Opini

Jalan Terjal Demokrasi dan Runtuhnya Akhlak Politik

Seiring perjalanan waktu, proses demokrasi pasca-Orde Baru justru berbanding terbalik dengan imaginary orde dan air mata…

Akademisi dari Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari (UNISKA MAB) Muhammad Uhaib As’ad. Foto-dok.apahabar.com

Seiring perjalanan waktu, proses demokrasi pasca-Orde Baru justru berbanding terbalik dengan imaginary orde dan air mata reformasi itu. Air mata demokrasi telah mengering. Kepalan tangan dan suara lantang sunyi senyap dan ditelan sejarah mengiringi senjakala demokrasi.

Oleh Muhammad Uhaib As’ad

GERAKAN moral politik atau populer disebut sebagai gerakan reformasi politik untuk melengserkan penguasa pemerintahan Orde Baru sebagai catatan sejarah yang tidak akan terlupakan.

Gerakan reformasi politik sebagai refleksi kerinduan rakyat untuk mengakhiri kekuasaan otoriter dan sentralistik.

Kekuasaan otoriter dan sentralistik itu bertahan selama 32 tahun dan pada akhirnya diterjang gelombang demokratisasi yang digerakkan oleh kekuatan moral politik rakyat.

Gelora moral politik dan air mata reformasi 22 tahun silam itu menjadi imaginary order atau sebuah mimpi yang merindukan sebuah negara-bangsa yang berkeadilan secara sosial dan politik serta ekonomi.

Imaginasi order dan air mata reformasi itu adalah perlawanan terhadap penguasa Orde Baru dan pembungkaman terhadap demokrasi dan martabat rakyat.

Imaginary order dan air mata reformasi adalah perlawanan terhadap hegemoni kebenaran politik penguasaan ekonomi terhadap segelintir orang atau para elite yang menjadi kroni politik dan bisnis penguasa Orde Baru.

Imaginary orde dan air mata reformasi adalah perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), menggadaikan institusi negara ke tangan para oligarki yang berada dalam jaringan kapitalisme kroni penguasa Orde Baru.

Imaginary orde dan genangan air mata reformasi yang tertumpah pada Mei 1998 itu telah merubah institusi kekuasaan dari sistem otoriter menuju demokrasi.

Institusi kekuasaan dan lembaga demokrasi di era Orde Baru bersifat sentralistik, kini mengalami keterbukaan dan desentralisasi.

Di era keterbukaan dan desentralisasi itu seharusnya melahirkan sistem kekuasaan politik dan demokrasi bermartabat setelah berada dalam sangkar besi kekuasaan otoriter dan oligarki selama 32 tahun.

Seiring perjalanan waktu, proses demokrasi pasca-Orde Baru justru berbanding terbalik dengan imaginary orde dan air mata reformasi itu.

Perubahan institusi kekuasaan dan lembaga demokrasi yang ada justru terperangkap ke dalam kekuasaan oligarki dan para aktor justru merefleksikan karakter oligarki-predatoris.

Seperti dikatakan oleh Prof Vedi R Hadis (2010) dan Prof Jeffery Winters (2011), di era demokrasi saat ini, perubahan institusi kekuasaan politik tidak berarti berubah perilaku oligarki para aktor.

Para aktor yang menguasai panggung politik saat ini adalah para aktor yang mewarisi (legacy) atau pewaris perilaku oligarki-predator Orde Baru.

Gemuruh demokrasi saat ini tidak berarti telah mengubur perilaku oligarki-predator bersama tulang belulang penguasa rezim Orde Baru.

Tulang belulang otoritarianisme itu justru bertransformasi dan bermetamorfosis ke level lokal di balik isu demokratisasi.

Isu demokratisasi dan keterbukaan politik menjadi arena kesempatan bagi para aktor predatoris membajak demokrasi sebagai penumpang gelap.

