interaksi pejabat dan masyarakat yang tinggal di komplek tersebut.

Dua lapangan tersebut dipisahkan oleh Jalan Sindoro, namun lapangan yang terletak disebelah utara sekarang berubah menjadi kantor Kecamatan Magelang Tengah.

Sedangkan yang berada di sebelah selatan hingga saat ini dikenal menjadi lapangan Kwarasan.

Sebagai informasi, lapangan itu dulunya digunakan untuk berjemur sambil minum kopi (On De Zon) pejabat Kolonial yang tinggal di komplek tersebut.

Meski dibangun dan dikembangkan pemerintah kolonial, pada masa pendudukan Jepang (1942) kampung tersebut dikosongkan.

Kemudian, tak lama setelahnya, pejabat Kolonial yang menempati komplek tersebut diasingkan oleh Jepang.

Ketika pemerintahan kembali dipegang oleh pemerintah Indonesia kampung tersebut dikelola oleh pemerintah Indonesia.

Sebagai tindak lanjut, pemerintah Indonesia kemudian membentuk sebuah lembaga yang diberi nama Versuis.

"Lembaga tersebut bertugas untuk mengurusi bangunan tersebut dan beberapa bangunan peninggalan Belanda lainnya," ujarnya

Setelah pendudukan Jepang, komplek Kwarasan tersebut pernah digunakan sebagai tempat tinggal pejabat, diantaranya Bupati Magelang, Purwosubijono.

“Rumahnya paling pojok di Jalan Sumbing,” katanya.