Nasional

Kaltim Butuh Pemulihan, Bukan Ibu Kota!

Ramai-Ramai Tolak Rencana Pemindahan Ibu Kota ke Kaltim apahabar.com, SAMARINDA – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Wahana…

Presiden Jokowi, bersama jajaran menteri utama Kabinet Kerja, meninjau kawasan Taman Hutan Raya, Bukit Soeharto, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim, salah satu calon kuat ibu kota negara, awal Mei lalu. Tampak mendampingi Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi, dan Bupati Kukar Eddy Damansyah. Foto-Inews.id

Ramai-Ramai Tolak Rencana Pemindahan Ibu Kota ke Kaltim

apahabar.com, SAMARINDA – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, serta Gerakan #BersihkanIndonesia menolak keputusan Presiden Joko Widodo memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur.

“Kalau bicara apa agenda yang mendesak adalah Kaltim butuh dipulihkan, bukan ibu kota. Provinsi ini sama seperti provinsi lain di Indonesia telah puluhan tahun menerima beban kebijakan ekstraksi sumber daya alam yang hanya menguntungkan segelintir elit,” jelas Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang kepada apahabar.com, Senin.

Pemindahan, kata Rupang, juga menafikan masalah lingkungan yang dihadapi Jakarta dan Kalimantan yang seharusnya menjadi perhatian utama presiden untuk dipulihkan.

“Sejak Jokowi mengumumkan rencana pemindahan ibu kota, termasuk kepastian lokasi pada hari ini, tidak diikuti dengan publikasi kajian ilmiah yang mendukung ambisi tersebut,” ujar Rupang.

Kajian tersebut bukan saja soal berapa anggaran yang disiapkan namun lebih daripada itu. Misalnya, kata dia, bagaimana beban lingkungan saat ini dan budaya masyarakat setempat jika terjadi eksodus sekitar 1 juta orang luar ke daerah mereka.

"Kalau kemarin Jokowi minta izin untuk memindahkan ibu kota, maka jawabannya kami tidak izinkan,” jelas Merah Johansyah, Juru Bicara #BersihkanIndonesia dan Koordinator Jatam Nasional.

Ide itu dinilai tidak dilandasi oleh kajian ilmiah. Makanya rencana pemindahan ibu kota, kata dia, jelas serampangan dan bisa jadi hanya ambisi satu orang.

“Proses komunikasi antara presiden dan pembantunya soal telah diputuskannya provinsi calon ibu kota lalu diralat, dapat menunjukkan rencana ini jauh dari pembicaraan yang mendalam dan tidak solid," tutur Merah.

Pihaknya juga mempertanyakan dasar keputusan pemindahan yang menurutnya tak dilakukan melalui jajak pendapat.

“Hak warga untuk menyampaikan pendapat jelas diingkari dan bisa disebut sebagai 'kediktatoran' Presiden karena suara warga Kalimantan Timur termasuk suara masyarakat adatnya tidak diberi ruang," ujar Merah.

Jatam memperkirakan pemindahan berkedok megaproyek ini hanya akan menguntungkan oligarki pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasa lahan skala besar di Kaltim.

Menurut data Jatam Kaltim terdapat 1.190 IUP di Kalimantan Timur dan 625 izin di Kabupaten Kutai Kartanegara. Hanya di Kecamatan Samboja saja terdapat 90 Izin pertambangan, di Bukit Soeharto pun terdapat 44 Izin tambang.

Menurutnya salah satu perusahaan pertambangan yang konsesinya paling besar di sekitar Samboja akan sangat diuntungkan.

"Sementara di Kabupaten Penajam Paser Utara terutama di Kecamatan Sepaku rencana ini akan menguntungkan Hashim Djojohadikusumo (Adik Prabowo Subianto, Red) karena lahan di sana dikuasai oleh PT ITCI Hutani Manunggal IKU dan ITCI Kartika Utama (HPH). Pemindahan ibu kota ini tidak lebih dari 'kompensasi politik' atau bagi-bagi proyek pasca-Pilpres," tambah Rupang.

Jatam juga merasa pemindahan ibu kota akan merampas ruang hidup masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan terhadap sumber daya kelautan dan perikanan di Teluk Balikpapan.

