Gugatan Batas Usia Capres-cawapress

Jelang Putusan Batas Usia Capres-Cawapres, Etika Ketua MK Dipertanyakan

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, mengkritisi banyaknya pelanggaran etik yang dilakukan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman.

Ketua YLBHI Muhammad Isnur saat jadi pembicara dalam diskusi bertajuk "MK: Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Kekuasaan?", Minggu (15/10). Foto: Nandito/apahabar.com

apahabar.com, Jakarta- Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum atau YLBHI, Muhammad Isnur, mengkritisi banyaknya pelanggaran etik yang dilakukan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman.

Pelanggaran etik Hakim MK tersebut patut menjadi alarm bahwa imparsialitas MK dalam memutus perkara soal batas minimal usia capres-cawapres dipertanyakan.

Pelanggaran etik yang dilakukan Anwar Usman, kata Isnur, kian menggerus kredibelitas MK. Di tengah situasi ini, tak pelak muncul kecurigaan publik bahwa MK akan mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-bacapres yang akan dibacakan pada besok, Senin (16/10).

Dalam catatan Isnur, setidaknya ada sejumlah indikasi yang menunjukkan bahwa Anwar Usman tidak layak menyandang titel negarawan, salah satu syarat menjadi hakim konstitusi.

Pelanggaran etik pertama, kata Isnur, yakni status Anwar Usman sebagai adik ipar Presiden Jokowi. Secara etis, Anwar Usman harusnya berhenti sebagai Hakim MK ketika memutuskan menikahi adik presiden.

Baca Juga: Pengamat Politik: Jika MK Terima Gugatan dan Gibran Maju Cawapres, akan Memicu Kemarahan Publik

"Dia akan memutus perkara-perkara yang dalam hal ini Presiden yang juga kakak iparnya adalah pihak termohon ketika suatu kebijakan hukum diperkarakan ke MK," katanya dalam diskusi bertajuk "MK: Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Keluarga, Minggu (15/10).

Pelanggaran etik kedua yang dilakukan Anwar Usman yaitu ketika memberikan komentar terkait batas usia minimal capres-cawapres dalam sebuah pidato di salah satu kampus di Semarang, Jawa Tengah, pada 9 September lalu.

"Secara etik, Hakim MK tidak boleh memberikan komentar terkait perkara yang sedang atau akan diputusnya. Ini malah dilakukan oleh Ketua MK secara gamblang," katanya.

Dalam pidato itu, Usman memberikan analogi terkait usia kepemimpinan merujuk pada sikap Nabi Muhammad saat mengangkat panglima perang berusia 16 tahun. Anwar juga merujuk pada sosok Muhammad Al-Fatih, yang memimpin perang penaklukan Konstatinopel.

Pernyataan itu seolah memberikan sinyal bahwa pernah ada anak muda di bawah usia 40 tahun bertindak sebagai pemimpin. Publik menilai pernyataan itu terkesan sebagai pembenaran atas gugatan batas minimal usia capres-cawapres yang saat itu sedang ditangani MK.

Pelanggaran lainnya yaitu ketika Anwar Usman bertemu dengan salah seorang Bupati di Jawa Tengah.

Isnur mengatakan bahwa seorang bupati berpotensi menjadi pihak yang berperkara di MK, khususnya dalam hal sengketa hasil pemilihan umum.

"Etika hakim MK dalam hal ini bahkan lebih rendah dibanding masyarakat biasa seperti kita. Lama kelamaan kalau kita melihat MK seperti ini, orang tidak percaya lagi dengan MK," katanya.

Seperti diketahui, MK akan membcakan putusan soal batas usia capres-cawapres pada Senin (16/10).

Gugatan atas Pasl 169 huruf q UU Pemilu tersebut dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Dalam permohonannya, PSI meminta MK menyatakan batas usia 40 tahun dalam UU Pemilu diturunkan menjadi 35 tahun.