kekerasan pada perempuan

Hari Anti Kekerasan Perempuan, Jaringan Masyarakat Sipil Tagih Implementasi UU TPKS ke Pemerintah

Memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Jaringan Masyarakat Sipil akan terus menagih pengesahan dan perlindungan pada hak korban.

ILUSTRASI: Pelecehan seksual. ANTARA/Ist/am.

apahabar.com, JAKARTA - Memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Jaringan Masyarakat Sipil akan terus menagih pengesahan dan perlindungan pada hak korban.

Menggandeng banyak pihak yang terfokus pada pemberdayaan perempuan, akan terus menagih pemerintah dalam percepatan pengesahan aturan pelaksana dan implementasi UU TPKS guna melindungi dan pemulihan hak-hak korban.

Setelah dua tahun pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasaan Seksual (UU TPKS) disahkan, namun aturan turunan dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden belum ada.

"Setelah disahkan, masih banyak pr yang harus kami lakukan baik mengawal aturan turunan maupun sosialisasi dari TPKS ini, ternyata banyak penegak hukum dan masyarakat belum mengetahui substansi dari Undang-Undang tersebut," tutur Rena Herdiyani, Wakil Ketua Keorganisasian Kalyanamitra, pada Konferensi Pers yang dilakukan secara daring, Senin (27/11).

Budaya patriarki, stigma, ketakutan terhadap pandangan masyarakat yang merendahkan para korban kasus KS serta kurangnya pemahaman aparat penegak hukum dalam melindungi dan memulihkan korban KS.

Di berbagai daerah seperti Aceh, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan, Jawa Tengah, NTT, Maluku dan Papua kerap mengalami hambatan dan kendala di kepolisian dalam penanganan kasus korban KS itu sendiri.

Berbagai permasalahan digaungkan para pendamping dan aktivis diantaranya masih terjadinya teror atau ancaman bagi pendamping korban KS, kurangnya fasilitas yang diberikan pemerintah hingga kurangnya pemahaman para aparat negara dalam menangani kasus ini.

Tuntutan Para Jaringan Masyarakat Sipil Kawal UU TPKS pada Pemerintah

Ilustrasi Stop Kekerasan pada Perempuan. Foto: Freepik

Dalam konferensi pers ini, para Jaringan Masyarakat Sipil menuntut pemerintahan untuk segera mengesahkan Aturan Pelaksana UU TPKS. Demi kelancaran penanganan kasus di berbagai daerah di Indonesia, dengan memastikan perlindungan, penanganan, pemulihan bagi korban yang dilakukan dengan efektif dan efisien.

Melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai pemahaman UU TPKS, baik aparat penegahk hukum, dinas atau instansi terkait dalam mendampingi korban KS.

Pilar ketiga yang digaungkan adalah melakukan koordinasi antar pihak pemerintah dan kepolisian seperti Lembaga Negara HAM/NHRI, LPSK, Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI, APH, pelaksana BPJS dan juga KPPPA serta Kementerian terkait harus dikuatkan dengan kesepahaman bersama.

Hal ini tak terkecuali korban korban yang holistik, termasuk terkait keberagaman, wilayah konflik, disabilitas dan situasi khusus (seperti wilayah Aceh, Papua dan wilayah pulau terluar lainnya).

Serta mengalokasikan anggaran dalam menyediakan aksesibilitas dan akomodasi untuk penanganan kasus KS yang korbannya disabilitas dalam mengakses pelayanan terhadap hukum.

Hal ini tak luput dalam menyediakan Juru Bahasa Isyarat, psikolog, serta penempatan ruang pengaduan kasus kekerasan seksual yang mudah di akses penyandang disabilitas dan fleksibilitas waktu dalam pelaporan kasus.