apahabar.com, JAKARTA - Rencana kunjungan Presiden Joko Widodo atau Jokowi ke Kabupaten Tabalong jadi topik hangat masyarakat.
Orang nomor satu di republik ini kabarnya bakal datang untuk menghadiri Muktamar Rabithah Melayu Banjar. Acara yang diperkirakan bakal dihadiri sekitar 20 ribu orang.
Pertemuan Presiden Jokowi dengan Rabithah Melayu Banjar adalah bentuk dukungan terhadap pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Penajam, Provinsi Kalimantan Timur.
Baca Juga: Warning Walhi Soal Perpanjangan Kontrak Tambang PT Adaro di Kalsel
Kabar mengenai rencana kunjungan Jokowi ke Tabalong juga tak ditepis oleh Bupati Anang Syakhfiani saat acara pelantikan pejabat tinggi pratama di Pendopo Bersinar, Selasa (21/2).
"Iya insyaallah tanggal 16 Maret nanti Presiden Jokowi akan berkunjung ke Tabalong," ujar Anang.
Soal persiapan, Pemkab Tabalong bakal menyediakan sebuah panggung khusus untuk presiden berbicara.
Baca Juga: Dana CSR Adaro Diduga Jadi Bancakan Aparat di Kalsel-Teng
Sumber media ini di Pangkalan TNI Angkatan Udara turut membenarkan rencana kunjungan Jokowi ke Kalimantan Selatan. "Iya informasinya 16 Maret. Cuma belum ada rundown-nya," jelasnya.
Lantas, sudah pastikah rencana kunjungan Jokowi ke Tabalong? Istana rupanya belum dapat memastikan.
"Minggu ini belum ada [informasi]" singkat Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media, Sekretariat Presiden Bey Machmudin dihubungi apahabar.com, Selasa siang (28/2).
Ironi pengangguran wilayah kaya tambang di halaman selanjutnya:
TAK melulu daerah dengan wilayah batu bara yang luas tingkat penganggurannya juga rendah, seperti halnya Tabalong dan Balangan.
Ya, sektor batu bara masih menjadi primadona penyumbang produk domestik regional bruto (PDRB) Kalimantan Selatan.
Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDRB Kalsel dilaporkan mencapai 18,91 persen. Menyusul sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 14,65 persen.
Kendati begitu, nyatanya tingkat serapan tenaga kerja di sektor tambang masih kalah dengan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan.
Justru sektor pertanian, kehutanan, perikanan dan perkebunan-lah yang paling banyak menyerap tenaga kerja.
Baca Juga: Kerap Terjadi Konflik Tambang, ESDM: Jadi Penghambat Investasi
“Sedangkan pertambangan dan penggalian sedikit sekali menyerap tenaga kerja Kalsel,” ujar Sekretaris Komisi IV DPRD Kalsel, Firman Yusi.
Dua kabupaten dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) tertinggi di Kalsel justru berada di Tabalong dan Balangan, dua daerah dengan aktivitas pertambangan dan penggalian aktif.
Bahkan, BPS melaporkan tingkat serapan tenaga kerja Balangan menjadi yang terendah dibanding Banjarmasin ataupun Hulu Sungai Tengah daerah yang notabene tak memiliki izin tambang.
Data terakhir, Adaro Indonesia memiliki kapasitas produksi baru bara sebesar 51 juta-52 juta ton per tahun dengan luas wilayah 31.380 hektare mencakup Balangan dan Tabalong.
Luas wilayah konsesi Adaro masih kalah luas dengan Arutmin di Tanah Bumbu. Arutmin memiliki produksi batu bara yang diperkirakan mencapai 26,5 juta ton per tahun dengan luas wilayah pertambangan mencapai 57.107 ha. Kendati begitu, serapan tenaga kerja Tanah Bumbu lebih tinggi ketimbang Balangan.
Baca Juga: Tambang Adani di Bunyu Sebabkan Trauma Kolektif dan Berkurangnya Batas Negara
Kondisi demikian, menurut Firman juga selaras dengan mayoritas pekerja Kalsel yang 44,5 persen hanya berlatar pendidikan tidak tamat dan hanya tamatan SD. Minimnya keterampilan memungkinan perusahaan merekrut pekerja dari daerah lain.
Solusi Firman, RPJMD Kalsel 2021-2026 harus benar-benar konsen untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) melalui sinkronisasi program pendidikan dan ketenagakerjaan.
Sektor pertambangan dan penggalian dalam aktivitasnya tidak hanya membutuhkan tenaga teknis pertambangan, namun melibatkan pula berbagai keahlian.
Baca Juga: Miris, Pulau Bunyu Kini Bernasib Ibarat 'Toilet' Tambang
Karena tidak hanya terkait pertambangan dan penggalian, RPJMD harus mewadahi dan mendorong proyeksi kebutuhan tenaga kerja ke depan berdasar kondisi sosial ekonomi, pengembangan kewilayahan, perkembangan teknologi dan trend lokal maupun global.
Menurutnya, perlu percepatan harmonisasi kurikulum pendidikan, baik formal maupun non-formal dengan kebutuhan pasar kerja.
“Untuk mempercepatnya kalau perlu gubernur sendiri yang pegang komando mempertemukan dunia pendidikan dan dunia usaha untuk menyusun langkah konkret bersama, dengan kontribusi yang nyata masing-masing pihak,” lanjutnya.
“Kalau RPJMD mewadahi, maka tentu sumber daya pemerintah provinsi (Pemprov) Kalsel termasuk anggaran dapat didorong untuk mendukung langkah tersebut,” katanya.
Apa yang dikatakan Firman selaras dengan temuan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Di Kutai Kartanegara, misalnya, kabupaten dengan izin tambang terbanyak 625 IUP se-Kaltim bahkan seluruh Indonesia, ironisnya jumlah penduduk miskinnya paling terbanyak dibanding daerah lain di Kaltim.
Baca Juga: Industri Pertambangan Nikel, Proyek IGP Di Morowali Gunakan Teknologi Terbaru
Riset Jatam menunjukkan 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia berisiko terhadap ketahanan pangan dan berujung pada kemiskinan.
Musababnya, area bekas tambang merusak kondisi lahan, mengontaminasi air, dan kandungan air dalam tanah.
Tambang dianggap merusak potensi lahan untuk bercocok tanam. Nelayan dan petani kehilangan produktivitas hingga 50 persen untuk padi dan 80 persen untuk ikan.
Dari 34 provinsi dengan izin usaha tambang, tiga provinsi dengan konsesi dan luas wilayah terbanyak adalah Sumatra Selatan (Sumsel). Kalsel sendiri masih berada di atas Kaltim.
Peneliti Jatam Kaltim Pradarma Rupang menepis anggapan bahwa wilayah dengan tambang batu bara yang luas menjadi jaminan kesejahteraan bagi penduduknya.
“Bukan jaminan. Sejahtera dari ekonomi tambang hanyalah mitos,” ujar Rupang dihubungi apahabar.com, Kamis (13/1) malam.