Pusat Data dan Informasi Kiara 2019, kata dia, mencatat setidaknya lebih 10 ribu nelayan yang setiap hari mengakses dan menangkap ikan di Teluk Balikpapan.

Jumlah ini terdiri dari 6.426 nelayan dari Kabupaten Kutai Kartanegara, 2.984 nelayan dari Penajam Paser Utara, dan 1.253 nelayan dari Balikpapan.

“Ancaman sekarang ini selain telah menjadi jalur lalu lintas kapal-kapal tongkang batu bara, Teluk Balikpapan akan dijadikan satu-satunya jalur logistik untuk kebutuhan pembangunan ibu kota baru,” tegas Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Kiara, dalam siaran persnya.

Susan menambahkan Kaltim belum memiliki perda zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengesahan Perda selanjutnya, akan menyesuaikan dengan kepentingan pembangunan ibu kota baru.

“Perda zonasi Kaltim tidak akan mempertimbangkan kepentingan masyarakat pesisir, khususnya di sekitar Teluk Balikpapan, tetapi untuk pembangunan ibu kota baru dan kepentingan industri batu bara,” ujarnya.

Sebaliknya, dari banyak masalah utama yang harus diselesaikan negara ini, pemindahan ibu kota berada di daftar bawah. Di Jakarta, polusi udara sudah memasuki level mengerikan.

Presiden Jokowi yang kini sedang digugat oleh publik, seharusnya menempatkan masalah polusi udara sebagai pekerjaan rumah utama yang segera diselesaikan.

Apalagi presiden adalah satu di antara pihak yang digugat publik. "Jakarta saat ini mengalami krisis lingkungan seperti air tanah yang berkurang, kemacetan dan polusi. Justru di sini letak kepemimpinan Jokowi diuji, apakah ikut bertanggung jawab mencari solusinya atau malah lari memindahkan ibu kota, meninggalkan rakyat dengan persoalan dan beban, ini menjadi cermin juga untuk persoalan lingkungan lainnya," kata Zenzi Suhadi, Jurubicara #BersihkanIndonesia dan Kepala Departemen Advokasi Walhi.

Menurut mereka kondisi Kaltim saat ini kian memprihatinkan. Seluruh wilayah provinsi sudah tersandera konsesi pertambangan, perkebunan sawit dan izin kehutanan. Sisanya adalah hutan lindung. Terdapat 13,83 juta hektar izin dan 5,2 juta di antaranya adalah izin pertambangan. Jika ditambahkan dengan luasan izin lainnya maka izinnya lebih besar dari daratan Banua Etam itu sendiri.

"Beban lingkungan yang ditanggung Kaltim itu justru sama besarnya dengan yang ditanggung Jakarta. Lubang-lubang tambang yang terus membunuh masyarakat, dan tidak adanya penegakan hukum bagi pemilik eks konsesi, ini yang harus dibenahi terlebih dahulu. Alih-alih mewariskan sejarah memindahkan ibu kota negara, Jokowi justru akan dikenang sebagai presiden yang menghindari masalah, bukannya bekerja dan menyelesaikannya," kata Zenzi.

PENGAKUAN MASYARAKAT ADAT

Terpisah, dihubungi media ini Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nasional Kaltim Margaretha Seting Beraan ikut angkat bicara. Dalam menyambut ibu kota baru, prioritas utama adalah pengakuan masyarakat adat.

“Ditetapkannya Kaltim jadi ibu kota negara, selain dilaksanakannya persiapan infrastruktur pemerintah harus melaksanakan penyiapan pengakuan masyarakat adat untuk melindungi tanah-tanah komunitas dari penjarahan dan pengrusakan tanah adat oleh makelar-makelar tanah. Pada intinya kami menolak rencana pemindahan ibu kota ke Kaltim,” terangnya.

Baca Juga: Kaltim Jadi Ibu Kota, Bupati Penajam Siapkan Ratusan Ribu Hektar Lahan

Baca Juga: Gubernur Se-Kalimantan Kumpul di Balikpapan, Bahas Ibu Kota?

Editor: Fariz Fadhillah