Para penumpang gelap itu secara diam-diam atau terang-terangan membeli kekuasaan demikian juga partai politik sebagai jalan menuju penguasaan sumber daya politik dan ekonomi melalui persekongkolan politik para aktor (Edward Aspinall, 2010, Edward Aspinall dan Marcuse Meitzner, 2011).

Di era demokratisasi dan keterbukaan saat ini semakin maraknya pasar gelap demokrasi (black market of democracy) dan menguatnya oligarki lokal (the rise of local oligarchy) (M. Uhaib As’ad, 202).

Praktik-praktik tersebut menjadi problem serius ketika bangsa ini sedang merindukan bangunan demokrasi dan sistem politik bermartabat dan berkeadilan.

Imaginary order dan air mata demokrasi telah menjadi batu nisan sejarah dan menjadi nyanyian sunyi di tengah gemuruh demokrasi duit.

Air mata demokrasi telah mengering. Kepalan tangan dan suara lantang sunyi senyap dan ditelan sejarah mengiringi senjakala demokrasi.

Aku hanya bisa bercerita kepada anak dan cucuku mengenai heroisme melawan penguasa Orde Baru, “Anakku, bapak dulu ketika mahasiswa adalah aktivis dan demonstran sejati demo berhari-hari di lokasi Bundaran Kampus Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Semperotan gas air mata dan pentungan aparat sudah ayah rasakan. Anakku, kau hidup di era demokrasi dan keterbukaan saat ini. Era ayahmu sudah berbeda dengan duniamu. Pesan ayah padamu anandaku, ayah tidak bisa memastikan harta kekayaan yang bisa ayahanda wariskan hanyalah ilmu pengetahuan dan semangat juang dan jangan pernah mengatakan lelah dan bosan. Anakku, hidup ini adalah pilihan, antara pemenang dan pecundang”.

Imaginary orde dan air mata reformasi telah menjadi bangkai sejarah di tengah demokrasi yang masih tertatih dan lelah.

Tertatih-lelah mengejar mimpi demokrasi 22 tahun silam. Jalan demokrasi semakin berliku dan melelahkan.

Celakanya, para pejuang demokrasi 22 silam mereposisi masuk ke dalam jaringan kekuasaan dan bahkan ikut melembagakan praktik kekuasaan oligarki saat.

Saat ini para pelaku demokrasi sibuk menjaga keselamatan diri sendiri dan bahkan menjadi pengkhianat reformasi.

Pikiran-pikiran idealis saat ini sudah menjadi barang mahal dan tidak laku lagi dipasarkan di tengah etalase kekuasaan kapitalistik.

Hati dan pikiran serta intelektualitas tidak telah tumpul di tengah gemuruh budaya politik pragmatisme dan pasar politik kapitalistik.

Akhlak politik semakin tergerus, terkikis dalam hempasan gelombang industri politik.

Ya, politik telah bergeser menjadi industri, menjadi pasar gelap, arena transaksi kekuasaan para politisi dan cukong.

Tidak ada lagi moral politik, akhlak politik di tengah pasar demokrasi sarat politik uang dan kekerasan politik serta intimidasi.

Warga sekadar menjadi barang etalase yang bisa dibeli dengan kuasa. Warga sekadar dijadikan objek permainan politik di tengah ketidakberdayaan dan literasi politik yang masih rendah.

Pesta demokrasi sekadar menjadi panggung hiruk-pikuk yang tidak mencerdaskan dan menjadi arena pembodohan politik.

Salah bentuk pembodohan politik adalah membangun citra politik semu dan politik uang. Ini bentuk demokrasi yang diperjualbelikan, kata Prof Edwar Aspinall dalam bukunya Democracy for Sale (2020).

Kekuatan uang dalam jagat demokrasi di negeri telah menjadi parameter etis dan membutakan akhlak politik. Akhlak politik telah menguap bagaikan mengganyang asap di alam demokrasi saat ini.

Daulat rakyat telah digantikan duitokrasi dan perselingkuhan politik antara politisi dan bisnis.(*)

Penulis merupakan Peneliti pada Pusat Studi Politik dan Kebijakan Publik Banjarmasin