Payung Hukum Persma

Human Rights Watch Desak Payung Hukum Perlindungan Pers Mahasiswa

Human Rights Watch mendesak pemerintah untuk   mendukung Dewan Pers membuat payung hukum perlindungan pers mahasiswa.

Desakan perlindungan hukum terhadap kerja-kerja jurnalistik pers mahasiswa kembali menguat. Foto ilustrasi pers: https://www.euromedmonitor.org/

apahabar.com, JAKARTA - Human Rights Watch mendesak pemerintah mendukung Dewan Pers membuat payung hukum perlindungan bagi pers mahasiswa.

Kerja-kerja jurnalistik pers mahasiswa kerap dibayangi ancaman berbagai pelanggaran, intimidasi, penyensoran, pidana pencemaran, bahkan pembredelan.

Pelanggaran tersebut termasuk ancaman, intimidasi, serangan fisik, penutupan media, serta ancaman pemberhentian dari kampus karena kerja-kerja jurnalistiknya.

Menurut Human Rights Watch pelanggaran paling umum dilakukan rektorat universitas dan orang-orang yang berkuasa lainnya di kampus.

Baca Juga: Koalisi Desak Dewan Pers Soal Pemberitaan Kasus Pencabulan AG

"Mereka dibiarkan tanpa payung hukum guna membela diri dari serangan bertubi-tubi terhadap kebebasan pers ini,” ujar Wakil Direktur Asia Human Rights Watch, Phil Robertson, Senin (22/5).

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat sebanyak 185 kasus pelanggaran kebebasan pers di berbagai kampus sejak 2020 hingga 2021.

Beberapa kasus tersebut di antaranya pembredelan pers mahasiswa oleh kampus di Lembaga Pers Mahasiswa Suara di Universitas Sumatra Utara (USU), Medan 2019 silam. Kasus tersebut mencuat usai kisah cinta lesbian yang mereka muat di website viral. Saat itu, sebanyak 18 jurnalis mahasiswa Suara USU dikeluarkan dari kampus.

Baca Juga: Diskominfosan Bersama Polda Kalsel Datangan Tenaga Ahli Dewan Pers ke Balangan, Ada Apa?

Juli 2019, dua redaktur Suara USU mengajukan gugatan terhadap rektorat universitas. Namun kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan.

Alhasil, tahun 2020 sejumlah jurnalis pers mahasiswa yang dikeluarkan mendirikan situs berita Wacana. Beroperasi di luar struktur kampus, situs berita tersebut berjalan tanpa dukungan finansial kampus.

Kasus pelanggaran lainnya terjadi di Institut Agama Islam Negeri Ambon. Kampus membredel majalah mahasiswa Lintas. Tak hanya itu, rektorat juga memerintahkan keamanan kampus untuk menyegel ruang redaksi dan menyita semua peralatan setelah menuduh wartawan dan redakturnya mencemarkan nama baik kampus pada Maret 2022.

Baca Juga: Dewan Pers Punya Peran Penting Tangani Kasus Kekerasan Seksual Pada Jurnalis

Saat itu majalah Lintas menerbitkan laporan panjang soal impunitas terhadap orang-orang yang dituduh melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswa, dan kegagalan pemimpin universitas mengatasinya.

Human Rights Watch menyebut Dewan Pers seharusnya bisa berdialog dengan Polri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maupun Kementerian Agama, mencari kesepakatan yang mengarahkan penyelesaian semua perselisihan terkait media mahasiswa lewat mediasi. Termasuk menyusun dan membuat kesepakatan melindungi jurnalis mahasiswa dan penerbitan mereka.

“Pemerintah Indonesia seharusnya menanggapi berbagai persoalan dan kesulitan yang dihadapi redaktur pers mahasiswa,” pungkas Robertson.